Monday, December 10, 2018

Ekspedisi Ulang Alik: Pendakian Gunung Gede & Pangrango


Seperti kita tahu, bahwa pengurusan SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) hanya dapat dilakukan secara online, dengan jumlah kuota yang telah ditetapkan perharinya. Hal ini baik, mengingat banyaknya jumlah pendaki yang berdatangan, tentu saja berakibat buruk pada ekosistem di wilayah Taman Nasional. Maklum, masih banyak pendaki dengan tingkat kesadaran rendah pada lingkungan. Dan sepertinya kata “Pecinta Alam” tidak berlaku bagi kebanyakan mereka, karena mereka datang hanya untuk bersenang-senang (piknik). Jangankan melestarikan alam, membawa sampahnya turun saja tidak. Hal ini terbukti jika anda berkunjung ke Alun-alun Surya Kencana di gunung Gede, sampah berserakan dimana-mana. Begitulah, ketatnya sistem pendaftaran online tidak berpengaruh pada situasi di Taman Nasional, bahkan sebaliknya hal ini terbilang cukup merepotkan para pendaki yang harus datang ke Balai Taman Nasional untuk melakukan validasi setelah melakukan registrasi online. Belum lagi diwajibkannya surat keterangan sehat dan persyaratan lainnya. Tapi bagaimanapun rumitnya, ikutilah peraturan yang berlaku.
Setelah mengurus perijinan 1 minggu sebelum pendakian, saya bersama Nurita (sepupu perempuan) dan seorang teman pendaki bernama Hembuscraft berangkat menuju basecamp pendakian gunung Gede melalui jalur Gunung Putri. Tepat pukul 24:00 (20 November 2018) kami tiba di basecamp dan langsung beristirahat, karena kami berencana akan memulai pendakian sebelum matahari terbit. Suasana basecamp yang menyerupai sebuah home stay sangat tenang dan dingin malam itu, tidak ada pendaki lain yang bermalam. Alhasil kami bertiga mendapat sebuah ruangan dan kamar di lantai atas plus kasur empuk. Rencana untuk memulai pendakian lebih awal sedikit meleset karena kami harus menunggu sarapan yang disediakan pihak basecamp dan melengkapi perbekalan logistik untuk 3 hari dan 2 malam. Pagi itu kami sarapan bersama pemilik basecamp yang sudah saya kenal sebelumnya, dan setelah selesai sarapan pukul 06:00 kami baru memulai pendakian.
Hari ke 1 (06:00-12:00)
Meskipun saya sudah seringkali mendaki melalui jalur Putri, tapi baru kali ini saya memulai pendakian setelah matahari terbit. Ternyata pemandangan dari basecamp menuju pos bayangan (Tanah Merah) cukup menyejukkan mata, petakan terasering perkebunan warga yang didominasi sayur-sayuran sedang tumbuh lebat, mungkin siap panen. Tapi saya baru sadar, bahwa trek dari pos pengecekan Simaksi sampai pos bayangan adalah susunan bebatuan yang agak besar, sehingga membuat langkah awal saya kurang begitu nyaman. Trek mulai berubah menjadi tanah padat setelah memasuki pintu hutan (Pos Bayangan) menuju pos 1 (Pos Informasi Lama). Seperti biasa, saya selalu merasa bahwa pendakian awal dari basecamp menuju Pos 1 selalu terasa melelahkan dan trek pun terkesan sangat-sangat panjang. Mungkin karena kondisi fisik yang masih tegang dan belum sepenuhnya beradaptasi, sehingga tenaga seakan dikuras habis-habisan dan jantung terpompa lebih cepat. Kami terus melanjutkan langkah sampai di Pos 1 dan kemudian beristirahat sejenak di sebuah shelter, rasanya seperti sudah sampai puncak, padahal ini baru Pos 1 menn.
Berlanjut menuju Pos 2 (Legok Leunca), Pos 3 (Buntut Lutung), Pos Bayangan (Lawang Saketeng) dan Pos 4 (Simpang Maleber)  trek tidak jauh berubah. Berupa tanah padat, dengan sudut kemiringan yang bervariasi. Jarak tempuh antar Pos memakan waktu sekitar 1 – 1.5 jam, berjalan santai, minim istirahat. Kami hanya beristirahat sekitar pukul 09:00 untuk membuat kopi dan bersantai di bawah Pos 3. Setelah sekitar 30 menit, kami melanjutkan pendakian menuju pos-pos berikutnya, sampai akhirnya trek kembali berubah berupa bebatuan yang tersusun sedemikian rupa. Dan jika anda sudah menemukan trek ini setelah Pos 4, pertanda bahwa Alun-alun Surya Kencana yang memiliki ketinggian 2750 Mdpl sudah dekat (sekitar 1 jam perjalanan). Alun-alun Surya Kencana sendiri merupakan sebuah lembah yang diapit oleh dua gunung, yaitu gunung Gede dan gunung Gemuruh, serta memiliki luas 50 hektar. Sedangkan panjang lintasan dari Pos Perijinan Gn Putri sampai Alun-alun Surya Kencana adalah 6.9 Km. Kami pun tiba di Surya Kencana bagian Timur tepat pukul 12:00, dan cukup 30 menit untuk sampai di Surya Kencana bagian Barat, dimana kami berencana untuk mendirikan tenda. Kami sudah berjalan selama 6 jam dan 30 menit istirahat, ini adalah waktu tercepat saya mendaki gunung Gede melalui jalur Gn Putri. Kami sengaja memiliki target untuk cepat sampai agar dapat terhindar dari hujan sebelum dapat mendirikan tenda, maklum sudah memasuki musim hujan sehingga turunnya hujan tidak dapat diprediksi. Dan para pendaki yang berpapasan dengan kami di trek pendakian saat mereka sedang turun gunung memberi informasi bahwa hujan badai  terjadi sejak beberapa hari ke belakang. Begitu pun petugas pos penjagaan, menganjurkan kami untuk tidak mendirikan tenda di area yang terlalu terbuka.
Dengan informasi yang di dapat, akhirnya saya putuskan untuk mendirikan tenda yang terlindung oleh pepohonan, agar lebih aman ketika terjadi badai. Tapi sepinya Surya Kencana siang itu tidak mempermudah kami untuk menemukan tempat yang nyaman. Ketika ada tempat datar dan banyak pepohonan, disanalah sampah-sampah berserakan yang dengan sengaja ditinggalkan. Sampah masih bisa kami bersihkan, yang lebih parah adalah kotoran manusia juga ada dimana-mana. Kelakuan pendaki yang sangat-sangat tidak punya etika seperti ini membuat repot pendaki lain, termasuk kami yang sudah sempoyongan mencari tempat karena panas luar biasa menyengat ubun-ubun. Akhirnya kami menemukan tempat agak ke arah barat, setelah melewati sungai yang membelah Surya Kencana, posisi tenda kami cukup jauh dari tenda lainnya. Sangat eksklusif dan tentunya tidak berisik. Hanya ada bunga Edelweiss dan tenda kami. Perlu diketahui, kondisi sungai di Surya Kencana sangat memprihatinkan, sampah berserakan di aliran sungai. Sudah tidak sehat untuk di konsumsi langsung. Sebaiknya pendaki membawa persediaan air minum dari bawah. Jika terpaksa, lebih baik air di masak terlebih dahulu.
Karena saya senang dengan solo hiking, saya pun hanya memiliki dan membawa tenda untuk 1 person. Beruntungnya badan kami tidak terlalu besar, jadi tenda dapat menampung 2 orang. Saya juga membuat vestibule tambahan dengan flysheet, sehingga memungkinkan untuk menampung 1 orang, termasuk menaruh barang-barang. Setelah tenda berdiri kami melanjutkan ritual masak-memasak sambil menikmati sore di Alun-alun, tidak ada tanda-tanda turun hujan. Bahkan hujan baru turun pukul 21:00, dan tidak lama kami pun beristirahat untuk mengembalikan stamina, karena kami berencana bangun pukul 02:00 dini hari untuk melakukan persiapan double summit ke puncak Gede dan puncak Pangrango (tektok). Jarak dari Alun-alun ke puncak gunung Gede adalah 1.1 Km, sedangkan panjang lintasan dari puncak Gede ke puncak Pangrango berjarak 5.3 Km. Karena kami meninggalkan tenda kami di Surya Kencana, jadi kami harus memiliki tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan pulang pergi dari Surya Kencana – Lembah Kasih Mandalawangi (Gunung Pangrango), kemudian kembali ke Alun-alun Surya Kencana. Jika di total kami harus menempuh jarak 12.8 Km di hari ke dua.
Hari ke 2 (04:30-19:30)
Pukul 02:00 saya sudah bangun dan membangunkan yang lain, kemudian kami membuat sarapan dan mempersiapkan segala perbekalan untuk melakukan summit attack. Karena masih ngantuk dan kedinginan, pergerakan kami agak lambat sehingga baru pukul 04:30 kami memulai perjalanan. Trek menuju puncak Gede berupa susunan bebatuan yang membuat kaki sakit, vegetasi cukup rapat dan tanjakan terkadang cukup terjal. Hanya butuh waktu sekitar 45 – 60 menit untuk sampai di puncak. Kami sampai di puncak gunung Gede yang memiliki ketinggian 2958 Mdpl sekitar pukul 05:15, menikmati keindahan yang mengelilingi kami sambil menunggu matahari terbit. Setelah matahari terbit dan merasa cukup di puncak, kami melanjutkan perjalanan turun menuju persimpangan antara puncak Gede dan Pangrango, letaknya tidak jauh dari Pos Kandang Badak (jalur pendakian via Cibodas). Trek awal menuju Kandang Badak berupa pasir dan batu kerikil sampai pada puncak bayangan. Setelah puncak bayangan trek berubah menjadi susunan batu padat yang siap menyiksa telapak kaki. Di lintasan ini pendaki akan menemui sebuah tanjakan yang harus dilalui menggunakan tali webbing, kemiringannya sangat curam. Tanjakan ini di sebut Tanjakan Setan oleh para pendaki, bukan karena tanjakannya yang ekstrim sehinnga disebut setan, akan tetapi suasana sepanjang trek itu memang lumayan mistis. Hmm skip.
Kami sampai dipersimpangan Kandang Badak pukul 07:30, kemudian mencari tempat untuk beristirahat ke arah puncak Pangrango. Setelah 30 menit beristirahat, pendakian ke puncak Pangrango di mulai. Trek dari persimpangan sampai ke puncak merupakan tanah padat dengan kemiringan yang bervariasi. Sepanjang trek kita akan di suguhi pemandangan hutan yang menakjubkan, masih alami karena gunung ini jarang di daki. Alasan kenapa para pendaki lebih memilih gunung Gede ketimbang mendaki Pangrango, karena view pemandangan di Gunung Gede lebih luas, tidak seperti puncak Pangrango yang terhalang oleh pepohonan. Tapi saya pribadi lebih suka untuk mendaki Pangrango, lebih bersih, sunyi dan menenangkan. Meskipun treknya cukup menguras tenaga dan tidak semudah jalur pendakian gunung Gede, justru saya lebih bisa menikmatinya.
Pada awal jalur pendakian kita harus melalui banyak pohon-pohon tumbang, maka untuk melewatinya kita harus merunduk atau melompati pohon tumbang tadi. Selanjutnya kita akan melewati hutan lumut, viewnya istimewa untuk mengambil gambar. Dan rintangan terakhir adalah banyaknya trek sempit yang terhimpit tanah di sisi kanan dan kirinya khas Pangrango. Trek semacam ini tidak akan ditemui jika kita mendaki gunung Gede, dan trek yang meliuk-liuk seperti ular ini sangat banyak di Pangrango. Kesabaran pun di uji, karena lorong-lorong itu seperti tidak ada habisnya. Membuat mental saya turun naik, dan pergulatan batin terjadi. Saya masih merasa sanggup untuk sampai puncak, tapi apakah saya sanggup untuk kembali ke Surya Kencana? Pertanyaan itu salalu muncul ketika napas mulai tersengal.
Selama pendakian ke Pangrango, kami hanya berpapasan dengan satu rombongan kecil yang sedang turun, selebihnya hanya kami bertiga di trek. Dan kami tiba di puncak Pangrango yang memiliki ketinggian 3019 Mdpl pada pukul 11:15, lelah pun hilang dalam sekejap. Tidak berlama-lama, kami kemudian turun menuju Lembah Kasih Mandalawangi. Ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Lembah Kasih, sebuah tempat yang menjadi favorit saya. Dan ternyata tidak ada satupun tenda yang berdiri, hanya 2 tim kecil yang sudah bersiap untuk turun ketika kami datang. Akhirnya mimpi saya kesampaian, saya ingin merasakan Lembah Kasih yang dingin dan sunyi seperti yang di gambarkan dalam puisinya Soe Hok Gie. Sebenarnya saya punya keinginan untuk mendaki ke Pangrango seorang diri, sayangnya tidak ada izin untuk melakukan solo hiking, baik di gunung Gede ataupun Pangrango. Karena dalam peraturan tertera bahwa pendakian dapat dilakukan minimal 3 orang, inilah alasan tim ekspedisi ini berjumlah 3 orang.
Tidak banyak yang berubah di Lembah Kasih, berbeda dengan Surya Kencana yang sudah terlalu sering dieksplorasi. Kami bertiga pun turun ke ujung lembah, dimana terdapat sebuah mata air yang sangat-sangat jernih. Setelah selesai mengisi botol yang sudah kosong, tidak lama kami mendadak disibukan dengan kedatangan hujan yang turun tanpa aba-aba. Kami langsung membuat sebuah bivak menggunakan ponco, dan mulai memasak untuk makan siang. Lembah Kasih Mandalawangi yang memiliki luas 5,5 Hektar siang itu sangat-sangat mempesona, diselimuti kabut tipis dan rintik hujan. Selain mata air yang tadi kami datangi, disini juga terdapat sungai yang sangat kecil membelah Lembah Kasih. Tidak jauh dari sungai, di tengah lembah terdapat sebuah plakat untuk mengenang 41 pendaki yang gugur di gunung Pangrango. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di lembah ini, karena kami harus kembali pulang ke Surya Kencana, hujan pun tidak juga mereda. Pukul 13:00 kami bergerak meninggalkan lembah, saya sempat menoleh kebelakang dan bergumam dalam hati bahwa saya pasti akan kembali. Sebuah janji yang suatu hari akan saya lunasi.
Sepanjang perjalanan turun menuju persimpangan Kandang Badak, hujan terus menerus mengguyur kami bertiga. Trek menjadi lebih sulit karena tanah menjadi lebih licin, harus ekstra hati-hati menahan badan agar tidak tergelincir. Kami beristirahat pada pukul 15:30 – 16:00 dekat persimpangan, membuat minuman hangat dan memulihkan stamina untuk mendaki ke puncak Gede. Singkat cerita kami harus melewati lagi Tanjakan Setan dengan medan berbatu yang menyerupai anak tangga yang berantakan, membuat kaki saya mudah lelah. Sekitar pukul 17:30 kami beristirahat di puncak bayangan gunung Gede selama 30 menit. Kemudian pukul 18:30 kami sudah berada di puncak gunung Gede. Ya, untuk kedua kalinya kami menapakan kaki di puncak Gede di hari yang sama. Karena sudah gelap, kami tidak beristirahat di puncak. Perjalanan turun menuju Alun-alun Surya Kencana terasa sangat panjang dan tidak ada habisnya. Tenaga sudah terkuras, yang tersisa hanya semangat untuk sampai di tenda dan melepas lelah. Kami terus melaju secara perlahan tanpa istirahat. Akhirnya kami sampai di Surya Kencana pukul 19:15 dan 15 menit kemudian sudah berada di tenda. Ini adalah perjalanan terpanjang dalam hidup saya dan saya berhasil melakukannya.
Kegiatan kami selanjutnya adalah masak-masak lagi, dan menikmati dinginnya Surya Kencana. Badan yang sudah terasa sakit-sakit menjadi tak terasa karena kepuasan yang saya rasakan. Malam itu saya tidur cukup nyenyak di dalam tenda sempit yang di guyur hujan. Karena pintu tenda sengaja di buka, sekitar pukul 03:00 angin sedikit lebih kencang masuk ke dalam tenda. Akhirnya pukul 04:00 kami terbangun karena Hembushcraft yag tidur di luar terserang hipotermia. Kami lantas berganti posisi, saya menyuruhnya masuk ke dalam tenda. Saya memberinya selimut tambahan dan minuman hangat agar kondisinya kembali normal. Beruntung saya melihatnya sedang kejang kedinginan, dan cerita akan berbeda jika tidak segera ditangani. Mungkin kami harus menghubungi Tim SAR untuk mengevakuasinya, yang jelas akan bikin malu. Kenapa hal seperti itu memalukan? Karena jika terjadi hal semacam itu, artinya kita tidak siap untuk berada di atas gunung. Sebaiknya pendaki mempersiapkan segala sesuatunya secara mandiri, karena setiap pendaki bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tidak bergantung pada orang lain apalagi Tim SAR, Itu konyol namanya. Di sini kita dapat belajar soal kemandirian. Tidak ada kata darurat, jika kita siap.
Hari ke 3 (09:30-14:30)
Pagi di hari ketiga, kami berniat untuk turun menuju basecamp. Kami sengaja tidak lagi berlama-lama di Surya Kencana karena panas sangat menyengat meskipun tampak mendung di bagian sebelah timur, selain itu kami juga tidak ingin kehujanan dalam perjalanan. Setelah selesai merapikan semua barang, pukul 09:30 kami meninggalkan Surya Kencana bagian barat menuju ke timur. Selanjutnya, tiba di basecamp pendakian Gunung Putri pada pukul 14:30. Seharusnya akan lebih cepat jika kondisi masih cukup baik, sayangnya telapak kaki saya terasa panas dan sangat menyiksa saat melalui trek berbatu, sehingga saya ketinggalan langkah. Selisih sekitar 30 menit dari Hembushcraft dan Nurita yang jalannya paling cepat. Yang jelas bukan soal cepat atau lambat, tapi bagaimana caranya menemukan makna dari setiap perjalanan yang kita tempuh. Dan perjalanan panjang ini menyisakan kenangan baru yang akan terus saya ingat. [Pandu Hidayat, 20-22 November 2018]