Saturday, October 27, 2018

Dihajar Badai Gunung Andong


“Mas, 1 jam lagi di jemput”, saya mendapat pesan dari Dyas, adik sepupu saya.
Pukul 21:00 Dyas datang menjemput menggunakan mobil. Tidak lama kami langsung berangkat, tapi kita mau kemana? Masih bingung. Rencananya malam itu kami akan pergi camping, tapi masih belum memutuskan lokasi. Pilihan kami ada dua, antara gunung Andong di Magelang dan Gumuk Pasir di pesisir pantai selatan Jogja. Setelah berunding akhirnya kami sepakat akan camping di gunung Andong, mengingat kondisi pantai selatan sedang sering terserang badai mengerikan. Akhirnya kami menghubungi pihak basecamp gunung Andong jalur Sawit untuk mencari info. Dan dari informasi yang didapat, kami bisa mendaki malam ini.
21:30 kami berangkat menuju gunung Andong  dari Jogja, tugas saya menjadi navigator alias melihat GPS. Kami pun melesat di jalan Magelang – Jogja. Sampai di sebuah persimpangan setelah kota Muntilan, kami harus belok ke arah kanan. Disana kami berhenti di sebuah warung untuk membeli perbekalan yang masih kurang. Dari persimpangan ini jalan mengecil dan sangat-sangat sepi, kami hanya mengandalkan GPS, dan jika tersesat kami tidak tahu harus bertanya pada siapa. Selain sudah larut dan suhu cukup dingin, ternyata malam itu adalah malam Jum’at. Orang-orang lebih memilih tetap berada di dalam rumah, tidak ada kehidupan sepanjang jalan. Sugesti akan hal-hal surem pun terbesit dibenak saya ketika kami melewati jalan yang sangat gelap diantara perkampungan, persawahan, perkebun dan hutan menuju basecamp. Bukan hanya saya rupanya yang merasakan suasana tidak bersahabat ini, sepupu saya juga merasakan hal yang sama. Tapi kita tetap fokus melalui jalan yang berkelak-kelok, turun dan menanjak terjal. Dan perjalanan ini lumayan panjang, sekitar 1 jam dari pertigaan tadi.
Kami tiba di basecamp pendakian gunung Andong via Sawit tepat pukul 23:00, tanpa basa-basi saya mengurus simaksi dan kami langsung memulai pendakian. Dari basecamp kita harus melewati perkebunan warga melewati jalan berbatu menuju pintu gerbang pendakian. Tidak jauh setelah melewatinya gerbang pendakian, kita memasuki hutan pinus dan pos 1 sudah terlihat. Tidak sampai 30 menit kami berjalan dari basecamp ke pos 1. Kami berjalan pelan dan minim istirahat, hanya berhenti minum jika tenggorokan terasa kering. Kami sempat bertemu 2 orang pendaki yang naik malam itu, tapi mereka berjalan sangat cepat karena tidak membawa beban berat. Di sekitar pos 1 ada persimpangan jalan antara jalur lama dan jalur baru, tapi pihak basecamp menganjurkan jalur kiri (jalur baru). Kami hanya menuruti anjuran pihak basecamp dan terus melaju.
Tanjakan demi tanjakan kami lalui, sampai melewati sebuah sungai kering, trek menjadi landai. Tibalah kami di pos 2, cukup 30 menit. kami tidak istirahat karena perasaan saya merasa agak aneh saat melintas di pos 2, dan sepertinya sepupu saya juga demikian. Tanjakan-tanjakan berjarak pendek dan berkelok sudah menyambut di depan. Kami terus berjalan pelan karena kondisi trekking malam hari selalu lebih melelahkan, terlebih ketika kita berjalan di antara pepohonan. Cepat merasa sesak, dan harus pintar mengatur napas. Saya yang harus membawa beban berat dan Dyas yang baru pertama kali hiking, membuat ritme kangkah kami seimbang. Kami berhenti setiap beberapa puluh langkah. Sampai akhirnya kami tiba di pos 3. Kami beristirahat di sebuah gubuk yang berada di pos 3. Ada air yang mengalir dari paralon di pos 3, bisa dimanfaatkan pendaki jika tidak membawa atau kekurangan perbekalan air.
“Mas, aku gak kuat nih. Pusing, mau muntah” celetuk Dyas, sepertinya serius. Akhirnya saya menyuruhnya mengatur napas dan saya mengambil alih membawa daypack yang dia bawa. Beban saya bertambah, dan saya merasa seperti porter. Tapi saat kami melanjutkan perjalanan, ritme kami tetap sama. Dyas sudah semakin sempoyongan berjalan menapaki tanjakan yang semakin terjal. Saya mengikutinya pelan di belakang, dan terus mengingatkan agar dia tetap fokus dan berhenti jika sudah tidak memungkinkan. Sepanjang trek saya mencari-cari lokasi yang memungkinkan untuk mendirikan tenda, tapi tak kunjung juga saya menemukannya.
Semakin tinggi, angin semakin kencang dan kabut menebal. Kami melewati batu-batu besar, pemandangan terbuka tapi tidak tampak apapun malam itu, karena tebalnya kabut. Saya terus menyemangati Dyas, dan mengakatakan bahwa puncak sudah dekat. Setelah dari batu-batu besar, melewati beberapa tanjakan kami sampai di persimpangan, arah ke kiri menuju puncak Makam dan ke kanan menuju camp area puncak Andong. Hujan pun tiba-tiba turun bersama angin yang sedari tadi kencang menerjang kami. Kami melaju lebih cepat menuju camp area untuk mencari lokasi membuka tenda. Tapi saya penasaran dengan puncak, kami lantas melewati camp area menuju puncak. Tepat pukul 24:30 kami menginjakan kaki di puncang gunung Andong yang memiliki ketinggian 1726 Mdpl. Ternyata ada larangan untuk mendirikan tenda di puncak, kami pun kembali ke camp area dan membangun tenda. Beruntung hanya beberapa menit saja.
Pukul 01:00 tenda kami sudah berdiri menghadap gunung Merbabu yang samar-samar tampak di seberang tenda kami. Badai pun tiba tanpa aba-aba menerjang tenda kami malam itu. Sesekali saya melihat keluar untuk memastikan kondisi tenda baik-baik saja, debu tanah pasir yang tebal bercampur air beterbangan memporak-porandakan beberapa tenda pendaki malam itu. Semuanya kotor seperti telah terjadi perang lumpur, termasuk tenda saya yang berubah warna menjadi warna tanah gunung Andong. Badai yang terus menerus menyerang memaksa kami memasak air untuk membuat minuman hangat di dalam tenda. Dingin luar biasa saya rasakan meski tenda saya cukup aman untuk menahan badai. Kami hanya tidur-tidur ayam sampai subuh, karena badai yang tidak juga usai.
Pukul 05:00 saya membuat sarapan, berharap cuaca membaik dan dapat menikmati sunrise. Tapi cuaca tidak berubah, angin tetap berhembus kencang meski tidak separah tadi malam. Andong berkabut pagi itu, sedangkan sinar matahari samar-samar terpancar di sela-sela kabut yang tebal. Kami berkeliling menyusuri setiap sudut gunung Andong, yang tidak terlalu ramai pagi itu. Cuaca masih sangat dingin tidak bersahabat karena angin yang masih cukup kencang. Pukul 07:30 kami memutuskan untuk packing dan tepat pukul 08:00 kami bergerak untuk turun. Sepanjang perjalanan saat turun kabut menyelimuti hutan pinus sampai di pos 1, indah dan segar pagi itu. Namun setelah gerbang utama pendakian sampai ke basecamp matahari sudah mulai berani menampakan sinarnya, redup berubah seketika menjadi cerah merona. Pukul 09:30 kami sampai di basecamp dan melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja.
Satu hal yang membuat saya terkejut adalah ketika Dyas menceritakan apa yang di alaminya saat trekking tadi malam. Dia mencium wewangian yang sangat kuat menyengat di sepanjang jalur pendakian, kadang bau tak sedap, kadang wangi-wangi bunga. Dan ketika di pertengahan hutan, beban yang dia rasakan bertambah berat, ada sesuatu yang nemplok di punggungnya sehingga membuatnya sangat kelelahan, pusing dan ingin muntah saat tiba di pos 3. Dyas juga mengatakan, beban yang dia gendong tetap sama saat saya mengambil alih untuk membawa tasnya. Tapi dia selalu ingat perkataan saya sebelum pendakian, saya berkata kepada Dyas untuk tidak menceritakan apapun jika terjadi hal-hal aneh semacam itu, kecuali jika sudah di bawah atau di rumah. Karena jika kita menceritakan atau membahas hal-hal demikian, hanya akan mengganggu konsentrasi dan yang lebih parah kita tidak akan menikmati perjalanan itu sendiri.
Setiap gunung dan hutan pasti memiliki sisi lain di balik keindahannya, tidak bisa dipungkiri. Yakin tidak yakin, dunia kasat mata itu ada. Hal lain yang membuat para pendaki mendapati hal-hal demikian dikarenakan kondisi fisik yang lemah. Saat fisik kita sudah diambang batas lelah, secara tidak sadar kita akan mudah berhalusinasi dan hilangnya konsentrasi. Berdimensi, serasa sangat menikmati sekitar yang membuat kita terbuai, mulailah imajinasi dan lamunan panjang. Hingga akhirnya batas antara sadar dan bawah sadar semakin samar. Dan seringkali mental kita juga ikut terjatuh saat kita tidak mampu menguasai kelelahan fisik. Inilah salah satu pentingnya latihan fisik sebelum pendakian, selain untuk menjaga stamina, juga untuk menangkal halusinasi. [Pandu Hidayat, 2-3 Agustus 2018]