Wednesday, November 4, 2015

Deskripsi Alam Liar



Sabtu dini-hari, 19 September 2015. Saya mendapat pesan dari Aldi, teman sekantor yang sudah sangat sering membantu saya dalam pekerjaan. Isi pesannya berupa permintaan tolong, saya diminta untuk menemani anak magang dari India bawaan bos besar jalan-jalan ke tempat wisata alam. Awalnya saya menolak, selain karena sangat mendadak, saya juga baru pulang kemah satu minggu sebelumnya. Selain itu saya selalu malas bertemu dan beradaptasi dengan orang baru yang dipertemukan secara sengaja, apalagi orang India, pasti bertele-tele batin saya. Tapi setelah dijelaskan panjang lebar akhirnya saya bersedia membantu dengan ketentuan yang saya buat. Saya bukan pemandu wisata dan saya hanya sukarela melakukannya, dengan begitu saya tidak perlu merasa di bawah tekanan, karena ini bukan pekerjaan saya. Susah senang bukan saya yang tanggung tapi akan kami tanggung bersama. Kesepakatan pun terjadi, saya harus mengajak si anak magang itu ke suatu tempat hari itu juga.
Saya memiliki kebebasan menentukan tempat dan soal biaya semua ditanggung kantor. Saya bisa saja membawanya ke tempat wisata dengan segala fasilitas berprestise dan menginap di hotel berbintang. Tapi saya ingin yang lebih menantang dan memiliki kesan lebih. Yang ada di benak saya adalah berkemah, meski saya bingung mau membawa si anak magang ini kemah di mana. Dan terus berharap dia akan menyukai lokasi yang saya pilih.
Karena rencana yang sangat mendadak, saya mencari informasi tempat terdekat untuk berkemah di internet, sembari menyiapkan barang apa saja yang harus saya bawa. Namun saya menghindari jalur Puncak arah Cianjur, maklum akhir pekan banyak orang tamasya yang pastinya bikin macet. Dan jawabannya adalah Gunung Salak Endah atau lebih populer disebut Gunung Bunder, di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selain aksesnya mudah, saya sudah hafal jalan menuju lokasi, dan setahu saya di sana tersedia beberapa camping ground dan banyaknya pilihan wahana wisata dalam satu kawasan. Dengan ketinggian awal mencapai 1050 mdpl, gunung ini tidak setinggi gunung lain, tapi  saya bisa jamin Gunung Bunder masih cukup dingin dan asri. Saya sedikit tahu, karena saya sering mampir begadang di warung kopi yang tersebar di area Gunung Bunder.
Saya bukan pendaki dan tidak memiliki alat berkemah, saya menyewa sebuah tenda, 2 sleeping bag, matras, kompor dan panci. Sedangkan soal makanan saya membawa bahan-bahan mentah, karena memasak sendiri di alam terbuka akan terasa lebih nikmat ketimbang beli di warung. Saya membawa beras, tempe, ikan asin, sayuran, bumbu masak, roti gandum, kopi dan teh. Tidak lupa makanan ringan untuk ganjal perut saat darurat dan 2 botol anggur pabrikan lokal. Semua barang dan makanan masuk dalam satu tas besar berukuran 75.5 liter.
Sekitar pukul 14:00 saya menjemput anak magang itu di stasiun. Di luar ekspektasi ternyata si anak magang ini cewek. Dan saya menyiapkan semua ini seadanya ala cowok. Saya sempat sedikit bingung, tapi saya tidak punya pilihan untuk membatalkannya begitu saja. Lantas saya menghubungi Aldi, tapi berulang kali saya telepon tidak juga diangkat. Sedikit panik, saya menghubungi pacar, saya ingin dia ikut dalam petualangan kecil ini. Tapi sayangnya pacar saya tidak ada jatah liburan akhir pekan, dan dia menyarankan saya untuk tetap melanjutkan perjalanan tanpanya. Setelah merasa lebih yakin untuk melanjutkannya, saya mulai percakapan perkenalan dengan si anak magang dan langsung membahas soal rencana perjalanan kami. Tanpa ada masalah, dia pun terlihat bersemangat untuk berkemah. Soal tempat akan kami pikirkan nanti, dan kami bergerak menuju Gunung Bunder dengan menempuh perjalanan sekitar 90 menit menggunakan sepeda motor. Dalam perjalanan saya sempat menawarkan untuk mencari tempat penyewaan tenda, agar kami bisa tidur di tenda masing-masing. Tapi dia bilang tidak perlu, terlalu repot mendirikan dua buah tenda untuk satu malam. Lagian tenda yang saya bawa sebenarnya cukup untuk tiga orang, jadi bisa kami beri batas tengah dengan tas.
Tak terasa kami sudah memasuki kawasan Gunung Bunder. Saya bertanya pada petugas, dan kami direkomendasikan untuk berkemah di area Curug Seribu. Kami langsung mengarah ke camping ground di area tersebut. Saya memilih tempat ini karena adanya toilet dan letaknya tidak jauh dari pos penjagaan, juga ada beberapa warung 24 jam, jadi saya pikir aman untuk perempuan. Meski sebenarnya saya tidak terlalu suka mendirikan tenda di camping ground, tapi saya tetap tidak punya pilihan karena sudah terlambat untuk mencari lokasi yang lebih tinggi. Pukul 16:00 kami mulai membuka tenda, saya memilih tempat paling ujung di sisi jurang karena masih banyak pohon besar, agar kami tidak perlu kepanasan dalam tenda di siang hari. Saat mendirikan tenda saya terus berpikir dan sedikit tidak percaya sedang bersama Shari si anak magang yang sama sekali belum saya kenal sebelumnya dan kami sama-sama amatir sebagai pecinta alam. Beruntung ini hanyalah camping ground dan dia bisa bekerja sama dengan baik, meski masih terlihat canggung.
Setelah tenda berdiri, kami berkeliling di hutan sekitar perkemahan untuk mencari kayu bakar. Api unggun saat berkemah adalah wajib, karena udara pegunungan di malam hari akan sangat dingin. Saya berhasil mengumpulkan banyak batang dan ranting kayu, Shari pun tidak segan membantu mengumpulkan dan membawa kayu bakar, entah karena perasaan tidak enak atau hal itu semacam petualangan menyenangkan. Entahlah, yang jelas tidak ada keluhan dari mulutnya sejauh ini.
Hari hampir gelap, saya membuat kopi dan membuat masakan untuk makan malam, sedangkan Shari menyusun api unggun. Selapas maghrib cuaca mulai terasa dingin, api unggun kami nyalakan sembari menikmati kopi hangat dan menunggu makan malam. Tidak sampai satu jam masakan saya sudah siap disantap dan soal rasa tidak perlu diragukan, karena saya ahli soal masakan. Hal ini terbukti saat Shari memberi komentar untuk masakan saya. Dia bilang masakan saya lebih enak ketimbang masakan ibunya. Agak berlebihan, tapi ya begitulah. Namanya di gunung, apa saja jadi terasa lebih nikmat. Padahal hanya sup sayuran dengan taburan ikan asin pedas dan tempe goreng. Atau mungkin saya benar-benar handal soal masak memasak. Mungkin saja.
Malam semakin gelap, hanya ada 5 titik api unggung terlihat di area camping ground yang saling berjauhan, sedangkan di seberang area kami berdiri belasan tenda yang berkelompok. Malam itu benar-benar sepi, hanya suara air sungai di dasar lembah dan suara-suara binatang di hutan yang bisa kami dengar, tidak ada suara musik dari mesin-mesin pemutar dan tidak ada suara bising kendaraan. Keheningan inilah yang mahal untuk saya, karena saya hanya menemukannya di sini di alam bebas seperti ini. Shari pun terlihat sangat menikmati malam ini dan terlihat asik di depan api sambil bercerita mengenai dirinya.
Shari adalah seorang mahasiswi yang sedang menyelesaikan jenjang S2 bidang penyutradaraan di salah satu perguruan tinggi di India. Untuk menyelesaikan tugas kampus, Shari melakukan penelitian dalam sebuah produksi film di Indonesia. Sudah tiga bulan Shari tinggal di Jakarta, mengikuti beberapa produksi film untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Shari banyak bercerita tentang pengalamannya di Indonesia dan membandingkannya dengan apa yang dialaminya di Negerinya. Karena saya sempat terlibat dalam dunia perfilman, saya sedikit banyak menyerap ilmu dari cerita-cerita Shari tentang proses kreatif yang dijalaninya. Dan saya kira Shari adalah orang hebat yang akan menjadi sutradara besar kelak.
Cerita demi cerita mengisi keheningan dan rasa dingin yang semakin menjadi, sampai kami sadar bahwa persediaan kayu bakar menipis. Akhirnya saya putuskan untuk kembali masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar sendirian, sedangkan Shari saya perintahkan untuk memasak air panas untuk membuat kopi atau teh. Tanpa rasa takut saya berkeliling hutan yang mulai lembab berselimut embun, batang ranting kayu sudah sedikit basah, tapi saya terpaksa mengambil apa saja yang bisa saya bakar. Paling tidak bahan bakar harus cukup sampai kami bosan di depan api unggun.
Di dalam hutan yang berjarak ratusan meter dari tenda, saya mendengar suara seorang wanita sedang menangis di area perkemahan. Awalnya saya mengira itu adalah suara orang-orang yang sedang tertawa, tapi lama kelamaan saya yakin kalau suara itu tidak normal. Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke tenda membawa kayu bakar yang saya kumpulkan. Saat sampai di tenda, Shari tampak ketakutan dengan suara tangisan yang berasal dari seberang area camping ground kami. Saya mencoba tetap tenang agar Shari tidak menjadi panik, dan saya mencari tahu apa yang terjadi di sana. Saya kembali meninggalkan Shari sendirian, menghampiri tenda-tenda yang berkelompok. Dalam keremangan terlihat hiruk pikuk terjadi di antara tenda-tenda itu, sampai akhirnya saya menyaksikan puluhan orang, khususnya wanita sedang mengamuk, menjerit dan menangis. Saya langsung dapat menyimpulkan bahwa mereka sedang kerasukan. Semakin lama, satu persatu dari mereka kehilangan kendali, berteriak kesakitan dan selanjutnya meraung-raung. Sedangkan orang-orang lainnya yang masih tampak sadar mencoba membantu teman mereka yang kerasukan. Saya hanya bisa melihat, sedikit ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Tidak lama saya sudah kembali ke tenda dan menjelaskan apa yang terjadi pada Shari, mencoba membuatnya tidak panik. Dari depan tenda, kami bisa melihat satu persatu dari mereka dibawa keluar dari area perkemahan untuk diberi pertolongan oleh pengurus perkemahan dan warga setempat. Dari kejauhan kami masih bisa mendengar suara jerit kesakitan yang mayoritas adalah suara perempuan. Hal ini terjadi hampir 2 jam, sampai kami hanya bisa diam kebingungan. Entah apa penyebabnya, tapi saya menyimpulkan bahwa kejadian semacam ini akan mudah terjadi saat kita tidak bisa mengendalikan diri. Mereka terlibat perasaan yang berlebihan, senang berlebihan dan tidak sadar bahwa mereka berada di alam liar, tempat yang mungkin asing untuk dikendalikan bagi jiwa-jiwa yang kosong. Beruntung saya dan Shari tidak terlibat suasana mencekam itu dan tetap mampu berpikir untuk segala kemungkinan terburuk. Sebelumnya saya juga sudah memberi peringatan dan peraturan tidak tertulis pada Shari saat berada di gunung, ya apapun bisa terjadi di sini. Yang terpenting adalah menjaga sikap dan ucapan. Selalu ada hal yang tidak terukur di alam liar.
Pukul 22:00, lambat laun suara-suara itu hilang dan keheningan kembali datang. Saya membuka botol anggur yang saya bawa, berbagi gelas bersama Shari sambil bercerita di depan api unggun. Sedikit menghangatkan badan di saat rasa dingin mulai menusuk tulang. Tak terasa 2 jam berlalu, dan kami mulai merasa lapar. Kami memasak mi instan dengan sayuran segar, dan langsung menyantapnya saat masih panas. Lagi-lagi masakan sederhana ini terasa sangat nikmat, mungkin karena cuaca, tempat dan prosesnya yang membuatnya menjadi terasa berbeda kalau kita memasaknya di dapur rumahan.
Lepas 12 malam, kami sudah kenyang dan sedikit mabuk di botol kedua. Kami mulai sadar bahwa kami sudah merasa lepas dalam berkomunikasi, saya mulai terbiasa mendengar Shari berbicara bahasa Inggris berlogat India. Tidak ada rasa canggung karena baru saling mengenal, atau mungkin ini akibat alkohol. Entahlah, mungkin hanya perasaan saya saja yang terlepas dari beban yang saya pikirkan. Sampai akhirnya api unggun meredup dan kayu bakar sudah habis, penerangan yang ada hanyalah lilin di antara bebatuan depan tenda kami. Sedangkan lampu LED untuk penerangan di dalam tenda. Saat masih asik mengobrol, cuaca menjadi semakin dingin, angin semakin kencang dan embun menebal sehingga rerumputan mulai benar-benar basah. Akhirnya kami putuskan untuk masuk ke dalam tenda, meski rasa kantuk masih jauh dari mata.
Dengan penerangan seadanya yang menggantung di langit-langit tenda dan beralaskan sebuah sleeping bag kami melanjutkan perbincangan di dalam tenda. Menceritakan apa saja yang ada di kepala, sampai cita-cita Shari untuk kembali datang ke tempat ini dan membuka tenda bersama kekasih yang akan menikahinya setelah Shari menyelesaikan studi. Mendadak saya teringat pacar saya yang tidak pernah sekalipun saya ajak jalan-jalan. Bukan karena waktu atau kesibukan masing-masing, tapi kami memiliki hobi yang berbeda, dia lebih suka pergi ke keramaian dan saya benci itu.
Waktu sudah larut, Shari mulai merebahkan diri dalam kantung tidurnya. Tugas saya adalah menghabiskan sisa botol kedua, dan terpaksa merokok dalam tenda karena di luar sudah terlalu dingin. Kami berhenti berbicara, Shari terlihat sudah memejamkan mata, sedangkan saya sadar bahwa jadwal tidur yang belum tiba. Botol kedua pun habis tanpa sisa, saya kembali merokok dan menyelami keheningan. Meskipun jaket yang saya pakai cukup tebal, namun masih terasa udara dingin yang luar biasa mengepung tenda kami. Saya juga mulai merebahkan diri, mencoba tidur tanpa sleeping bag. Saat mulai memejamkan mata, saya mendengar suara asing persis di sisi belakang tenda kami. Seperti suara seorang wanita yang sedang menertawakan saya yang ingin berangkat tidur, sesekali saya juga mendengar suara gesekan, seperti ada yang menggaruk dinding tenda. Suara-suara ini membuat bulu kuduk berdiri, jujur saya ketakutan dan tidak berani keluar untuk memastikan apa yang terjadi di luar. Suara itu menghilang saat sayup-sayup adzan Subuh terdengar dari sebuah pengeras suara di balik lembah.
Shari terjaga mendengar suara adzan itu, saya mendengar gerakannya membuka sleeping bag dalam kegelapan. Beberapa menit kemudian sleeping bag itu sudah berubah fungsi menjadi selimut, menutupi badan saya yang setengah beku. Saya hanya diam, bergumam dalam hati. Berterimakasih pada apa yang Shari lakukan, kebaikan kecil yang sangat menolong karena dia rela berbagi selimut. Meski saya sudah tidak merasa kedinginan, saya tetap tidak bisa terlelap dan hanya memikirkan hal-hal acak yang datang silih berganti dalam otak. Ini akibat kebiasaan saya di rumah yang tidak pernah tidur sepanjang malam. Sedikit tersiksa, tapi saya menikmati setiap detik keheningan dan pikiran-pikiran yang ada.
06:00 Minggu pagi, Shari sudah bergegas keluar tenda, sementara saya masih nyaman dalam selimut. Mungkin Shari pergi ke toilet atau entah apa yang dilakukannya di luar. Dan saat saya keluar tenda, dingin masih sangat terasa, namun tidak lagi menusuk-nusuk tulang, melainkan sangat segar untuk dihirup. Pagi di pegunungan adalah hal yang selalu saya rindukan. Sambil menunggu Shari, saya menyeduh kopi panas dan memanggang roti gandum kacang hijau untuk sarapan.
Jadwal kami setelah sarapan adalah pergi ke air terjun. Dari perkemahan terdapat tiga jalur menuju tempat yang berbeda, pertama jalan menuju Curug Seribu, yang ke dua menuju Curug Muara, sedangkan jalur satunya menuju Kawah Ratu, juga bisa dilanjutkan ke Puncak Salak. Saya bertanya pada teman-teman lain yang berkemah yang kebetulan pernah trekking ke tiga tempat tersebut. Curug Seribu memiliki jarak tempuh sekitar 1 jam, dan Curug Muara dapat ditempuh hanya sekitar 30 menit, sedangkan Kawah Ratu butuh sekitar 3 Jam atau 5 sampai 6 jam berjalan kaki menuju Puncak Salak jika tidak tersesat. Karena saya belum cukup tidur, saya putuskan untuk melakukan perjalanan terdekat, yaitu Curug Muara. Kami langsung berbenah, menyiapkan apa saja yang harus kami bawa dan meninggalkan barang lainnya di tenda.
Melewati jalan bebatuan, kami bisa melihat indahnya hutan di setiap sudut yang kami lalui. Sedikit menanjak dan lebih banyak jalan menurun, semakin jauh ke dalam hutan semakin ekstrim menuju lembah. Saya juga sempat melihat beberapa ekor kera dan burung liar di atas pohon. Sampai akhirnya kami mendengar suara air terjun dan deras air sungai dari kejauhan saat menuruni anak-anak tangga yang tersusun rapi di antara tebing yang saling berhadapan. Saya melihat beberapa air terjun kecil di seberang tebing yang kami lewati saat menuruni anak tangga, dan semakin jauh ke bawah saya semakin takjub dengan apa yang saya lihat dengan mata telanjang.
Saat melewati jembatan kayu, tepat di bawah saya adalah pertemuan dua aliran sungai. Sungai pertama adalah aliran dari Curug Muara, sedangkan aliran sungai lainnya mungkin berasal dari Kawah Ratu yang berada di balik bukit, karena sungai itu berwarna campuran antara kuning keemasan dan oranye. Sedikit cerah. Sedangkan di sudut lainnya sudah tampak air terjun yang sangat tinggi, sekitar 100 meter. Air terjun itu bernama Curug Muara. Saya tidak pandai menggambarkan keindahan alam semacam ini. Saya hanya takjub, ketika refleksi sinar matahari terpantul dari air yang sangat jernih, seperti cermin berkilauan. Dan dingin air sungainya benar-benar juara. Segar!
Tanpa pikir panjang kami bergegas menuju air terjun menyusuri sungai. Hanya ada beberapa orang saja yang terlihat sedang berada di air terjun itu. Shari sudah tidak sabar bermain air, sedangkan saya masih terkesima oleh keindahan yang ada di depan mata. Saya tidak berani turun ke air untuk mandi, karena dinginnya luar biasa dan saya juga merasa kurang sehat pagi itu. Saya hanya menyaksikan Shari yang asik bermain air di aliran sungai. Tiba-tiba saya teringat sebuah film dokumenter tentang sungai Gangga di India, yang masih asri di hulu dan sudah sangat beracun di hilir. Dan saya yakin hal ini juga terjadi pada sungai ini, semakin jauh alirannya, semakin banyak pula sampahnya. Tapi untuk di kawasan Curug Muara, saya lihat cukup bersih karena tersedianya kantung-kantung sampah, meski masih ada pengunjung yang buang sampah sembarangan, juga masih ada orang yang mandi menggunakan sabun dan gosok gigi mencemari sungai.
Setelah puas bermain air, dan berganti pakaian, Shari kembali menikmati pemandangan yang ada sambil berkeliling di sekitaran sungai. Saya sendiri hanya berbaring di batu besar menghadap air terjun tinggi itu. Tanpa sadar pengunjung lain mulai berdatangan. Meskipun di hari minggu tempat ini terbilang sepi, tidak seperti air terjun lainnya di kawasan Gunung Bunder. Curug Muara masih sangat tenang, dan kami menikmatinya sampai siang datang. Akhirnya kami harus kembali pulang menuju tenda untuk makan siang, kali ini kami harus mengeluarkan tenaga ekstra karena trek yang lebih banyak menanjak.
Matahari di sekitar perkemahan berada di atas kepala, beruntung tenda kami di bawah pohon rindang. Tanpa buang waktu beristirahat, kami mulai memasak untuk makan siang. Dan kali ini Shari yang pegang kendali sedangkan saya menjadi penonton. Sekitar 1 jam, makan siang sudah bisa kami santap. Karena sudah sangat lapar, kami tampak sangat lahap seperti orang yang kekurangan makan. Soal rasa, Shari belum mampu menandingi kepiawaian saya soal masak memasak. Tapi karena lapar, bolehlah.
Perut kenyang dan semilir angin pegunungan di siang hari adalah kombinasi yang serasi, membuat mata saya mendadak berat. Karena sedikit lelah setelah trekking ke air terjun, akhirnya saya bisa tidur nyenyak meski hanya beberapa puluh menit. Sedangkan Shari malah asik berkeliling di sekitar perkemahan yang cukup ramai dilintasi para pengunjung. Entah apa yang ada di kepalanya, yang jelas saya harus mengumpulkan tenaga untuk perjalanan pulang di sore harinya.
Minggu sore 16:00, kami mulai merapikan barang-barang agar kami bisa turun gunung sebelum gelap datang. Terasa berat kaki ini menuruni tangga demi tangga dan jalan berbatu menuju tempat penitipan kendaraan. Bukan fisik saya yang lelah, tapi saya masih betah berada di tempat ini. Tempat yang tenang, orang-orang yang bersahabat, udara segar, dan pastinya jauh dari hiruk pikuk. Saya hanya bisa berharap dapat sesering mungkin menginjakkan kaki di tempat semacam ini.
Kami meluncur menuju stasiun, dan tiba saat gelap datang. Saya hanya mengantarnya sampai pintu luar, karena perjalanan saya masih lumayan jauh. Shari terlihat puas dengan petualangannya, dia pun berkali-kali mengucapkan terima kasih karena saya sudi menemaninya. Sebelum masuk ke dalam stasiun Shari memberi saya sebuah amplop berisi uang. Entah berapa jumlahnya, saya langsung mengembalikan amplop itu. Mungkin uang itu untuk membayar jasa, tapi sayangnya saya tidak sedang menjual jasa, saya baru saja pulang tamasya dan rasa senangnya belum tentu terbayar oleh isi amplop itu. Shari sedikit kebingungan, lantas dia bilang akan mengundang saya untuk ngobrol-ngobrol jika sedang ada waktu luang. Saya pergi meninggalkan stasiun dan bergumam dalam hati, jangan undang saya datang ke kota, karena saya akan tampak kampungan di hadapan orang-orang kota. Undang saya untuk datang ke alam liar, karena saya ingin bertemu Tarzan.