Friday, October 26, 2018

Solo Hiking: Pendakian Gunung Merbabu via Selo



 
You are not alone, you are with yourself!
Kalimat diatas yang saya yakini dalam pendakian kali ini, dengan begitu saya tidak merasa benar-benar sendirian. Lebih merasakan keberadaan saya dan semua yang ada di sekitar. Suara serangga, kicau burung, berbagai jenis tumbuhan, karakteristik jalur yang dilalui dapat saya nikmati dengan senang hati sehingga lelah pun tidak cukup berarti, bahkan bisa dinikmati. Meskipun saya cukup yakin akan baik-baik saja, tapi antisipasi untuk segala kemungkinan yang akan terjadi diluar prediksi harus juga dipikirkan. Safety first, mutlak dalam setiap perjalanan, terlebih untuk kegiatan alam bebas seperti mendaki gunung. Jangan sampai ceroboh, berlaku secara sopan dan berjalan dengan tenang. Intinya tetap beretika dimanapun kita berada.
Pendakian kali ini adalah solo hiking saya pertama kali. Saya tidak sedang mencoba, mengingat resiko yang terlalu besar jika hanya coba-coba. Saya sudah mempersiapkan semua secara maksimal, terutama mental. Karena saya berpikir bahwa kesiapan mental adalah faktor utama saat melakukan pendakian seorang diri. Mental akan terbentuk secara alami setelah melewati berbagai pengalaman. Hal lain yang akan membuat mental semakin kuat adalah skill dan pengetahuan tentang apa yang akan kita lakukan. Setelah mental sudah penuh, persiapkan peralatan yang akan digunakan selama perjalanan. Riset guna mendapatkan info sebanyak mungkin mengenai gunung yang akan didaki, terlebih jika belum pernah mengenal medan gunung yang akan didaki, seperti saya yang baru pertama kali ke Merbabu. Termasuk memantau prakiraan cuaca terkini di kawasan yang akan dituju, merancang itinerary dan membuat beberapa skenario sedetil mungkin agar semua dapat berjalan sesuai rencana dan meminimalisir kesalahan, karena sedikit apapun kesalahan yang dilakukan akan berakibat fatal dan akan menyulitkan diri sendiri.
Hal terpenting lainnya adalah kesiapan fisik. Sangat-sangat vital. Karena dari info yang didapat, saya harus berjalan selama 8 jam dari basecamp untuk sampai puncak gunung Merbabu. Menyiasati permasalahan fisik, saya melakukan sedikit latihan terutama pada otot kaki, serta peregangan otot lainnya beberapa hari sebelum keberangkatan. Peregangan otot sebelum melakukan pendakian mutlak harus dilakukan untuk menghindari cidera, karena kita akan berjalan cukup lama dan menguras tenaga. Kecelakaan saat perjalanan bisa saja terjadi, mungkin terpeleset atau terjatuh saat melalui trek yang licin, atau bisa saja saya kelelahan. Skenario terburuk adalah saya akan membangun tenda dan bermalam ketika fisik saya sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Tapi dengan mempersiapkan fisik dan tetap berhati-hati dalam melangkah, kemungkinan buruk dapat diminalisir.
Karena saya sedang berada di Jogja, dan kebetulan jalur pendakian gunung Merapi sedang di tutup, maka gunung  Merbabu yang memiliki ketinggian 3142 mdpl menjadi pilihan pertama saya untuk melakukan solo hiking. Dari Jogja saya harus menempuh  jarak 47KM menuju basecamp Merbabu melalui jalur Selo yang berada di Dusun Genting Taruhbatang, Desa Suroteleng, Kecamatan Selo – Boyolali, sekitar 2 jam menggunakan motor. Sedikit lambat, karena harus melihat GPS sepanjang perjalanan. Bahkan ketika perjalanan pulang saya hanya menghabiskan waktu 1 jam saja dengan kondisi jalanan lancar tanpa macet.
Waktu tempuh dari basecamp sampai sabana gunung Merbabu diperkirakan memakan waktu sekitar 4 – 5 jam perjalanan santai. Jadi saya berencana untuk memulai pendakian siang hari, dan tiba di sabana gunung Merbabu pada sore hari sehingga dapat mendirikan tenda sebelum gelap. Tapi mungkin akan lebih lama ketika saya berjalan lambat karena bobot gendongan yang sangat tidak ultralight. Saya membawa beban lebih dari 15Kg. Tenda dome, peralatan masak, jaket + pakaian ganti, matras, sleeping bag, rain coat, p3k dan segala printilan yang lumayan banyak jumlahnya. Semuanya masuk kedalam ransel berukuran 65+10L seri Nepal pabrikan Deuter era lawas dengan bobot kosong hampir 2Kg. Dan yang menurut saya beban terberat adalah perbekalan logistik yang berlebih, ditambah 5 liter air yang wajib saya bawa, karena tidak terdapat sumber air di sepanjang jalur pendakian gunung Merbabu via Selo. Membawa persediaan air berlebih akan lebih baik, jangan sampai kekurangan lantas meminta-minta air pada pendaki lain. sangat memalukan, menurut saya. Perhitungkan dan persiapkan kebutuhan air kita sendiri. Pelajaran tentang kemandirian dan manajemen paling sederhana ada disini.


Langkah-langkah kecil dimulai.
Hari ke-satu
(11:15 – 13:00) Basecamp – Pos 1 Dok Malang
Jarak dari basecamp ke gerbang pendakian dimana saya harus mengurus simaksi tidak begitu jauh. Pendaki bisa meminta informasi kepada petugas tentang kondisi terkini mengenai medan di jalur Selo. Setelah melewati gerbang saya langsung disambut barisan pohon-pohon besar dan gerombolan burung yang cukup banyak jumlahnya, seperti ucapan selamat datang yang menggembirakan. Sedangkan trek menuju Pos 1 cukup landai tapi terasa panjang. Beruntung siang yang sangat terik tidak saya rasakan karena saya terus berjalan di bawah rindang pepohonan. Susul menyusul terjadi antara saya dan 2 orang pendaki lain (1 asal Bekasi, 1 asal Klaten). Saya juga sering susul menyusul dengan 3 pendaki lainnya asal Jakarta sampai akhirnya saya sampai di pos 1 setelah berjalan selama 1 jam 45 menit. Lumayan lama karena saya berjalan cukup santai sembari menikmati setiap celah rerimbunan hutan. Istirahat sejenak di pos 1, kemudian melanjutkan perjalanan menuju pos 2.
(13:00 – 14:15) Pos 1 Dok Malang – Pos 2 Pandean
Tipe trek menuju pos 2 tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, rindangnya pohon-pohon besar masih mendominasi. Sama-sama berdebu dan kering, namun sedikit lebih terjal dan licin karena tanah berpasir yang harus kita pijak saat musim kemarau. Pos1 ke pos 2 memiliki jarak lebih pendek.  Di pertengahan trek antara pos 1 dan pos 2 terdapat pos bayangan dengan nama Simpang Macan. Tanjakan sebelum simpang macan lumayan terjal meski tidak terlalu panjang, butuh tenaga ekstra untuk melewatinya. Biasanya pendaki tidak berlama-lama di Simpang Macan, biasanya hanya mengambil napas dan mengatur langkah menuju pos 2.  Pos 2 merupakan area transisi perubahan vegetasi, pemandangan pun menjadi luas dibawah birunya langit. Saya menghabiskan waktu 1 jam 15 menit perjalanan dari pos 1. Beberapa tenda tanpa penghuni terlihat sudah berdiri di pos ini, kemungkinan besar mereka belum kembali dari puncak. Di pos 2 juga terdapat sebuah shelter untuk istirahat, cukup untuk menampung belasan pendaki.
(14:15 – 15:30) Pos 2  Pandean – Pos 3 Batu Tulis
Semakin tinggi dataran, semakin tebal juga debunya. Menuju pos 3 setapak yang harus saya lalui bertambah terjal, terlebih pada tanjakan terakhir sebelum pos 3. Kehati-hatian sangat diperlukan untuk melaluinya, selalu antisipasi terserang kepulan debu tanah pasir yang menggagu pernapasan. Tapi perjalanan menuju pos 3 memiliki pemandangan yang indah. Menolehlah kebelakang, samudera awan, gunung Lawu dan beberapa gunung lainnya di arah timur terlihat dikejauhan. Cukup 45 menit untuk sampai di pos 3. Area pos 3 juga menjadi area camp favorit di jalur Selo, mengapa saya bilang favorit,  karena jumlah tenda di pos 3 lebih banyak dari Sabana 1 dan 2. Selain pemandangan yang terbuka, tanah lapang yang luas dan adanya bukit yang indah menjadi daya tarik tersendiri. Dan dari segi manajemen pendakian juga sangatlah masuk akal jika kita memilih membuka tenda di pos ini. Siasat untuk mengirit tenaga karena kita tidak perlu membawa beban melewati tanjakan untuk menuju Sabana 1, yang disebut-sebut sebagai tanjakan paling ekstrim di jalur Selo.
(15:30 – 17:15) Pos 3 Batu Tulis – Sabana 1
Inilah trek Merbabu terberat, perjalanan dari pos 3 menuju Sabana 1 adalah trek terkejam yang harus dilalui semua pendaki melalui jalur Selo. Tanpa adanya pohon untuk berpegangan dan akar untuk pijakan serta tanah pasir yang mengepulkan debu terus menerus menghujani tubuh, saya harus ekstra hati-hati dan fokus menjaga keseimbangan. Meski beberapa kali tergelincir karena licin terbawa arus tanah pasir, saya masih sangat bersemangat untuk melewatinya. Dengan kondisi ini saya menghabiskan waktu 1 jam 45 menit. Pukul 17:15 saya menginjakan kaki di Sabana 1, kemudian berkeliling dan menaiki bebukitan disekitar sabana. Saat ingin memulai langkah menuju Sabana 2, saya mendengar seorang pendaki yang memanggil-manggil. Ternyata Adam, pendaki asal Bekasi tadi. Adam mencari saya karena berencana mendirikan tenda di Sabana 1, sedangkan target saya adalah Sabana 2. Selain karena kelelahan, Adam menginginkan saya bergabung karena dia tidak membawa kompor dan butuh pinjaman. Setelah mendengar penjelasan Adam, dengan senang hati saya setuju untuk bergabung meskipun saya masih bersemangat menuju Sabana 2, karena langit juga masih cukup terang sore itu.
Saya menentukan tempat untuk mendirikan tenda dipinggiran jalur pendakian yang dihimpit dua bukit. Hanya 2 tenda kami yang berdiri sore itu, sedangkan tenda-tenda lain berjarak agak berjauhan. Lumayanlah pikir saya, tidak akan terlalu ribut dan tujuan saya untuk menyesapi keheningan akan terkabul. Dengan sigap kubongkar ranselku kemudian membangun tenda. Hari mulai gelap, saya menyiapkan makanan dan berbagi dengan tenda tetangga. Namun keheningan hanya terjadi sesaat, karena sekitar pukul 19.00 malam rombongan lain datang dan mendirikan tenda cukup dekat dengan lapak kami. Sedikit sapa menyapa, saya berjalan mengelilingi sabana. Kerlap-kerlip lampu kota Boyolali di arah timur, bulan yang sempurna dan taburan bintang membuat malam itu terang benderang. Luar biasa.
Cuaca sangat dingin menusuk-nusuk, saya kembali ke tenda, sedangkan tenda Adam sudah tertutup dan tidak terdengar lagi suara. Saya hanya di dalam tenda sampai pukul 22:00, karena bosan saya keluar dan memasak air untuk membuat minuman hangat. Dingin semakin menjadi-jadi, tak ada satu orang pun di luar tenda dan keheningan mulai kembali saya rasakan. Tapi lagi-lagi hanya sesaat. Sekitar pukul 23:00 gerombolan lain datang dan mendirikan 3 tenda tepat bersebelahan mengepung tenda saya. Mengapa saya sebut mereka gerombolan, karena sepertinya mereka kurang beretika. Tidak ada tegur sapa, dan membuat keributan dengan berbicara keras, kadang berteriak dan memutar lagu cemen dengan music box. Membuat saya tidak karuan sepanjang malam, sehingga saya harus menyumpal telinga sampai pukul 02:00 pagi. Lelahpun terasa sia-sia malam itu.
 
Hari ke-dua
(05:30 – 06:00) Sabana 1 – Sabana 2
Setelah istirahat yang tidak bermutu akibat gerombolan ribut tadi, saya sudah tidak bisa kembali tidur sejak pukul 03:30. Membuat sarapan dan membangunkan Adam, menawari pinjaman kompor yang tentunya dibutuhkan untuk membuat sarapan. Saya tidak lantas melanjut perjalanan untuk summit attack. Lebih memilih menikmati sunrise di Sabana 1 dan memulai summit attack setelah matahari terbit. Satu hal yang mencuri perhatian saya adalah rerumputan dan pohon-pohon berwarna putih, ternyata warna putih itu adalah embun yang membeku (biasa disebut Bun Upas). Selidik punya selidik suhu tadi malam mencapai -1 derajat celcius, pantas saya terus-terusan menggigil di dalam tenda. Pukul 05:30 saya memulai summit attack bersama Adam dan temannya, lagi-lagi kami hanya bersama untuk beberapa langkah, karena saya lebih dulu melaju sedangkan mereka sibuk berfoto. Perjalanan cukup singkat melewati sebuah bukit, hanya 30 menit untuk sampai di Sabana 2.
(06:00 – 07:30) Sabana 2 – Puncak
Di Sabana 2 saya hanya memandangi keindahannya sambil terus berjalan. Sabana 2 lebih luas dari Sabana 1 dan tidak terlalu banyak tenda yang berdiri di sini. Mengingat kejadian semalam, saya sedikit menyesal tidak meyakinkan Adam untuk mendirikan tenda di Sabana 2 agar bisa terhindar dari gerombolan bising di bawah sana. Dari Sabana 2 menuju puncak (Triangulasi dan Kenteng Songo) memakan waktu 1 jam 30 menit, dengan trek yang curam. Trek ini didominasi rumput ilalang dan bunga edelweiss. Saya mengambil jalur sebelah kiri menuju puncak Triangulasi terlebih dahulu, menikmatinya sejenak lalu menginjakan kaki di puncak Kenteng Songo, tepat pukul 07:30.
Setelah cukup berkeliling saya beristirahat di antara edelweiss untuk memandangi keindahan yang tidak habis-habisnya tertangkap retina mata, seketika itu pula perasaan haru luar biasa menghantam keras. Perasaan yang baru kali pertama saya rasakan. Saya cinta dengan semua ini, itu adalah pengakuan jujur dengan apa yang saya rasakan. Cukup lama saya merenung ditemani kopi hangat yang sengaja saya bawa. Sampai saya melihat Adam melambaikan tangan yang baru saja tiba di puncak Kenteng Songo. Ada rasa bangga dari sinar matanya yang berbinar-binar.
Dari puncak saya dapat memandangi gunung Merapi yang saling berhadapan dengan Merbabu, terasa dekat dan gagahnya Merapi pagi itu yang diselimuti samudera awan. Disisi lain kita akan melihat gunung Lawu dikejauhan beserta gugusan gunung di wilayah timur. Sisi lain gunung Andong dan Telomoyo terlihar mungil di bawah sana. Tidak terlewat puncak Sindoro Sumbing yang terlihat selalu mesra mempesona. Keindahan sabana gunung Merbabu sangat luar biasa ketika kita melihatnya dari puncak, seperti dunia mimpi yang penuh kedamaian.

(09:00 – 10:30) Puncak – Sabana 2 - Sabana 1
                Semakin siang, semakin terang dan semakin indah. Samudera awan kian tampak menawan. Menghampar setiap sudut memandang. Tidak ingin rasanya beranjak dari tempat ini, tapi saya harus tetap turun. Pukul 09:00 saya bergegas turun dari puncak saat sinar matahari sudah mulai terasa panas. Perjalanan turun saya sangat lambat, tak henti-hentinya menikmati gagahnya gunung Merapi di depan mata. Setelah melewati Sabana 2 dan menuruni bukit akhirnya saya sampai di Sabana 1, Adam sudah sampai lebih dulu dan menunggu saya cukup lama karena ingin meminjam kompor. Saya pun kemudian membuat makanan dan packing setelah melahap makanan. Suasana di Sabana 1 sudah sepi, tenda-tenda yang mengelilingi tenda saya sudah tidak ada, mungkin mereka langsung turun karena saya tidak bertemu mereka naik ke puncak. Dan tidak salah jika saya menyebut gerombolan itu tidak beretika, mereka meninggalkan 2 botol kosong ukuran besar bekas air mineral, lembar-lembar tisu dan sampah plastik begitu saja, beberapa sengaja diselipkan di cela-cela tenda saya. Miris, melihat kelakuan mereka. Saya tidak keberatan untuk membawa sampah mereka. Sebaliknya, hal ini menjadi sebuah peringatan bagi saya untuk lebih memperhatikan sampah yang saya hasilkan saat mendaki. Manajemen sampah juga penting, bawalah perbekalan yang minim sampah. Kurangi membawa makanan dan minuman dalam bentuk kemasan plastik adalah salah satu metode untuk meminimalisir sampah. Dengan demikian kita tidak akan terlalu terbebani ketika membawa sampah kita turun.
(11:30 – 12:45) Sabana 1 – Pos 3 Batu Tulis
Tanpa membuang waktu, selesai packing saya langsung bergegas melanjutkan perjalanan menuju pos 3 bersama Adam dan temannya yang saya lupa namanya. Lagi dan lagi kami hanya berjalan bersama untuk beberapa langkah. Mereka berdua berjalan lebih cepat dan saya selalu berjalan lambat ketika turun. Selain ingin menikmati sisa-sisa pemandangan yang masih sangat mengagumkan untuk dilewatkan, saya memiliki masalah pada lutut kaki. Saya pernah mengalami kecelakaan sampai akhirnya tidak dapat mendaki selama bertahun-tahun lamanya. Jangankan naik gunung, naik turun tangga saja saya sering cidera. Tapi sejak 3 tahun terakhir kaki saya berangsur membaik setelah melakukan pengobatan tradisional.
Kembali pada trek terganas gunung Merbabu via Selo. Dengan pengalaman kemarin saat perjalanan naik, saya berpikir akan sangat menguras tenaga jika saya harus menahan beban untuk tidak tergelincir saat melalui jalur licin dan curam itu dan terus teringat trauma pada kaki saya yang tidak sepenuhnya pulih dengan sempurna. Akhirnya saya berbincang dengan pendaki lain yang berencana akan turun tidak melalui jalur utama. Saya mengikuti rombongan yang terdiri dari 2 orang wanita dan 2 orang pria itu, melewati jalur alternatif melalui rerumputan dan pohon-pohon edelweiss yang terhindar dari debu. Pada awalnya jalur ini memang bersahabat karena saya bisa berpegangan pada batang dan akar pohon, ternyata jalur ini hanyalah aliran air di musim penghujan dan sangat-sangat tidak jelas arahnya. Saya tertinggal jauh dari rombongan tadi karena mereka hanya membawa badan tanpa beban seperti saya. Saya kesulitan mengatur langkah dan seringkali harus menjatuhkan badan karena tidak ada tanah atau apapun yang dapat saya pijak. Hanya tangan yang dapat saya gunakan untuk meraih rumput ilalang kering yang sangat mudah patah atau tercabut dari akarnya.
Saya menyesal dengan keputusan ini, keselamatan saya terancam atas kecerobohan saya sendiri. Saya hampir putus asa ditengah perjalanan, tapi yang membuat saya tetap optimis adalah pos 3 yang masih dapat saya lihat dari kejauhan. Langkah demi langkah saya atur sedemikian rupa agak saya tidak tergelincir, hingga akhirnya bertemu dengan trek bebatuan besar. Saya sudah aman batinku, dan pos 3 sudah semakin dekat. Sesampainya di pos 3, saya melepaskan ransel dan membersihkan badan setelah berguling-guling di trek maut yang saya lalui. 30 menit saya beristirahat di pos 3 sembari terus menerus mensyukuri keselamatan diri saya sendiri. Tidak lupa, saya sangat berterima kasih kepada rumput-rumput penyelamat di jalur yang sangat-sangat tidak alternatif itu. Sehingga saya tidak mengalami hal yang tidak diinginkan, hanya sedikit lecet di badan, wajar.
(13:15 – 16:30) Pos 3 – Pos 2 – Pos 1 – Basecamp
                Setelah cukup beristirahat, saya melanjutkan perjalanan menuju pos 2 dengan trek yang terasa licin dan cukup terjal dibeberapa titik sampai akhirnya saya sampai di pos 2 pukul 14:00. Saya kembali istirahat sejenak, berbincang dengan pendaki lain dan melanjutkan perjalanan menuju pos 1. Langkah saya perlambat, karena hari masih sangat terang dan saya masih ingin berlama-lama. Pukul 15:10 saya sampai pos 1, meneguk air mineral dan melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Sepanjang jalur pendakian dipenuhi debu termasuk dari pos1 sampai ke gerbang pendakian. Sangat sulit mendapatkan tempat yang nyaman untuk selonjoran menikmati hutan pinus.
Dalam perjalanan menuju pos 1, saya dikagetkan dengan suara gesekan pepohonan tepat diatas saya, setelah saya lihat ternyata ada seekor primata sedang bermain-main di atas sana, mungkin mencari makan. Spesies primata yang sangat lucu secara bentuk mukanya, yang ternyata dia tidak sendiri. Mereka datang berkelompok, entah berapa jumlahnya tapi tidak terlalu banyak. Ternyata mereka adalah Surili Jawa (Presbytis fredericae), spesies primata yang hampir punah. Sedangkan isu yang tersebar dikalangan pendaki, khususnya gunung Merbabu via Selo, primata ini dikenal sebagai begal Merbabu. Karena pernah terjadi beberapa kasus ketika pendaki dicegat ditengah trek oleh primata ini. Dari keterangan yang saya dapatkan, mereka adalah kera berekor panjang. Mungkin berbeda jenis dengan yang saya temui, karena mereka hanya mendekat dan tidak melakukan penodongan kepada saya. haha, saya beruntung. Hal ini dimungkinkan karena kerapnya para pendaki memberi makan kepada kelompok kera itu, sehingga mereka mengalami pergeseran pola makan dan kehilangan keterampilan mencari makan sendiri, dan lebih mudah membegal pendaki yang sedang kelelahan.
Saya terus berjalan sambil mencari-cari jika ada kelompok Surili lainnya. Bukan Surili yang saya temui tapi percabangan trek yang lumayan membingungkan. Karena lupa, rupa-rupanya saya memilih jalur yang keliru. Jalur yang saya lalui ini juga cukup lebar dan lebih bersih, yang tidak saya lalui kemarin, nyali saya menciut, dan pertanyaan pun muncul, “bagaimana jika saya tersesat?”. Sekitar 20 menit saya melintasi jalur dengan penuh kecemasan, sampai akhirnya saya melihat rombongan pendaki yang sedang istirahat. Perasaan lega, dan langkah semakin mantap menapak. Tepat pukul 16:30 saya sudah menginjakan kaki di basecamp dengan kondisi baik. Syukur pun kembali terucap dalam hati.
Setelah menjalani, merasakan dan mengalami. Banyak pelajaran dan hikmah dari perjalanan saya kali ini. Lebih mengerti arti sebuah petualangan, bahwa petualangan yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu menemukan arti dari keberadaan kita dan arti dari sebuah perjalanan itu sendiri, entah perjalanan bersama tim ataupun dilakukan seorang diri. Tapi dengan pengalaman ini, saya dapat menyimpulkan bahwa petualangan seorang diri akan lebih ideal, mengingat pikiran akan lebih fokus pada diri kita dan perjalanan yang kita tempuh. Semoga dengan mengenali batas diri akan menjadikan saya lebih cermat dalam melangkah, menjalani hidup. Perjuangan mencapai apa yang pantas diperjuangkan, tidaklah mudah. Maka melangkahlah dengan penuh keyakinan. Sungguh petualangan spiritual yang mendalam. Terima kasih Merbabu. [Pandu Hidayat, 28-29 Juli 2018]