Sabtu dini-hari, 19
September 2015. Saya mendapat pesan dari Aldi, teman sekantor yang sudah sangat
sering membantu saya dalam pekerjaan. Isi pesannya berupa permintaan tolong,
saya diminta untuk menemani anak magang dari India bawaan bos besar jalan-jalan
ke tempat wisata alam. Awalnya saya menolak, selain karena sangat mendadak,
saya juga baru pulang kemah satu minggu sebelumnya. Selain itu saya selalu
malas bertemu dan beradaptasi dengan orang baru yang dipertemukan secara
sengaja, apalagi orang India, pasti bertele-tele batin saya. Tapi setelah dijelaskan
panjang lebar akhirnya saya bersedia membantu dengan ketentuan yang saya buat.
Saya bukan pemandu wisata dan saya hanya sukarela melakukannya, dengan begitu
saya tidak perlu merasa di bawah tekanan, karena ini bukan pekerjaan saya. Susah
senang bukan saya yang tanggung tapi akan kami tanggung bersama. Kesepakatan
pun terjadi, saya harus mengajak si anak magang itu ke suatu tempat hari itu
juga.
Saya memiliki kebebasan
menentukan tempat dan soal biaya semua ditanggung kantor. Saya bisa saja
membawanya ke tempat wisata dengan segala fasilitas berprestise dan menginap di
hotel berbintang. Tapi saya ingin yang lebih menantang dan memiliki kesan
lebih. Yang ada di benak saya adalah berkemah, meski saya bingung mau membawa
si anak magang ini kemah di mana. Dan terus berharap dia akan menyukai lokasi
yang saya pilih.
Karena rencana yang sangat
mendadak, saya mencari informasi tempat terdekat untuk berkemah di internet,
sembari menyiapkan barang apa saja yang harus saya bawa. Namun saya menghindari
jalur Puncak arah Cianjur, maklum akhir pekan banyak orang tamasya yang
pastinya bikin macet. Dan jawabannya adalah Gunung Salak Endah atau lebih populer
disebut Gunung Bunder, di kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Selain aksesnya mudah, saya sudah hafal
jalan menuju lokasi, dan setahu saya di sana tersedia beberapa camping ground dan banyaknya pilihan
wahana wisata dalam satu kawasan. Dengan ketinggian awal mencapai 1050 mdpl,
gunung ini tidak setinggi gunung lain, tapi saya bisa jamin Gunung Bunder masih cukup
dingin dan asri. Saya sedikit tahu, karena saya sering mampir begadang di
warung kopi yang tersebar di area Gunung Bunder.
Saya bukan pendaki dan tidak
memiliki alat berkemah, saya menyewa sebuah tenda, 2 sleeping bag, matras, kompor dan panci. Sedangkan soal makanan saya
membawa bahan-bahan mentah, karena memasak sendiri di alam terbuka akan terasa lebih
nikmat ketimbang beli di warung. Saya membawa beras, tempe, ikan asin, sayuran,
bumbu masak, roti gandum, kopi dan teh. Tidak lupa makanan ringan untuk ganjal
perut saat darurat dan 2 botol anggur pabrikan lokal. Semua barang dan makanan
masuk dalam satu tas besar berukuran 75.5 liter.
Sekitar pukul 14:00 saya
menjemput anak magang itu di stasiun. Di luar ekspektasi ternyata si anak
magang ini cewek. Dan saya menyiapkan semua ini seadanya ala cowok. Saya sempat
sedikit bingung, tapi saya tidak punya pilihan untuk membatalkannya begitu
saja. Lantas saya menghubungi Aldi, tapi berulang kali saya telepon tidak juga
diangkat. Sedikit panik, saya menghubungi pacar, saya ingin dia ikut dalam
petualangan kecil ini. Tapi sayangnya pacar saya tidak ada jatah liburan akhir
pekan, dan dia menyarankan saya untuk tetap melanjutkan perjalanan tanpanya.
Setelah merasa lebih yakin untuk melanjutkannya, saya mulai percakapan
perkenalan dengan si anak magang dan langsung membahas soal rencana perjalanan
kami. Tanpa ada masalah, dia pun terlihat bersemangat untuk berkemah. Soal tempat
akan kami pikirkan nanti, dan kami bergerak menuju Gunung Bunder dengan
menempuh perjalanan sekitar 90 menit menggunakan sepeda motor. Dalam perjalanan
saya sempat menawarkan untuk mencari tempat penyewaan tenda, agar kami bisa
tidur di tenda masing-masing. Tapi dia bilang tidak perlu, terlalu repot
mendirikan dua buah tenda untuk satu malam. Lagian tenda yang saya bawa
sebenarnya cukup untuk tiga orang, jadi bisa kami beri batas tengah dengan tas.
Tak terasa kami sudah memasuki
kawasan Gunung Bunder. Saya bertanya pada petugas, dan kami direkomendasikan
untuk berkemah di area Curug Seribu. Kami langsung mengarah ke camping ground di area tersebut. Saya
memilih tempat ini karena adanya toilet dan letaknya tidak jauh dari pos
penjagaan, juga ada beberapa warung 24 jam, jadi saya pikir aman untuk
perempuan. Meski sebenarnya saya tidak terlalu suka mendirikan tenda di camping ground, tapi saya tetap tidak
punya pilihan karena sudah terlambat untuk mencari lokasi yang lebih tinggi.
Pukul 16:00 kami mulai membuka tenda, saya memilih tempat paling ujung di sisi
jurang karena masih banyak pohon besar, agar kami tidak perlu kepanasan dalam
tenda di siang hari. Saat mendirikan tenda saya terus berpikir dan sedikit
tidak percaya sedang bersama Shari si anak magang yang sama sekali belum saya
kenal sebelumnya dan kami sama-sama amatir sebagai pecinta alam. Beruntung ini
hanyalah camping ground dan dia bisa
bekerja sama dengan baik, meski masih terlihat canggung.
Setelah tenda berdiri, kami
berkeliling di hutan sekitar perkemahan untuk
mencari kayu bakar. Api unggun saat berkemah adalah wajib, karena udara
pegunungan di malam hari akan sangat dingin. Saya berhasil mengumpulkan banyak
batang dan ranting kayu, Shari pun tidak segan membantu mengumpulkan dan
membawa kayu bakar, entah karena perasaan tidak enak atau hal itu semacam
petualangan menyenangkan. Entahlah, yang jelas tidak ada keluhan dari mulutnya
sejauh ini.
Hari hampir gelap, saya
membuat kopi dan membuat masakan untuk makan malam, sedangkan Shari menyusun
api unggun. Selapas maghrib cuaca mulai terasa dingin, api unggun kami nyalakan
sembari menikmati kopi hangat dan menunggu makan malam. Tidak sampai satu jam
masakan saya sudah siap disantap dan soal rasa tidak perlu diragukan, karena
saya ahli soal masakan. Hal ini terbukti saat Shari memberi komentar untuk
masakan saya. Dia bilang masakan saya lebih enak ketimbang masakan ibunya. Agak
berlebihan, tapi ya begitulah. Namanya di gunung, apa saja jadi terasa lebih
nikmat. Padahal hanya sup sayuran dengan taburan ikan asin pedas dan tempe
goreng. Atau mungkin saya benar-benar handal soal masak memasak. Mungkin saja.
Malam semakin gelap, hanya
ada 5 titik api unggung terlihat di area camping
ground yang saling berjauhan, sedangkan di seberang area kami berdiri
belasan tenda yang berkelompok. Malam itu benar-benar sepi, hanya suara air
sungai di dasar lembah dan suara-suara binatang di hutan yang bisa kami dengar,
tidak ada suara musik dari mesin-mesin pemutar dan tidak ada suara bising
kendaraan. Keheningan inilah yang mahal untuk saya, karena saya hanya
menemukannya di sini di alam bebas seperti ini. Shari pun terlihat sangat
menikmati malam ini dan terlihat asik di depan api sambil bercerita mengenai
dirinya.
Shari adalah seorang
mahasiswi yang sedang menyelesaikan jenjang S2 bidang penyutradaraan di salah
satu perguruan tinggi di India. Untuk menyelesaikan tugas kampus, Shari
melakukan penelitian dalam sebuah produksi film di Indonesia. Sudah tiga bulan
Shari tinggal di Jakarta, mengikuti beberapa produksi film untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya. Shari banyak bercerita tentang pengalamannya di Indonesia dan
membandingkannya dengan apa yang dialaminya di Negerinya. Karena saya sempat
terlibat dalam dunia perfilman, saya sedikit banyak menyerap ilmu dari
cerita-cerita Shari tentang proses kreatif yang dijalaninya. Dan saya kira Shari
adalah orang hebat yang akan menjadi sutradara besar kelak.
Cerita demi cerita mengisi
keheningan dan rasa dingin yang semakin menjadi, sampai kami sadar bahwa
persediaan kayu bakar menipis. Akhirnya saya putuskan untuk kembali masuk ke
hutan untuk mencari kayu bakar sendirian, sedangkan Shari saya perintahkan untuk
memasak air panas untuk membuat kopi atau teh. Tanpa rasa takut saya
berkeliling hutan yang mulai lembab berselimut embun, batang ranting kayu sudah
sedikit basah, tapi saya terpaksa mengambil apa saja yang bisa saya bakar.
Paling tidak bahan bakar harus cukup sampai kami bosan di depan api unggun.
Di dalam hutan yang berjarak
ratusan meter dari tenda, saya mendengar suara seorang wanita sedang menangis
di area perkemahan. Awalnya saya
mengira itu adalah suara orang-orang yang sedang tertawa, tapi lama kelamaan
saya yakin kalau suara itu tidak normal. Akhirnya saya putuskan untuk kembali
ke tenda membawa kayu bakar yang saya kumpulkan. Saat sampai di tenda, Shari
tampak ketakutan dengan suara tangisan yang berasal dari seberang area camping ground kami. Saya mencoba tetap
tenang agar Shari tidak menjadi panik, dan saya mencari tahu apa yang terjadi
di sana. Saya kembali meninggalkan Shari sendirian, menghampiri tenda-tenda
yang berkelompok. Dalam keremangan terlihat hiruk pikuk terjadi di antara
tenda-tenda itu, sampai akhirnya saya menyaksikan puluhan orang, khususnya
wanita sedang mengamuk, menjerit dan menangis. Saya langsung dapat menyimpulkan
bahwa mereka sedang kerasukan. Semakin lama, satu persatu dari mereka
kehilangan kendali, berteriak kesakitan dan selanjutnya meraung-raung.
Sedangkan orang-orang lainnya yang masih tampak sadar mencoba membantu teman
mereka yang kerasukan. Saya hanya bisa melihat, sedikit ketakutan dan tidak
tahu harus berbuat apa.
Tidak lama saya sudah kembali
ke tenda dan menjelaskan apa yang terjadi pada Shari, mencoba membuatnya tidak
panik. Dari depan tenda, kami bisa melihat satu persatu dari mereka dibawa
keluar dari area perkemahan untuk diberi pertolongan oleh pengurus perkemahan
dan warga setempat. Dari kejauhan kami masih bisa mendengar suara jerit
kesakitan yang mayoritas adalah suara perempuan. Hal ini terjadi hampir 2 jam,
sampai kami hanya bisa diam kebingungan. Entah apa penyebabnya, tapi saya
menyimpulkan bahwa kejadian semacam ini akan mudah terjadi saat kita tidak bisa
mengendalikan diri. Mereka terlibat perasaan yang berlebihan, senang berlebihan
dan tidak sadar bahwa mereka berada di alam liar, tempat yang mungkin asing
untuk dikendalikan bagi jiwa-jiwa yang kosong. Beruntung saya dan Shari tidak
terlibat suasana mencekam itu dan tetap mampu berpikir untuk segala kemungkinan
terburuk. Sebelumnya saya juga sudah memberi peringatan dan peraturan tidak
tertulis pada Shari saat berada di gunung, ya apapun bisa terjadi di sini. Yang
terpenting adalah menjaga sikap dan ucapan. Selalu ada hal yang tidak terukur
di alam liar.
Pukul 22:00, lambat laun
suara-suara itu hilang dan keheningan kembali datang. Saya membuka botol anggur
yang saya bawa, berbagi gelas bersama Shari sambil bercerita di depan api
unggun. Sedikit menghangatkan badan di saat rasa dingin mulai menusuk tulang.
Tak terasa 2 jam berlalu, dan kami mulai merasa lapar. Kami memasak mi instan
dengan sayuran segar, dan langsung menyantapnya saat masih panas. Lagi-lagi
masakan sederhana ini terasa sangat nikmat, mungkin karena cuaca, tempat dan
prosesnya yang membuatnya menjadi terasa berbeda kalau kita memasaknya di dapur
rumahan.
Lepas 12 malam, kami sudah
kenyang dan sedikit mabuk di botol kedua. Kami mulai sadar bahwa kami sudah
merasa lepas dalam berkomunikasi, saya mulai terbiasa mendengar Shari berbicara
bahasa Inggris berlogat India. Tidak ada rasa canggung karena baru saling mengenal,
atau mungkin ini akibat alkohol. Entahlah, mungkin hanya perasaan saya saja
yang terlepas dari beban yang saya pikirkan. Sampai akhirnya api unggun meredup
dan kayu bakar sudah habis, penerangan yang ada hanyalah lilin di antara
bebatuan depan tenda kami. Sedangkan lampu LED
untuk penerangan di dalam tenda. Saat masih asik mengobrol, cuaca menjadi
semakin dingin, angin semakin kencang dan embun menebal sehingga rerumputan
mulai benar-benar basah. Akhirnya kami putuskan untuk masuk ke dalam tenda,
meski rasa kantuk masih jauh dari mata.
Dengan penerangan seadanya
yang menggantung di langit-langit tenda dan beralaskan sebuah sleeping bag kami melanjutkan
perbincangan di dalam tenda. Menceritakan apa saja yang ada di kepala, sampai
cita-cita Shari untuk kembali datang ke tempat ini dan membuka tenda bersama
kekasih yang akan menikahinya setelah Shari menyelesaikan studi. Mendadak saya teringat
pacar saya yang tidak pernah sekalipun saya ajak jalan-jalan. Bukan karena
waktu atau kesibukan masing-masing, tapi kami memiliki hobi yang berbeda, dia
lebih suka pergi ke keramaian dan saya benci itu.
Waktu sudah larut, Shari
mulai merebahkan diri dalam kantung tidurnya.
Tugas saya adalah menghabiskan sisa botol kedua, dan terpaksa merokok dalam
tenda karena di luar sudah terlalu dingin. Kami berhenti berbicara, Shari
terlihat sudah memejamkan mata, sedangkan saya sadar bahwa jadwal tidur yang
belum tiba. Botol kedua pun habis tanpa sisa, saya kembali merokok dan
menyelami keheningan. Meskipun jaket yang saya pakai cukup tebal, namun masih
terasa udara dingin yang luar biasa mengepung tenda kami. Saya juga mulai
merebahkan diri, mencoba tidur tanpa sleeping
bag. Saat mulai memejamkan mata, saya mendengar suara asing persis di sisi
belakang tenda kami. Seperti suara seorang wanita yang sedang menertawakan saya
yang ingin berangkat tidur, sesekali saya juga mendengar suara gesekan, seperti
ada yang menggaruk dinding tenda. Suara-suara ini membuat bulu kuduk berdiri,
jujur saya ketakutan dan tidak berani keluar untuk memastikan apa yang terjadi
di luar. Suara itu menghilang saat sayup-sayup adzan Subuh terdengar dari
sebuah pengeras suara di balik lembah.
Shari terjaga mendengar
suara adzan itu, saya mendengar gerakannya membuka sleeping bag dalam kegelapan. Beberapa menit kemudian sleeping bag itu sudah berubah fungsi
menjadi selimut, menutupi badan saya yang setengah beku. Saya hanya diam,
bergumam dalam hati. Berterimakasih pada apa yang Shari lakukan, kebaikan kecil
yang sangat menolong karena dia rela berbagi selimut. Meski saya sudah tidak
merasa kedinginan, saya tetap tidak bisa terlelap dan hanya memikirkan hal-hal
acak yang datang silih berganti dalam otak. Ini akibat kebiasaan saya di rumah
yang tidak pernah tidur sepanjang malam. Sedikit tersiksa, tapi saya menikmati
setiap detik keheningan dan pikiran-pikiran yang ada.
06:00 Minggu pagi, Shari
sudah bergegas keluar tenda, sementara saya masih nyaman dalam selimut. Mungkin
Shari pergi ke toilet atau entah apa yang dilakukannya di luar. Dan saat saya
keluar tenda, dingin masih sangat terasa, namun tidak lagi menusuk-nusuk tulang,
melainkan sangat segar untuk dihirup. Pagi di pegunungan adalah hal yang selalu
saya rindukan. Sambil menunggu Shari, saya menyeduh kopi panas dan memanggang
roti gandum kacang hijau untuk sarapan.
Jadwal kami setelah sarapan
adalah pergi ke air terjun. Dari perkemahan terdapat tiga jalur menuju tempat
yang berbeda, pertama jalan menuju Curug Seribu, yang ke dua menuju Curug Muara,
sedangkan jalur satunya menuju Kawah Ratu, juga bisa dilanjutkan ke Puncak
Salak. Saya bertanya pada teman-teman lain yang berkemah yang kebetulan pernah
trekking ke tiga tempat tersebut. Curug Seribu memiliki jarak tempuh sekitar 1
jam, dan Curug Muara dapat ditempuh hanya sekitar 30 menit, sedangkan Kawah
Ratu butuh sekitar 3 Jam atau 5 sampai 6 jam berjalan kaki menuju Puncak Salak
jika tidak tersesat. Karena saya belum cukup tidur, saya putuskan untuk
melakukan perjalanan terdekat, yaitu Curug Muara. Kami langsung berbenah,
menyiapkan apa saja yang harus kami bawa dan meninggalkan barang lainnya di
tenda.
Melewati jalan bebatuan,
kami bisa melihat indahnya hutan di setiap sudut yang kami lalui. Sedikit
menanjak dan lebih banyak jalan menurun, semakin jauh ke dalam hutan semakin
ekstrim menuju lembah. Saya juga sempat melihat beberapa ekor kera dan burung
liar di atas pohon. Sampai akhirnya kami mendengar suara air terjun dan deras
air sungai dari kejauhan saat menuruni anak-anak tangga yang tersusun rapi di
antara tebing yang saling berhadapan. Saya melihat beberapa air terjun kecil di
seberang tebing yang kami lewati saat menuruni anak tangga, dan semakin jauh ke
bawah saya semakin takjub dengan apa yang saya lihat dengan mata telanjang.
Saat melewati jembatan kayu,
tepat di bawah saya adalah pertemuan dua aliran sungai. Sungai pertama adalah
aliran dari Curug Muara, sedangkan aliran sungai lainnya mungkin berasal dari
Kawah Ratu yang berada di balik bukit, karena sungai itu berwarna campuran
antara kuning keemasan dan oranye. Sedikit cerah. Sedangkan di sudut lainnya
sudah tampak air terjun yang sangat tinggi, sekitar 100 meter. Air terjun itu
bernama Curug Muara. Saya tidak pandai menggambarkan keindahan alam semacam
ini. Saya hanya takjub, ketika refleksi sinar matahari terpantul dari air yang
sangat jernih, seperti cermin berkilauan. Dan dingin air sungainya benar-benar
juara. Segar!
Tanpa pikir panjang kami
bergegas menuju air terjun menyusuri sungai. Hanya ada beberapa orang saja yang
terlihat sedang berada di air terjun itu. Shari sudah tidak sabar bermain air,
sedangkan saya masih terkesima oleh keindahan yang ada di depan mata. Saya
tidak berani turun ke air untuk mandi, karena dinginnya luar biasa dan saya
juga merasa kurang sehat pagi itu. Saya hanya menyaksikan Shari yang asik
bermain air di aliran sungai. Tiba-tiba saya teringat sebuah film dokumenter
tentang sungai Gangga di India, yang masih asri di hulu dan sudah sangat
beracun di hilir. Dan saya yakin hal ini juga terjadi pada sungai ini, semakin
jauh alirannya, semakin banyak pula sampahnya. Tapi untuk di kawasan Curug
Muara, saya lihat cukup bersih karena tersedianya kantung-kantung sampah, meski
masih ada pengunjung yang buang sampah sembarangan, juga masih ada orang yang
mandi menggunakan sabun dan gosok gigi mencemari sungai.
Setelah puas bermain air,
dan berganti pakaian, Shari kembali menikmati pemandangan yang ada sambil
berkeliling di sekitaran sungai. Saya sendiri hanya berbaring di batu besar
menghadap air terjun tinggi itu. Tanpa sadar pengunjung lain mulai berdatangan.
Meskipun di hari minggu tempat ini terbilang sepi, tidak seperti air terjun
lainnya di kawasan Gunung Bunder. Curug Muara masih sangat tenang, dan kami
menikmatinya sampai siang datang. Akhirnya kami harus kembali pulang menuju
tenda untuk makan siang, kali ini kami harus mengeluarkan tenaga ekstra karena
trek yang lebih banyak menanjak.
Matahari di sekitar perkemahan
berada di atas kepala, beruntung tenda kami di bawah pohon rindang. Tanpa buang
waktu beristirahat, kami mulai memasak untuk makan siang. Dan kali ini Shari
yang pegang kendali sedangkan saya menjadi penonton. Sekitar 1 jam, makan siang
sudah bisa kami santap. Karena sudah sangat lapar, kami tampak sangat lahap
seperti orang yang kekurangan makan. Soal rasa, Shari belum mampu menandingi
kepiawaian saya soal masak memasak. Tapi karena lapar, bolehlah.
Perut kenyang dan semilir
angin pegunungan di siang hari adalah kombinasi yang serasi, membuat mata saya
mendadak berat. Karena sedikit lelah setelah trekking ke air terjun, akhirnya
saya bisa tidur nyenyak meski hanya beberapa puluh menit. Sedangkan Shari malah
asik berkeliling di sekitar perkemahan yang cukup ramai dilintasi para
pengunjung. Entah apa yang ada di kepalanya, yang jelas saya harus mengumpulkan
tenaga untuk perjalanan pulang di sore harinya.
Minggu sore 16:00, kami
mulai merapikan barang-barang agar kami bisa turun gunung sebelum gelap datang.
Terasa berat kaki ini menuruni tangga demi tangga dan jalan berbatu menuju
tempat penitipan kendaraan. Bukan fisik saya yang lelah, tapi saya masih betah
berada di tempat ini. Tempat yang tenang, orang-orang yang bersahabat, udara
segar, dan pastinya jauh dari hiruk pikuk. Saya hanya bisa berharap dapat
sesering mungkin menginjakkan kaki di tempat semacam ini.
Kami meluncur menuju stasiun,
dan tiba saat gelap datang. Saya hanya mengantarnya sampai pintu luar, karena
perjalanan saya masih lumayan jauh. Shari terlihat puas dengan petualangannya,
dia pun berkali-kali mengucapkan terima kasih karena saya sudi menemaninya.
Sebelum masuk ke dalam stasiun Shari memberi saya sebuah amplop berisi uang.
Entah berapa jumlahnya, saya langsung mengembalikan amplop itu. Mungkin uang
itu untuk membayar jasa, tapi sayangnya saya tidak sedang menjual jasa, saya
baru saja pulang tamasya dan rasa senangnya belum tentu terbayar oleh isi
amplop itu. Shari sedikit kebingungan, lantas dia bilang akan mengundang saya untuk
ngobrol-ngobrol jika sedang ada waktu luang. Saya pergi meninggalkan stasiun
dan bergumam dalam hati, jangan undang saya datang ke kota, karena saya akan
tampak kampungan di hadapan orang-orang kota. Undang saya untuk datang ke alam
liar, karena saya ingin bertemu Tarzan.