Monday, December 10, 2018

Ekspedisi Ulang Alik: Pendakian Gunung Gede & Pangrango


Seperti kita tahu, bahwa pengurusan SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) hanya dapat dilakukan secara online, dengan jumlah kuota yang telah ditetapkan perharinya. Hal ini baik, mengingat banyaknya jumlah pendaki yang berdatangan, tentu saja berakibat buruk pada ekosistem di wilayah Taman Nasional. Maklum, masih banyak pendaki dengan tingkat kesadaran rendah pada lingkungan. Dan sepertinya kata “Pecinta Alam” tidak berlaku bagi kebanyakan mereka, karena mereka datang hanya untuk bersenang-senang (piknik). Jangankan melestarikan alam, membawa sampahnya turun saja tidak. Hal ini terbukti jika anda berkunjung ke Alun-alun Surya Kencana di gunung Gede, sampah berserakan dimana-mana. Begitulah, ketatnya sistem pendaftaran online tidak berpengaruh pada situasi di Taman Nasional, bahkan sebaliknya hal ini terbilang cukup merepotkan para pendaki yang harus datang ke Balai Taman Nasional untuk melakukan validasi setelah melakukan registrasi online. Belum lagi diwajibkannya surat keterangan sehat dan persyaratan lainnya. Tapi bagaimanapun rumitnya, ikutilah peraturan yang berlaku.
Setelah mengurus perijinan 1 minggu sebelum pendakian, saya bersama Nurita (sepupu perempuan) dan seorang teman pendaki bernama Hembuscraft berangkat menuju basecamp pendakian gunung Gede melalui jalur Gunung Putri. Tepat pukul 24:00 (20 November 2018) kami tiba di basecamp dan langsung beristirahat, karena kami berencana akan memulai pendakian sebelum matahari terbit. Suasana basecamp yang menyerupai sebuah home stay sangat tenang dan dingin malam itu, tidak ada pendaki lain yang bermalam. Alhasil kami bertiga mendapat sebuah ruangan dan kamar di lantai atas plus kasur empuk. Rencana untuk memulai pendakian lebih awal sedikit meleset karena kami harus menunggu sarapan yang disediakan pihak basecamp dan melengkapi perbekalan logistik untuk 3 hari dan 2 malam. Pagi itu kami sarapan bersama pemilik basecamp yang sudah saya kenal sebelumnya, dan setelah selesai sarapan pukul 06:00 kami baru memulai pendakian.
Hari ke 1 (06:00-12:00)
Meskipun saya sudah seringkali mendaki melalui jalur Putri, tapi baru kali ini saya memulai pendakian setelah matahari terbit. Ternyata pemandangan dari basecamp menuju pos bayangan (Tanah Merah) cukup menyejukkan mata, petakan terasering perkebunan warga yang didominasi sayur-sayuran sedang tumbuh lebat, mungkin siap panen. Tapi saya baru sadar, bahwa trek dari pos pengecekan Simaksi sampai pos bayangan adalah susunan bebatuan yang agak besar, sehingga membuat langkah awal saya kurang begitu nyaman. Trek mulai berubah menjadi tanah padat setelah memasuki pintu hutan (Pos Bayangan) menuju pos 1 (Pos Informasi Lama). Seperti biasa, saya selalu merasa bahwa pendakian awal dari basecamp menuju Pos 1 selalu terasa melelahkan dan trek pun terkesan sangat-sangat panjang. Mungkin karena kondisi fisik yang masih tegang dan belum sepenuhnya beradaptasi, sehingga tenaga seakan dikuras habis-habisan dan jantung terpompa lebih cepat. Kami terus melanjutkan langkah sampai di Pos 1 dan kemudian beristirahat sejenak di sebuah shelter, rasanya seperti sudah sampai puncak, padahal ini baru Pos 1 menn.
Berlanjut menuju Pos 2 (Legok Leunca), Pos 3 (Buntut Lutung), Pos Bayangan (Lawang Saketeng) dan Pos 4 (Simpang Maleber)  trek tidak jauh berubah. Berupa tanah padat, dengan sudut kemiringan yang bervariasi. Jarak tempuh antar Pos memakan waktu sekitar 1 – 1.5 jam, berjalan santai, minim istirahat. Kami hanya beristirahat sekitar pukul 09:00 untuk membuat kopi dan bersantai di bawah Pos 3. Setelah sekitar 30 menit, kami melanjutkan pendakian menuju pos-pos berikutnya, sampai akhirnya trek kembali berubah berupa bebatuan yang tersusun sedemikian rupa. Dan jika anda sudah menemukan trek ini setelah Pos 4, pertanda bahwa Alun-alun Surya Kencana yang memiliki ketinggian 2750 Mdpl sudah dekat (sekitar 1 jam perjalanan). Alun-alun Surya Kencana sendiri merupakan sebuah lembah yang diapit oleh dua gunung, yaitu gunung Gede dan gunung Gemuruh, serta memiliki luas 50 hektar. Sedangkan panjang lintasan dari Pos Perijinan Gn Putri sampai Alun-alun Surya Kencana adalah 6.9 Km. Kami pun tiba di Surya Kencana bagian Timur tepat pukul 12:00, dan cukup 30 menit untuk sampai di Surya Kencana bagian Barat, dimana kami berencana untuk mendirikan tenda. Kami sudah berjalan selama 6 jam dan 30 menit istirahat, ini adalah waktu tercepat saya mendaki gunung Gede melalui jalur Gn Putri. Kami sengaja memiliki target untuk cepat sampai agar dapat terhindar dari hujan sebelum dapat mendirikan tenda, maklum sudah memasuki musim hujan sehingga turunnya hujan tidak dapat diprediksi. Dan para pendaki yang berpapasan dengan kami di trek pendakian saat mereka sedang turun gunung memberi informasi bahwa hujan badai  terjadi sejak beberapa hari ke belakang. Begitu pun petugas pos penjagaan, menganjurkan kami untuk tidak mendirikan tenda di area yang terlalu terbuka.
Dengan informasi yang di dapat, akhirnya saya putuskan untuk mendirikan tenda yang terlindung oleh pepohonan, agar lebih aman ketika terjadi badai. Tapi sepinya Surya Kencana siang itu tidak mempermudah kami untuk menemukan tempat yang nyaman. Ketika ada tempat datar dan banyak pepohonan, disanalah sampah-sampah berserakan yang dengan sengaja ditinggalkan. Sampah masih bisa kami bersihkan, yang lebih parah adalah kotoran manusia juga ada dimana-mana. Kelakuan pendaki yang sangat-sangat tidak punya etika seperti ini membuat repot pendaki lain, termasuk kami yang sudah sempoyongan mencari tempat karena panas luar biasa menyengat ubun-ubun. Akhirnya kami menemukan tempat agak ke arah barat, setelah melewati sungai yang membelah Surya Kencana, posisi tenda kami cukup jauh dari tenda lainnya. Sangat eksklusif dan tentunya tidak berisik. Hanya ada bunga Edelweiss dan tenda kami. Perlu diketahui, kondisi sungai di Surya Kencana sangat memprihatinkan, sampah berserakan di aliran sungai. Sudah tidak sehat untuk di konsumsi langsung. Sebaiknya pendaki membawa persediaan air minum dari bawah. Jika terpaksa, lebih baik air di masak terlebih dahulu.
Karena saya senang dengan solo hiking, saya pun hanya memiliki dan membawa tenda untuk 1 person. Beruntungnya badan kami tidak terlalu besar, jadi tenda dapat menampung 2 orang. Saya juga membuat vestibule tambahan dengan flysheet, sehingga memungkinkan untuk menampung 1 orang, termasuk menaruh barang-barang. Setelah tenda berdiri kami melanjutkan ritual masak-memasak sambil menikmati sore di Alun-alun, tidak ada tanda-tanda turun hujan. Bahkan hujan baru turun pukul 21:00, dan tidak lama kami pun beristirahat untuk mengembalikan stamina, karena kami berencana bangun pukul 02:00 dini hari untuk melakukan persiapan double summit ke puncak Gede dan puncak Pangrango (tektok). Jarak dari Alun-alun ke puncak gunung Gede adalah 1.1 Km, sedangkan panjang lintasan dari puncak Gede ke puncak Pangrango berjarak 5.3 Km. Karena kami meninggalkan tenda kami di Surya Kencana, jadi kami harus memiliki tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan pulang pergi dari Surya Kencana – Lembah Kasih Mandalawangi (Gunung Pangrango), kemudian kembali ke Alun-alun Surya Kencana. Jika di total kami harus menempuh jarak 12.8 Km di hari ke dua.
Hari ke 2 (04:30-19:30)
Pukul 02:00 saya sudah bangun dan membangunkan yang lain, kemudian kami membuat sarapan dan mempersiapkan segala perbekalan untuk melakukan summit attack. Karena masih ngantuk dan kedinginan, pergerakan kami agak lambat sehingga baru pukul 04:30 kami memulai perjalanan. Trek menuju puncak Gede berupa susunan bebatuan yang membuat kaki sakit, vegetasi cukup rapat dan tanjakan terkadang cukup terjal. Hanya butuh waktu sekitar 45 – 60 menit untuk sampai di puncak. Kami sampai di puncak gunung Gede yang memiliki ketinggian 2958 Mdpl sekitar pukul 05:15, menikmati keindahan yang mengelilingi kami sambil menunggu matahari terbit. Setelah matahari terbit dan merasa cukup di puncak, kami melanjutkan perjalanan turun menuju persimpangan antara puncak Gede dan Pangrango, letaknya tidak jauh dari Pos Kandang Badak (jalur pendakian via Cibodas). Trek awal menuju Kandang Badak berupa pasir dan batu kerikil sampai pada puncak bayangan. Setelah puncak bayangan trek berubah menjadi susunan batu padat yang siap menyiksa telapak kaki. Di lintasan ini pendaki akan menemui sebuah tanjakan yang harus dilalui menggunakan tali webbing, kemiringannya sangat curam. Tanjakan ini di sebut Tanjakan Setan oleh para pendaki, bukan karena tanjakannya yang ekstrim sehinnga disebut setan, akan tetapi suasana sepanjang trek itu memang lumayan mistis. Hmm skip.
Kami sampai dipersimpangan Kandang Badak pukul 07:30, kemudian mencari tempat untuk beristirahat ke arah puncak Pangrango. Setelah 30 menit beristirahat, pendakian ke puncak Pangrango di mulai. Trek dari persimpangan sampai ke puncak merupakan tanah padat dengan kemiringan yang bervariasi. Sepanjang trek kita akan di suguhi pemandangan hutan yang menakjubkan, masih alami karena gunung ini jarang di daki. Alasan kenapa para pendaki lebih memilih gunung Gede ketimbang mendaki Pangrango, karena view pemandangan di Gunung Gede lebih luas, tidak seperti puncak Pangrango yang terhalang oleh pepohonan. Tapi saya pribadi lebih suka untuk mendaki Pangrango, lebih bersih, sunyi dan menenangkan. Meskipun treknya cukup menguras tenaga dan tidak semudah jalur pendakian gunung Gede, justru saya lebih bisa menikmatinya.
Pada awal jalur pendakian kita harus melalui banyak pohon-pohon tumbang, maka untuk melewatinya kita harus merunduk atau melompati pohon tumbang tadi. Selanjutnya kita akan melewati hutan lumut, viewnya istimewa untuk mengambil gambar. Dan rintangan terakhir adalah banyaknya trek sempit yang terhimpit tanah di sisi kanan dan kirinya khas Pangrango. Trek semacam ini tidak akan ditemui jika kita mendaki gunung Gede, dan trek yang meliuk-liuk seperti ular ini sangat banyak di Pangrango. Kesabaran pun di uji, karena lorong-lorong itu seperti tidak ada habisnya. Membuat mental saya turun naik, dan pergulatan batin terjadi. Saya masih merasa sanggup untuk sampai puncak, tapi apakah saya sanggup untuk kembali ke Surya Kencana? Pertanyaan itu salalu muncul ketika napas mulai tersengal.
Selama pendakian ke Pangrango, kami hanya berpapasan dengan satu rombongan kecil yang sedang turun, selebihnya hanya kami bertiga di trek. Dan kami tiba di puncak Pangrango yang memiliki ketinggian 3019 Mdpl pada pukul 11:15, lelah pun hilang dalam sekejap. Tidak berlama-lama, kami kemudian turun menuju Lembah Kasih Mandalawangi. Ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Lembah Kasih, sebuah tempat yang menjadi favorit saya. Dan ternyata tidak ada satupun tenda yang berdiri, hanya 2 tim kecil yang sudah bersiap untuk turun ketika kami datang. Akhirnya mimpi saya kesampaian, saya ingin merasakan Lembah Kasih yang dingin dan sunyi seperti yang di gambarkan dalam puisinya Soe Hok Gie. Sebenarnya saya punya keinginan untuk mendaki ke Pangrango seorang diri, sayangnya tidak ada izin untuk melakukan solo hiking, baik di gunung Gede ataupun Pangrango. Karena dalam peraturan tertera bahwa pendakian dapat dilakukan minimal 3 orang, inilah alasan tim ekspedisi ini berjumlah 3 orang.
Tidak banyak yang berubah di Lembah Kasih, berbeda dengan Surya Kencana yang sudah terlalu sering dieksplorasi. Kami bertiga pun turun ke ujung lembah, dimana terdapat sebuah mata air yang sangat-sangat jernih. Setelah selesai mengisi botol yang sudah kosong, tidak lama kami mendadak disibukan dengan kedatangan hujan yang turun tanpa aba-aba. Kami langsung membuat sebuah bivak menggunakan ponco, dan mulai memasak untuk makan siang. Lembah Kasih Mandalawangi yang memiliki luas 5,5 Hektar siang itu sangat-sangat mempesona, diselimuti kabut tipis dan rintik hujan. Selain mata air yang tadi kami datangi, disini juga terdapat sungai yang sangat kecil membelah Lembah Kasih. Tidak jauh dari sungai, di tengah lembah terdapat sebuah plakat untuk mengenang 41 pendaki yang gugur di gunung Pangrango. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di lembah ini, karena kami harus kembali pulang ke Surya Kencana, hujan pun tidak juga mereda. Pukul 13:00 kami bergerak meninggalkan lembah, saya sempat menoleh kebelakang dan bergumam dalam hati bahwa saya pasti akan kembali. Sebuah janji yang suatu hari akan saya lunasi.
Sepanjang perjalanan turun menuju persimpangan Kandang Badak, hujan terus menerus mengguyur kami bertiga. Trek menjadi lebih sulit karena tanah menjadi lebih licin, harus ekstra hati-hati menahan badan agar tidak tergelincir. Kami beristirahat pada pukul 15:30 – 16:00 dekat persimpangan, membuat minuman hangat dan memulihkan stamina untuk mendaki ke puncak Gede. Singkat cerita kami harus melewati lagi Tanjakan Setan dengan medan berbatu yang menyerupai anak tangga yang berantakan, membuat kaki saya mudah lelah. Sekitar pukul 17:30 kami beristirahat di puncak bayangan gunung Gede selama 30 menit. Kemudian pukul 18:30 kami sudah berada di puncak gunung Gede. Ya, untuk kedua kalinya kami menapakan kaki di puncak Gede di hari yang sama. Karena sudah gelap, kami tidak beristirahat di puncak. Perjalanan turun menuju Alun-alun Surya Kencana terasa sangat panjang dan tidak ada habisnya. Tenaga sudah terkuras, yang tersisa hanya semangat untuk sampai di tenda dan melepas lelah. Kami terus melaju secara perlahan tanpa istirahat. Akhirnya kami sampai di Surya Kencana pukul 19:15 dan 15 menit kemudian sudah berada di tenda. Ini adalah perjalanan terpanjang dalam hidup saya dan saya berhasil melakukannya.
Kegiatan kami selanjutnya adalah masak-masak lagi, dan menikmati dinginnya Surya Kencana. Badan yang sudah terasa sakit-sakit menjadi tak terasa karena kepuasan yang saya rasakan. Malam itu saya tidur cukup nyenyak di dalam tenda sempit yang di guyur hujan. Karena pintu tenda sengaja di buka, sekitar pukul 03:00 angin sedikit lebih kencang masuk ke dalam tenda. Akhirnya pukul 04:00 kami terbangun karena Hembushcraft yag tidur di luar terserang hipotermia. Kami lantas berganti posisi, saya menyuruhnya masuk ke dalam tenda. Saya memberinya selimut tambahan dan minuman hangat agar kondisinya kembali normal. Beruntung saya melihatnya sedang kejang kedinginan, dan cerita akan berbeda jika tidak segera ditangani. Mungkin kami harus menghubungi Tim SAR untuk mengevakuasinya, yang jelas akan bikin malu. Kenapa hal seperti itu memalukan? Karena jika terjadi hal semacam itu, artinya kita tidak siap untuk berada di atas gunung. Sebaiknya pendaki mempersiapkan segala sesuatunya secara mandiri, karena setiap pendaki bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tidak bergantung pada orang lain apalagi Tim SAR, Itu konyol namanya. Di sini kita dapat belajar soal kemandirian. Tidak ada kata darurat, jika kita siap.
Hari ke 3 (09:30-14:30)
Pagi di hari ketiga, kami berniat untuk turun menuju basecamp. Kami sengaja tidak lagi berlama-lama di Surya Kencana karena panas sangat menyengat meskipun tampak mendung di bagian sebelah timur, selain itu kami juga tidak ingin kehujanan dalam perjalanan. Setelah selesai merapikan semua barang, pukul 09:30 kami meninggalkan Surya Kencana bagian barat menuju ke timur. Selanjutnya, tiba di basecamp pendakian Gunung Putri pada pukul 14:30. Seharusnya akan lebih cepat jika kondisi masih cukup baik, sayangnya telapak kaki saya terasa panas dan sangat menyiksa saat melalui trek berbatu, sehingga saya ketinggalan langkah. Selisih sekitar 30 menit dari Hembushcraft dan Nurita yang jalannya paling cepat. Yang jelas bukan soal cepat atau lambat, tapi bagaimana caranya menemukan makna dari setiap perjalanan yang kita tempuh. Dan perjalanan panjang ini menyisakan kenangan baru yang akan terus saya ingat. [Pandu Hidayat, 20-22 November 2018]

Friday, November 9, 2018

Solo Hiking: Pendakian Gunung Sindoro via Kledung


Kondisi fisik belum cukup normal setelah pendakian gunung Sumbing kemarin, saya memilih pulang ke Jogja dan hari ini (13 Agustus), saya akan kembali ke Temanggung untuk mendaki gunung Sindoro melalui jalur Kledung. Siang hari sekitar pukul 14:30 saya tiba di basecamp Kledung, dan tidak ada satu pun pendaki di dalam ataupun di luar basecamp. Saya langsung memasuki sekretariat basecamp untuk melakukan registrasi, tidak rumit dan tidak banyak peraturan. Petugas hanya menyarankan saya untuk membaca peraturan dan mempelajari peta pendakian. Setelah registrasi selesai, seorang tukang ojek menghampiri dan dapat mengantar saya sampai pos 1. Karena hari sudah menjelang sore, tanpa pikir panjang pukul 14:45 saya berangkat menggunakan ojek, cukup 10 menit untuk sampai di pos 1. Tidak jauh berbeda dengan trek awal pendakian gunung Sumbing, dari basecamp gunung Sindoro menuju pos 1 harus melewati pemukiman warga dan kemudian memasuki kawasan ladang pertanian, yang jika ditempuh dengan berjalan kaki akan memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan.
Siang itu situasi pendakian gunung Sindoro benar-benar sepi, dan si bapak ojek memberi saya info tentang jalur pendakian sepanjang perjalanan menuju pos 1, tapi motor terus melaju melewati pos 1 dan si Bapak hanya menunjukan sebuah gubuk yang merupakan penanda pos 1. Mungkin karena sepi, lantas si Bapak mengantar saya lebih jauh sampai di pertengahan antara pos 1 dan pos 2, dia juga memberi saya info lebih detil tentang jalur yang harus saya tempuh. Tentu info ini sangat membantu, karena saya baru pertama kali mendaki Sindoro atau juga biasa disebut gunung Sundoro. Ini adalah solo hiking saya yang ke empat setelah gunung Merbabu, gunung Prau dan gunung Sumbing. Saya pun menceritakannya pada si Bapak, dan ketika sampai di pos pertengahan dia mengingatkan saya untuk terlebih dahulu berdoa sebelum pendakian. Keheningan pecah setelah Bapak ojek itu pergi, kemudian saya memulai langkah mengikuti setapak menuju Pos 2.
Pos 1 menjadi penanda antara ladang perkebunan dan kawasan hutan gunung Sindoro, pohon besar dan tinggi mendominasi namun tidak terlalu rapat dan jalur treking pun lumayan lebar dan sangat jelas. Kemiringan tidak terlalu curam, bahkan terkadang landai tapi sangat berdebu seperti gunung-gunung lainnya di Jawa Tengah saat musim kemarau. Namun setelah pos pertengahan antara 1 dan 2, jalur menyempit dan lebarnya tidak lebih dari 1 meter. Terkadang jalur sangat sempit dan banyak ditemui pohon tumbang yang melintang di jalur pendakian. Juga di beberapa titik cukup lembab karena vegetasi cukup rapat dan tidak tersentuh sinar matahari. Saya harus merunduk untuk melewatinya, pada titik ini saya mendapat sambutan meriah dari kicauan burung hutan yang berdatangan mendekat, dan pepohonan yang tiba-tiba bergerak tanpa ada hembusan angin. Suasana sungguh sunyi, dan jujur saja nyali saya menurun drastis saat melewati jalur yang rapat itu. Tapi beruntung trek cukup bervariasi, kadang tertutup dan tidak jauh di depan kembali terbuka. Ya, mental saya turun naik dalam pendakian kali ini. Saya sempat berpikir bagaimana jika ada hewan buas, terutama babi hutan yang sering saya dengar masih cukup banyak berkeliaran di gunung Sindoro. Selangkah demi selangkah tanpa tergesa-gesa saya sampai di Pos 2 pukul 15:30, hanya 35 menit dari Pos Pertengahan.
Saya tidak berlama-lama, hanya menarik napas, meneguk air mineral dan melihat sekitar Pos 2 yang sangat-sangat sunyi sebelum melanjutkan langkah. Di pos 2 terdapat sebuah shelter cukup besar, dapat menjadi tempat beristirahat dan berteduh jika hujan. Di area ini juga cukup datar dan cukup nyaman untuk mendirikan tenda, sepertinya dapat menampung 4 tenda ukuran besar. Langkah pun berlanjut menuju Pos 3 melewati trek yang lebih rapat dan semakin mananjak. Debu semakin menebal, trek terasa semakin licin dan saya harus melewati beberapa tanjakan untuk sampai di area Watu Longko, letaknya di pertengahan Pos 2 dan Pos 3. Cukup unik melihat keberadaan batu besar itu, karena di sekeliling hanya pepohonan dan saya tidak melihat batu lainnya. Unik dan lagi-lagi aura di area itu membuat nyali saya tidak stabil. Saya tidak berhenti disana, memilih terus melangkah menuju Pos 3 melalui tanjakan-tanjakan yang lebih curam dan menguras tenaga. Hingga akhirnya saya sampai di Pos 3 pukul 16:00, artinya 1 jam dari Pos 2 jika berjalan santai tanpa istirahat.
Di Pos 3 saya baru bertemu dengan pendaki lain, rombongan keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anaknya. Mereka menggunakan jasa 2 orang porter dari basecamp Kledung. Di Pos 3 terdapat sebuah shelter yang lumayan besar, juga digunakan sebagai warung untuk menjual air mineral. Kebetulan sore itu saya bertemu dengan bapak yang sering berjaga di Pos 3, tapi tidak lama bapak itu akan pulang dan tidak bermalam, karena tidak ada satu pun tenda di Pos 3. Pihak basecamp pun menyarankan saya untuk menlanjutkan perjalanan dan mendirikan tenda di Sunrise Camp yang dapat di tempuh sekitar 20 menit meski treknya sangat curam dan licin. Saya memilih beristirahat di Pos 3, menyantap kudapan yang saya bawa. Kedua porter itu berjalan lebih dulu menuju Sunrise Camp gunung Sindoro, sedangkan rombongan keluarga masih terlihat sedang Shalat di warung. 30 menit saya beristirahat di Pos 3, tenaga kembali terisi untuk melanjutkan langkah menuju Sunrise Camp.
Pukul 17:20 saya sudah berada di Sunrise Camp yang memiliki ketinggian 2423 Mdpl, area terbuka yang cukup luas atau paling luas untuk mendirikan tenda selain Pos 3. Hanya beberapa tenda saja yang sudah berdiri, tidak lebih dari 10 tenda seingat saya. Suasana tidak riuh, sangat-sangat tenang bahkan cenderung sepi karena jarak antar tenda saling berjauhan. Ketika saya berkeliling mencari lapak, saya bertemu dengan 2 orang pendaki asal Bogor. Mereka menunjukan lapak yang cukup datar dekat tenda mereka, akhirnya saya mendirikan tenda berjarak beberapa meter dari tenda mereka. Mereka adalah Basir dan Hasan, mereka mengajak saya makan malam bersama. Karena saya tidak membawa beras dan tidak ada rencana masak, dengan senang hati saya bergabung. Hidangan sederhana malam itu terasa sangat nikmat, dan habis dalam sekejap. Maklumlah namanya di gunung segala rasa akan berlipat ganda. Selain karena lelah saat pendakian, cuaca dingin juga mempengaruhi kondisi perut yang cepat terasa lapar.
Sekitar pukul 22:00 saya kembali ke tenda, kabut sudah sangat tebal dan angin cukup kencang malam itu. Dingin dan hening adalah teman setia di dalam tenda sampai sekitar pukul 24:00 saya baru bisa memejamkan mata. Walau sebenarnya kantuk belum juga tiba, saya harus beristirahat karena saya berencana akan melakukan summit attack pukul 04:00 pagi bersama 2 pendaki tadi. Karena terlalu dingin, pukul 03:00 saya sudah bangun dan membuat minuman hangat, kemudian membangunkan mereka. Kami membuat sarapan, dan diluar jadwal ternyata kami baru selesai melakukan ini itu ritual sarapan hampir pukul 05:00. Akhirnya tepat pukul 05:00 kami memulai summit attack. Trek awal menuju Pos 4 (Batu Tatah) tidak jauh seperti trek sebelumnya hanya sedikit lebih terjal dan harus lebih hati-hati karena kondisi masih gelap, hanya mengandalkan headlamp masing-masing. Kami pun menikmati sunrise di pertengahan trek menuju Pos 4, langkah terasa berat pagi itu, napas tersengal-sengal dan belum juga ada tanda-tanda keberadaan Pos 4.
Trek menuju Batu Tatah cukup membuat frustasi, namun setelah berjalan sekitar 1,5 jam kami sampai di Pos 4 pukul 06:30. Saya tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkan pagi itu, benar-benar syahdu. Matahari sudah cukup terang memancarkan sinarnya, hangat menyentuh kulit. Setelah Batu Tatah vegetasi berubah menjadi sngat terbuka, setelah cukup istirahat kami pun bergegas melanjutkan pendakian sebelum matahari menyengat. Trek menjadi semakin curam melewati pecahan bebatuan juga kerikil yang licin mendominasi. Saya harus melewati 6 tanjakan penyesalan gunung Sindoro. Mungkin istilah ini untuk menggambarkan tanjakan yang terasa tidak ada habisnya, di balik bukit masih ada bukit dan sama sekali tidak terlihat dimana ujung dari puncan Sindoro. Satu persatu tanjakan itu saya lalui, akhirnya tepat pukul 08:00 saya menapakan kaki di puncak tertinggi gunung Sindoro. Lelah pun hilang dalam sekejap, terbayar dengan indahnya samudera awan dan puncak-puncak gunung di Jawa Tengah yang terlihat jelas, terutama gunung Sumbing yang saling berhadap-hadapan seolang menyaksikan perjuangan saya untuk bisa sampai di puncak.

Saya menyempatkan diri untuk mengelilingi kawah gunung Sindoro yang terus-menerus menyemburkan asap pekat belerang, hamparan luas padang edelweis gunung Sindoro sedang tandus saat itu sehingga saya tidak dapat menyaksikan indahnya. Namun hal itu tidak mengurangi rasa takjub saya pada Sindoro. Saya tidak tahu pasti mengenai tandusnya padang edellweis itu, mungkin karena musim kemarau, akibat kebakaran atau hal lainnya. Setelah puas berada di puncak dan matahari sudah sangat menyengat kulit, saya memutuskan untuk turun menuju Sunrise Camp dan melanjutkan perjalanan pulang membawa pengalaman baru, pelajaran dan sebuah rasa tersendiri yang di berikan Sindoro kepada saya. Sampai jumpa di lain hari Sindoro, ketika mendapat kesempatan kedua saya akan kembali. [Pandu Hidayat, 13-14 Agustus 2018]

Monday, November 5, 2018

Solo Hiking: Pendakian Gunung Sumbing via Garung



Dengan pengalaman solo hiking saat mendaki gunung Merbabu dan gunung Prau, saya memiliki sedikit bekal pengalaman tentang solo hiking. Meski sedikit, tapi cukup membentuk mental secara mendasar. Seperti halnya fisik, mental pun akan semakin kuat jika terus menerus ditempa dengan berbagai latihan dan pengalaman. Namun demikian, pilihan untuk mendaki gunung Sumbing seorang diri benar-benar saya pertimbangkan konsekuensinya, kemungkinan yang akan saya hadapi dan apa saja yang harus saya persiapkan, menjadi fokus saya kali ini. Karena mental dan fisik saja belum cukup, saya banyak mencari info mengenai gunung Sumbing. Membuat catatan-catatan kecil dari pengetahuan yang saya miliki, dari cerita teman-teman pendaki dan berbagai artikel yang saya baca di internet. Dengan demikian, saya akan merasa lebih mengenal gunung Sumbing, meski pada kenyataannya mungkin akan berbeda. Minimal saya tidak buta saat melangkah.
Dari sekian banyak jalur pendakian gunung Sumbing, saya memilih jalur pendakian gunung Sumbing via Garung Lama, Wonosobo. Seperti pendakian sebelumnya, saya memulai starting point dari Jogja dan harus menempuh waktu sekitar dua jam perjalanan untuk sampai di basecamp Garung. Siang itu pukul 13:45 saya tiba di basecamp, tak lama Bapak basecamp menghampiri dan dengan akrabnya kami langsung ngobrol seperti seorang kawan. Meski akhir pekan, siang itu tidak ada pendaki lain yang terlihat di basecamp, si bapak sedikit kaget karena saya berniat mendaki seorang diri, dia melihat jam dinding di sudut basecamp, lantas menganjurkan saya untuk menggunakan jasa ojek. Selagi saya masih berpikir, Bapak basecamp mengingatkan bahwa saya akan kemalaman sebelum pos 3 jika berjalan kaki. Jasa ojek yang dimaksud adalah dari basecamp sampai pos 1 (Malim), dengan jarak tempuh 2 – 3 jam berjalan kaki melewati pemukiman dan perkebunan warga, dengan jalanan berbatu yang lumayan lebar dan pastinya menanjak. Akhirnya saya pilih menggunakan jasa ojek meski dalam hati terasa agak aneh, kok mendaki gunung naik ojek?
Setelah menunggu beberapa menit, pukul 14:05 ojek datang dan langsung mengangkut saya. Posisi saya sebagai penumpang duduk di depan seperti anak kecil, dan mas ojek menggendong tas carrier saya. Tanpa aba-aba, gas pol jekk...gila! Saya harus akui, ojek gunung Sumbing adalah ojek paling ekstrim yang pernah saya tahu. Entah berapa kecepatannya, kadang saya sampai harus memejamkan mata saking takutnya. Kalau skill masih pas-pasan sangat tidak mungkin kebut-kebutan di jalan berbatu dengan motor bebek bermesin standar. Seperti halilintar, dalam waktu 15 menit saya sudah sampai di pos 1 tepat pukul 14:20. Tidak ada pendaki di sana, hanya seorang warga yang sedang duduk di pos, mungkin petugas. Orang itu menganjurkan saya untuk istirahat sejenak dan sempat menanyakan perbekalan air. Karena selepas pos 1 sudah tidak terdapat sumber air. Saya langsung melanjutkan pendakian karena tidak ada yang harus saya tunggu, perbekalan air pun sudah cukup. Saya masih terbayang-bayang betapa mengerikannya menaiki motor yang membawa saya dari basecamp, sedikit saja ban oleng nyawa saya taruhannya. Parahnya lagi, saya tidak diperkenankan untuk berpegangan erat pada stang motor. Ingin rasanya menyesal, tapi mengingat trek yang sangat panjang melewati perkampungan saya tidak jadi menyesal. Jika saya memilih berjalan kaki, tenaga saya yang tidak seberapa tangguh ini akan terkuras habis sebelum pos 1 dan berjalan sendirian melewati perkampungan-perkebunan warga sangat-sangat membosankan tentunya. Saya pun dengan senang hati mendapat predikat sebagai pendaki lemah (jika ada ejekan untuk pendaki yang menggunakan jasa ojek). yes, i accept and of course i dont care! Ah sudahlah, saya harus fokus dengan trek di depan saya.
Bisa dibilang trek gunung Sumbing yang sebenarnya dimulai dari pos 1, karena pos 1 adalah pintu masuk menuju hutan. Jalur pendakian dimulai dengan tanah berdebu yang tidak begitu curam. Berlanjut lebih jauh, pendaki akan melewati banyak tanjakan curam yang tidak terlalu panjang. Semakin tinggi, debu semakin tinggi pula mengepul ke udara terhempas jejakan kaki. Tanjakan akan semakin curam setelah setengah perjalanan antara pos 1 menuju pos 2 (Genus). Saya mulai bertemu pendaki lain di pos bayangan (warung), mereka rombongan besar dari jakarta dan depok. Mereka menawari saya minuman, dan mengajak saya bergabung. Tapi seperti niatan awal, bahwa saya ingin sendiri. Tanpa harus menolak ajakan mereka, saya melanjutkan perjalanan dan berkata pada mereka “nanti ketemu lagi”. Sebenarnya saya sangat menghindari pertanyaan seperti “berapa orang mas?, mana rombongannya?, sendirian?” dan pertanyaan sejenis. Karena saya sedikit berat untuk menjawab bahwa saya sendirian, saya kurang percaya diri untuk menjawab. Ada sebuah tekanan terhadap mental saya di titik itu, karena biasanya orang-orang itu akan menganggap saya hebat, kuat, berani, nekat dan sejenisnya. Kenyataan sesungguhnya saya tidak memiliki kapasitas seperti yang mereka katakan, saya sama seperti mereka, hanya saja saya melakukannya sendir.
Melanjutkan langkah, tanjakan demi tanjakan yang lumayan menguras tenaga saya lalui, dan tepat pukul 15:25 saya sampai di pos 2. Di pos 2 terdapat dataran yang dapat menampung beberapa tenda saja, cukup aman dari badai dan nyaman di siang hari karena terlindungi pepohonan. Selain saya ada 3 pendaki, rombongan dari Depok yang masih menunggu temannya. Saya beristirahat sejenak dan sedikit obrolan dengan mereka, saya lantas melanjutkan perjalanan menuju pos 3 (Seduplak Roto). Untuk menuju pos 3 saya harus melewati trek legendarisnya gunung Sumbing yaitu Engkol-Engkolan. Dan setelah melihat tanjakan itu di depan mata, saya langsung berpikir bahwa trek ini tidak mudah. Karena fisik lumayan lemah, mental saya sedikit goyah. Tapi saya terus meyakinkan diri bahwa trek ini bukan apa-apa, saya pasti bisa melewatinya. Dan secara tiba-tiba kaki saya melangkah tanpa perintah, terseok, malangkah lagi, jatuh, bangkit lagi. Terus dan terus, saya merasakan sebuah keseruan sebuah petualangan. Tidak banyak pendaki yang saya temui sore itu, hanya beberapa pendaki dan kami berjarak lumayan jauh. Tidak ada yang bisa saya ikuti langkahnya, saya hanya mencari jalur secara naluri. Karena di tanjakan Engkol-engkolan sangat banyak percabangan (jalan air yang menjadi trek), maka pintar-pintarlah memilih jalur yang lebih mudah dan aman, meski pada kenyataannya tidak ada yang mudah.
Jika pihak basecamp atau pengelola menyediakan beberapa tali webbing di jalur ini, tentu akan sangat membantu pendaki. Selain untuk berpegangan, juga dapat menjadi penanda jalur trekking yang lebih aman. Jujur saja saya sulit melangkah dengan pijakan yang licin karena debu tanah pasir, tanpa akar atau pohon untuk berpegangan. Belum lagi beban yang saya bawa lumayan banyak, membuat setengah badan ke atas seperti tertarik grafitasi. Satu-satunya penghibur hati sore itu adalah kabut yang menghantam lereng-bukit tepat dibelakang saya ketika saya menoleh. Dan ketika langkah terasa sangat berat, saya pasti akan berbalik badan dan menikmatinya sembari berharap dia tidak menabrak saya, kemudian  meredupkan jarak pandang. Harapan saya terkabul, karena pukul 16:20 saya tiba di pos 3 tanpa terserang kabut tebal itu, meski lamat-lamat kabut tipis menyelimuti dan dinginnya Sumbing sudah mulai saya rasakan. Di pos 3 terdapat dataran sebagai camp area, beberapa tenda sudah berdiri di pos 3. Saya hanya berhenti sejenak kemudian melanjutkan langkah menuju Pestan, cukup 20 menit untuk sampai di Pestan I (Bawah).
Kabut semakin menebal sore itu pukul 16:40, karena masih banyak lahan kosong untuk mendirikan tenda, saya tidak melanjutkan langkah menuju Pestan II (Atas) yang merupakan batas vegetasi. Akhirnya saya mendirikan tenda di Pestan I yang sore itu cukup ramai. Belasan tenda sudah berdiri, puluhan orang asik menikmati kabut dan matahari senja yang redup mempesona. Setelah selesai mendirikan tenda dan menatanya, saya pun turut berbaur dengan mereka para pendaki yang sangat-sangat bersahabat. Berbagi cerita, bertukar gelas kopi sampai akhirnya matahari benar-benar tenggelam tertelan kabut. Saya kembali ke tenda dan mulai masak untuk makan malam. Cuaca malam hari cukup bersahabat meski tidak tampak bintang, hanya sedikit angin yang membawa kabut membasahi flysheet tenda. Tidak banyak orang yang keluar tenda, karena hembusan angin membuat dingin lebih menusuk-menusuk. Saya pun hanya berkutat di sekitaran tenda, tidak ada pendaki lain yang dapat saya ajak bicara, meski lamat-lamat saya mendengar banyak dari mereka yang belum tidur dan masih ngobrol di dalam tenda.
03:00 saya sudah terbangun karena kedinginan, ingin melanjutkan tidur tapi sangat sulit. Akhirnya saya membuat sarapan dan minuman hangat sembari membereskan kantung tidur dan matras. Kadang-kadang angin cukup kencang, beberapa pendaki sudah mulai bergegas untuk summit. Setelah sarapan dan menyiapkan perbekalan, pukul 03:45 saya sudah berdiri di luar tenda untuk summit attack. Tidak ada seorang pendaki pun yang saya lihat, dan saya harus meyakinkan diri dan menguatkan mental agar saya tidak goyah saat melangkah. Saya melangkah diiringi doa dalam hati, berharap perjalanan ini dapat sesuai rencana. Sekitar 10 menit kemudian saya sudah berada di Pestan Atas, hanya ada 2 buah tenda di sana dekat dengan warung. Saya terus melangkah karena menuju pos 4 (Pasar Watu). Vegetasi yang terbuka dan trek tanah pasir berbatu mendominasi. Saya melihat 4 orang pendaki menuju pos 4, tidak lama saya menyusul mereka dan kesunyian kembali menyelimuti sampai saya tiba di Pasar Watu tepat Adzan Subuh yang masih dapat saya dengar pukul 04:30. Saya pun beristirahat di sebuah batu, menikmati hening, lampu-lampu kota dikejauhan dan segarnya udara pagi yang dingin. Tepat dihadapan saya adalah dinding batu yang tertutup kabut, dan batu-batu besar yang tersebar di arena pos 4. Pantas saja jika diberi nama Pasar Watu (Pasar Batu).
Setelah cukup beristirahat, saya melanjutkan perjalanan menuju pos V (Watu Kotak). Mengikuti gambar pada peta, dari Pasar Watu saya harus mengambil arah kiri, mengikuti trek di sisian tebing batu karena jika berjalan lurus akan mentok pada dinding batu yang menyerupai bukit kecil. Saya berjalan mengikuti peta dan penanda arah yang ada, tapi sekitar beberapa menit perjalanan saya dihadapkan pada dinding batu besar yang agak berlubang mirip sebuah goa. Panik tidak bisa saya hindari, pikiran kalut dan mental saya lumayan jatuh karena saya merasa jika saya tersesat. Tidak sempat berpikir panjang, saya berbalik badan dan melompat-lompat menuruni trek berbatu yang mengantarkan saya pada dinding batu itu. Sempat teringat metode STOP (Seating, Think, Observation, Planning), tapi saya tidak bisa melakukannya karena saya tidak bisa tenang untuk berpikir jernih. Sebaliknya situasi terasa mencekam, dengan jarak pandang yang terbatas karena kabut saya terus melangkah turun dan berniat kembali ke Pasar Watu menunggu terang. Beberapa saat saya terdiam dan melihat sekitar, akhirnya saya menemukan trek untuk kembali ke Pasar Watu. Ketika saya ingin kembali, ternyata jalur menuju Watu Kotak hanya lurus saja, sedangkan sebelumnya saya belok ke kanan dan naik ke atas (dinding batu).
 Mental kembali terisi, saya melanjutkan langkah menaiki tanjakan-tanjakan sempit selama beberapa menit sebelum akhirnya bertemu beberapa pendaki yang sedang beristirahat sebelum Pasar Watu. Tepat pukul 05:00 saya sampai di pos 5 Watu Kotak, ada 2 buah tenda berdiri disana. Cukup eksklusif, tapi bagi saya tempat ini kurang aman karena tenda tepat di bawah dinding batu. Namun bagi penyuka tantangan, spot ini bisa di jadikan alternatif untuk mendirikan tenda, lebih sunyi dan lebih greget. Tentu harus mendaki lebih awal jika kalian berencana mendirikan tenda di Watu Kotak, karena jika terlambat kalian harus kembali turun ke Pestan yang pastinya akan sangat melelahkan dan menghabiskan banyak waktu.
Tidak lama di Watu Kotak saya langsung melanjutkan langkah menuju Tanah Putih (Pos 6) melalui trek yang bervariasi. Terdapat beberapa trek landai, tapi tidak lama trek kembali menanjak dan menajak selama 45 menit. Ketika pijakan kontur tanah  berubah warna menjadi putih artinya kita sudah berada di area Tanah Putih. Dari sini kita akan menemukan sebuah persimpangan atau lebih tepatnya banyak jalur percabangan untuk menuju puncak. Jalur utama ke arah kanan menuju puncak Kawah dan puncak Rajawali dan ke kiri menuju puncak Buntu dan puncak Cakrawala yang berupa batu besar dengan bentuk mirip kepala singa. Saya memilih jalur kanan menuju puncak Rajawali, melalui jalur yang lebih terjal dan akan ke puncak lainnya setelahnya. Kurang lebih 30 menit dari Tanah Putih saya menemukan trek yang lumayan landai, yang disekitarnya adalah puncak-puncak bayangan. Ya, sangat banyak punggungan bukit karang yang menyerupai puncak-puncak kecil. Saya terus melangkah menuju puncak Rajawali yang sudah semakin dekat.
Matahari sudah semakin menampakan sinarnya, menikmati Sindoro pagi itu seorang diri dan karena saking takjubnya saya hampir terlena memandanginya, sehingga lupa saya ingin menggapai puncak tertinggi gunung Sumbing. Akhirnya saya bergegas menuju puncak melewati dinding-dinding bebatuan, sampai akhirnya saya bertemu dengan dua orang pendaki yang sedang kebingungan karena harus memanjat dinding batu tanpa selembar tali webbing ataupun peralatan climbing lainnya. Kami pun mencari alternatif untuk mencari jalan lain, tapi tidak membuahkan hasil. Tidak ingin menyerah, salah satu dari pendaki itu nekat memanjat tebing tanpa tali. Setelah dia berhasil dan memastikan bahwa tebing itu bisa dipanjat, satu pendaki lain menyusul. Terakhir giliran saya yang harus memanjat, dengan instruksi yang diberikan kedua pendaki tadi. Mereka menuntun saya, dimana saya harus berpijak, dimana tangan harus berpegangan. Setahan demi setahan, saya berhasil memanjat punggungan bukit itu. Ini adalah hal terekstrim yang pernah saya lakukan, dan saya terus-terusan bersyukur setelah berhasil memanjatnya. Karena sedikit pun kesalahan, terpeleset atau salah dalam melangkah saya akan jatuh ke jurang, ke dalam kaldera gunung Sumbing di bawah sana yang berjarak ratusan meter.

Saya lupa nama dari puncak bukit itu, yang saya ingat ada sebuah petilasan seperti makan di puncaknya. Disana kami bertemu dengan 3 pendaki lain yang sedang istirahat, memasak air dan berbagi kopi dengan kami. Dan yang membuat saya sedikit menyesal adalah, bahwa kami bertiga tidak seharusnya memanjat tebing. Trek sebenarnya berada di sebelah kanan sisian bukit, jalurnya mengitari bibir tebing. Meski cukup berbahaya tapi tidak seekstrim jika harus memanjat dinding batu tadi. Anehnya kami bertiga tidak menyangka bahwa itu adalah jalur yang seharusnya kami lalui, saya pun mengira itu adalah jalan buntu dan satu-satunya kemungkinan yang ada adalah memanjat. Setelah menghabiskan kopi, kami ber 6 harus menuruni bukit kecil itu menggunakan tali webbing, mungkin sekitar 10 meter. Satu persatu dari kami turun dengan tali itu, kemudian melewati jalur landai yang cekung sepanjang beberapa puluh meter, akhirnya sampailah pada tanjakan terakhir menuju puncak Rajawali yang dapat ditempuh tidak lebih dari 15 menit. Tanjakan cukup terjal tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan saat saya harus memanjat dinding batu tadi. Saya sangat bersemangat dalam melangkah, dan akhirnya saya dapat menginjakan kedua kaki ini di puncak Rajawali, puncak tertinggi gunung Sumbing dengan ketinggian 3371 Mdpl. Rasa syukur, haru, kegembiraan dan berbagai macam rasa bercampur di pagi yang cerah itu. Saya berhasil menaklukan diri sendiri, membunuh ketakutan dan melawan segala kecemasan yang terus menerus menghantui sepanjang perjalanan.
Dari puncak Rajawali saya dapat melihat hampir seluruh gugusan gunung di Jawa Tengah, bahkan gunung Slamet pun terlihat mungil dikejauhan. Sekitar 1 jam saya bersantai di puncak Rajawali, menikmati segala celah yang dapat tertangkap oleh mata. Adapun puncak lain dari gunung Sumbing adalah puncak Sejati, yang biasanya ditempuh melalui jalur Kaliangkrik. Banyak yang mengira jika puncak Sejati adalah titik tertinggi gunung Sumbing. Tapi saya sempat mendapat info jika dihitung dengan Altimeter, puncak Sejati memiliki ketinggian 3301 Mdpl. Artinya titik tertinggi gunung sumbing adalah puncak Rajawali yang notabene akan lebih mudah ditempuh melalui jalur Banaran. Sedangkan jika mendaki melalui jalur Garung, puncak terdekat yang dapat dicapai adalah puncak Buntu dan puncak Cakrawala atau puncak Kawah. Terlalu banyak puncak dan banyak nama memang, tetapi hal ini menjadi keasyikan tersendiri dan membuat saya tidak puas jika hanya menginjakan kaki di satu puncak saja.
Setelah cukup dengan puncak Rajawali, saya pun turun melewati bukit-bukit yang membuat saya hampir kapok bermain-main dengan tebing batu. Perjalanan saat kembali lebih mudah dan lebih tenang, meski saya kembali seorang diri karena sudah berpisah dengan kawan-kawan tadi. Tidak butuh waktu lama, saya sudah menginjakan kaki di puncak Cakrawala dan kemudian puncak Buntu. Ingin rasanya turun ke kaldera gunung Sumbing dan menaiki bebukitan untuk mencapai puncak Sejati, tapi ketika saya melihat jam ternyata sudah pukul 10:00, matahari sudah sangat panas membakar kulit. Saya harus segera turun, dan benar saja sepanjang perjalanan saya benar-benar lelah karena harus berjalan di bawah sinar matahari langsung. Perjalanan turun bagi saya seperti membaca ulang kenangan saat saya mengatur langkah untuk mendakinya saat gelap. Suasana terasan berbeda, lebih luas dan lebih bisa menikmatinya. Dan, singkat cerita saya pulang dengan selamat dalam keadaan sehat. Kemudian mempersiapkan diri untuk melanjutkan solo hiking ke gunung Sindoro keesokan harinya. [Pandu Hidayat, 11-12 Agustus 2018]