Friday, November 9, 2018

Solo Hiking: Pendakian Gunung Sindoro via Kledung


Kondisi fisik belum cukup normal setelah pendakian gunung Sumbing kemarin, saya memilih pulang ke Jogja dan hari ini (13 Agustus), saya akan kembali ke Temanggung untuk mendaki gunung Sindoro melalui jalur Kledung. Siang hari sekitar pukul 14:30 saya tiba di basecamp Kledung, dan tidak ada satu pun pendaki di dalam ataupun di luar basecamp. Saya langsung memasuki sekretariat basecamp untuk melakukan registrasi, tidak rumit dan tidak banyak peraturan. Petugas hanya menyarankan saya untuk membaca peraturan dan mempelajari peta pendakian. Setelah registrasi selesai, seorang tukang ojek menghampiri dan dapat mengantar saya sampai pos 1. Karena hari sudah menjelang sore, tanpa pikir panjang pukul 14:45 saya berangkat menggunakan ojek, cukup 10 menit untuk sampai di pos 1. Tidak jauh berbeda dengan trek awal pendakian gunung Sumbing, dari basecamp gunung Sindoro menuju pos 1 harus melewati pemukiman warga dan kemudian memasuki kawasan ladang pertanian, yang jika ditempuh dengan berjalan kaki akan memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan.
Siang itu situasi pendakian gunung Sindoro benar-benar sepi, dan si bapak ojek memberi saya info tentang jalur pendakian sepanjang perjalanan menuju pos 1, tapi motor terus melaju melewati pos 1 dan si Bapak hanya menunjukan sebuah gubuk yang merupakan penanda pos 1. Mungkin karena sepi, lantas si Bapak mengantar saya lebih jauh sampai di pertengahan antara pos 1 dan pos 2, dia juga memberi saya info lebih detil tentang jalur yang harus saya tempuh. Tentu info ini sangat membantu, karena saya baru pertama kali mendaki Sindoro atau juga biasa disebut gunung Sundoro. Ini adalah solo hiking saya yang ke empat setelah gunung Merbabu, gunung Prau dan gunung Sumbing. Saya pun menceritakannya pada si Bapak, dan ketika sampai di pos pertengahan dia mengingatkan saya untuk terlebih dahulu berdoa sebelum pendakian. Keheningan pecah setelah Bapak ojek itu pergi, kemudian saya memulai langkah mengikuti setapak menuju Pos 2.
Pos 1 menjadi penanda antara ladang perkebunan dan kawasan hutan gunung Sindoro, pohon besar dan tinggi mendominasi namun tidak terlalu rapat dan jalur treking pun lumayan lebar dan sangat jelas. Kemiringan tidak terlalu curam, bahkan terkadang landai tapi sangat berdebu seperti gunung-gunung lainnya di Jawa Tengah saat musim kemarau. Namun setelah pos pertengahan antara 1 dan 2, jalur menyempit dan lebarnya tidak lebih dari 1 meter. Terkadang jalur sangat sempit dan banyak ditemui pohon tumbang yang melintang di jalur pendakian. Juga di beberapa titik cukup lembab karena vegetasi cukup rapat dan tidak tersentuh sinar matahari. Saya harus merunduk untuk melewatinya, pada titik ini saya mendapat sambutan meriah dari kicauan burung hutan yang berdatangan mendekat, dan pepohonan yang tiba-tiba bergerak tanpa ada hembusan angin. Suasana sungguh sunyi, dan jujur saja nyali saya menurun drastis saat melewati jalur yang rapat itu. Tapi beruntung trek cukup bervariasi, kadang tertutup dan tidak jauh di depan kembali terbuka. Ya, mental saya turun naik dalam pendakian kali ini. Saya sempat berpikir bagaimana jika ada hewan buas, terutama babi hutan yang sering saya dengar masih cukup banyak berkeliaran di gunung Sindoro. Selangkah demi selangkah tanpa tergesa-gesa saya sampai di Pos 2 pukul 15:30, hanya 35 menit dari Pos Pertengahan.
Saya tidak berlama-lama, hanya menarik napas, meneguk air mineral dan melihat sekitar Pos 2 yang sangat-sangat sunyi sebelum melanjutkan langkah. Di pos 2 terdapat sebuah shelter cukup besar, dapat menjadi tempat beristirahat dan berteduh jika hujan. Di area ini juga cukup datar dan cukup nyaman untuk mendirikan tenda, sepertinya dapat menampung 4 tenda ukuran besar. Langkah pun berlanjut menuju Pos 3 melewati trek yang lebih rapat dan semakin mananjak. Debu semakin menebal, trek terasa semakin licin dan saya harus melewati beberapa tanjakan untuk sampai di area Watu Longko, letaknya di pertengahan Pos 2 dan Pos 3. Cukup unik melihat keberadaan batu besar itu, karena di sekeliling hanya pepohonan dan saya tidak melihat batu lainnya. Unik dan lagi-lagi aura di area itu membuat nyali saya tidak stabil. Saya tidak berhenti disana, memilih terus melangkah menuju Pos 3 melalui tanjakan-tanjakan yang lebih curam dan menguras tenaga. Hingga akhirnya saya sampai di Pos 3 pukul 16:00, artinya 1 jam dari Pos 2 jika berjalan santai tanpa istirahat.
Di Pos 3 saya baru bertemu dengan pendaki lain, rombongan keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anaknya. Mereka menggunakan jasa 2 orang porter dari basecamp Kledung. Di Pos 3 terdapat sebuah shelter yang lumayan besar, juga digunakan sebagai warung untuk menjual air mineral. Kebetulan sore itu saya bertemu dengan bapak yang sering berjaga di Pos 3, tapi tidak lama bapak itu akan pulang dan tidak bermalam, karena tidak ada satu pun tenda di Pos 3. Pihak basecamp pun menyarankan saya untuk menlanjutkan perjalanan dan mendirikan tenda di Sunrise Camp yang dapat di tempuh sekitar 20 menit meski treknya sangat curam dan licin. Saya memilih beristirahat di Pos 3, menyantap kudapan yang saya bawa. Kedua porter itu berjalan lebih dulu menuju Sunrise Camp gunung Sindoro, sedangkan rombongan keluarga masih terlihat sedang Shalat di warung. 30 menit saya beristirahat di Pos 3, tenaga kembali terisi untuk melanjutkan langkah menuju Sunrise Camp.
Pukul 17:20 saya sudah berada di Sunrise Camp yang memiliki ketinggian 2423 Mdpl, area terbuka yang cukup luas atau paling luas untuk mendirikan tenda selain Pos 3. Hanya beberapa tenda saja yang sudah berdiri, tidak lebih dari 10 tenda seingat saya. Suasana tidak riuh, sangat-sangat tenang bahkan cenderung sepi karena jarak antar tenda saling berjauhan. Ketika saya berkeliling mencari lapak, saya bertemu dengan 2 orang pendaki asal Bogor. Mereka menunjukan lapak yang cukup datar dekat tenda mereka, akhirnya saya mendirikan tenda berjarak beberapa meter dari tenda mereka. Mereka adalah Basir dan Hasan, mereka mengajak saya makan malam bersama. Karena saya tidak membawa beras dan tidak ada rencana masak, dengan senang hati saya bergabung. Hidangan sederhana malam itu terasa sangat nikmat, dan habis dalam sekejap. Maklumlah namanya di gunung segala rasa akan berlipat ganda. Selain karena lelah saat pendakian, cuaca dingin juga mempengaruhi kondisi perut yang cepat terasa lapar.
Sekitar pukul 22:00 saya kembali ke tenda, kabut sudah sangat tebal dan angin cukup kencang malam itu. Dingin dan hening adalah teman setia di dalam tenda sampai sekitar pukul 24:00 saya baru bisa memejamkan mata. Walau sebenarnya kantuk belum juga tiba, saya harus beristirahat karena saya berencana akan melakukan summit attack pukul 04:00 pagi bersama 2 pendaki tadi. Karena terlalu dingin, pukul 03:00 saya sudah bangun dan membuat minuman hangat, kemudian membangunkan mereka. Kami membuat sarapan, dan diluar jadwal ternyata kami baru selesai melakukan ini itu ritual sarapan hampir pukul 05:00. Akhirnya tepat pukul 05:00 kami memulai summit attack. Trek awal menuju Pos 4 (Batu Tatah) tidak jauh seperti trek sebelumnya hanya sedikit lebih terjal dan harus lebih hati-hati karena kondisi masih gelap, hanya mengandalkan headlamp masing-masing. Kami pun menikmati sunrise di pertengahan trek menuju Pos 4, langkah terasa berat pagi itu, napas tersengal-sengal dan belum juga ada tanda-tanda keberadaan Pos 4.
Trek menuju Batu Tatah cukup membuat frustasi, namun setelah berjalan sekitar 1,5 jam kami sampai di Pos 4 pukul 06:30. Saya tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkan pagi itu, benar-benar syahdu. Matahari sudah cukup terang memancarkan sinarnya, hangat menyentuh kulit. Setelah Batu Tatah vegetasi berubah menjadi sngat terbuka, setelah cukup istirahat kami pun bergegas melanjutkan pendakian sebelum matahari menyengat. Trek menjadi semakin curam melewati pecahan bebatuan juga kerikil yang licin mendominasi. Saya harus melewati 6 tanjakan penyesalan gunung Sindoro. Mungkin istilah ini untuk menggambarkan tanjakan yang terasa tidak ada habisnya, di balik bukit masih ada bukit dan sama sekali tidak terlihat dimana ujung dari puncan Sindoro. Satu persatu tanjakan itu saya lalui, akhirnya tepat pukul 08:00 saya menapakan kaki di puncak tertinggi gunung Sindoro. Lelah pun hilang dalam sekejap, terbayar dengan indahnya samudera awan dan puncak-puncak gunung di Jawa Tengah yang terlihat jelas, terutama gunung Sumbing yang saling berhadap-hadapan seolang menyaksikan perjuangan saya untuk bisa sampai di puncak.

Saya menyempatkan diri untuk mengelilingi kawah gunung Sindoro yang terus-menerus menyemburkan asap pekat belerang, hamparan luas padang edelweis gunung Sindoro sedang tandus saat itu sehingga saya tidak dapat menyaksikan indahnya. Namun hal itu tidak mengurangi rasa takjub saya pada Sindoro. Saya tidak tahu pasti mengenai tandusnya padang edellweis itu, mungkin karena musim kemarau, akibat kebakaran atau hal lainnya. Setelah puas berada di puncak dan matahari sudah sangat menyengat kulit, saya memutuskan untuk turun menuju Sunrise Camp dan melanjutkan perjalanan pulang membawa pengalaman baru, pelajaran dan sebuah rasa tersendiri yang di berikan Sindoro kepada saya. Sampai jumpa di lain hari Sindoro, ketika mendapat kesempatan kedua saya akan kembali. [Pandu Hidayat, 13-14 Agustus 2018]