Tuesday, December 16, 2014

Sepasang Sahabat Sepanjang September

Suara nada dering dengan frekuensi datar terdengar dari telpon genggam di sebuah rumah yang tidak terlalu tenang. Tak lama pemiliknya tampak memperhatikan, kemudian terlibat percakapan, terbata-bata. Kaku. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya ada kabar baik yang membuatnya terlihat senang, selama dan setelah pembicaraan usai. Aku terus memperhatikannya, melihat dia tersenyum dalam lamunan setelahnya, kemudian panik ketika sinar merah berkelip di telepon genggam itu. Kejadian seperti ini terus terulang setelah malam itu. Tapi Aku belum mengenalnya walaupun kami tinggal satu atap, dan entah mengapa aku ingin mengenalnya lebih jauh. Mungkin aku butuh teman, karena tidak seorang pun yang aku kenal di rumah ini selain seekor anak anjing yang kadang menemaniku tidur, juga bicara.

Akhirnya aku mengetahui namanya dari lembar KTP yang berserak di ubin kamar. Lelaki itu bernama Gelap, sesuai dengan kepribadiannya yang tertutup dan penyendiri. Gelap aktif dalam dunia seni sejak sepuluh tahun yang lalu dan bekerja paruh waktu dalam bidang desain. Aku lebih sering melihatnya bekerja di dalam kamar, kadang sesekali pergi dari rumah, entah kemana. Aku hanya bisa mengenali melalui sebagian karyanya yang egois. Ya, karyanya sangat-sangat egois, tidak lagi menunjukan sebuah sikap idealisme seorang seniman, namun cenderung anti-art sebagaimana layaknya the-loners di era fluxus dengan gaya hidup bohemian. Aku semakin bingung ketika aku bertanya, bagaimana kamu bisa hidup seperti ini? Gelap hanya menjawab dengan penuh keyakinan: “Aku hidup karena aku ingin bukan karena keharusan untuk memenuhi takdir”.

Bukan jawaban itu sebenarnya yang ingin kudengar, mungkin butuh proses untuk saling mengenal. Lambat laun, semakin hari kami bisa semakin dekat dan ternyata Gelap tidak seperti perkiraanku. Dia cukup bersahabat dan terbuka untuk hal-hal tertentu. Gelap banyak menceritakan hidupnya, panjang. Aku lebih mengenal dunianya walaupun hanya kulit terluar, namun semakin jauh semakin remang, terlalu rumit untuk memahaminya. Bahkan, aku cukup terkesima mendengar jawaban Gelap ketika aku bertanya, apakah tidak merasa jenuh dengan kehidupanmu yang sepertinya sempit? “Jiwaku tidak sesempit kehidupanku teman, karena aku terbiasa melangkah diantara himpitan”. Jawabnya yakin.

Hal lain yang membuatku penasaran adalah orang yang telah menghubunginya malam itu?! Tanpa perlu aku bertanya, akhirnya Gelap menceritakannya padaku, dia adalah seorang wanita bernama Cahaya. Satu-satunya sahabat Gelap, mereka belum lama saling mengenal, belum genap tiga tahun. Tepatnya tiga puluh satu bulan yang lalu sampai september tahun ini. Mereka sudah sangat akrab seperti layaknya berteman sejak kecil dan tidak ada rahasia yang mereka simpan. Cahaya adalah seorang musisi juga menjadi guru musik, pandai bermain gitar dan suaranya khas ketika bernyanyi. Sosok ramah yang periang, penghibur nan santun berkharisma. Aku hanya terheran-heran, bagaimana mungkin Cahaya bisa berteman dengan Gelap? Sedangkan dari kehidupan yang tampak nyata saja mereka berkebalikan. Cahaya memiliki pola hidup yang sangat teratur dan mentaati kehidupan layaknya takdir yang akan membawanya menuju kebahagiaan. Dan itu tidak berlaku untuk Gelap.

Rupanya mereka sudah lama tidak bertemu dan bertukar kabar, itulah mengapa Gelap terlihat begitu bahagia. Mereka semakin giat memberi kabar dan sesekali mengobrol di teras depan rumah melalui telepon selular. Aku hanya bisa menguping percakapan mereka dari balik dinding yang kering dan dingin. Sungguh menyenangkan mendengarkan percakapan sepasang sahabat ini. Tegur-sapa ketulusan, ada nasihat, mengingatkan. Menghabiskan waktu demi waktu dengan hangatnya keceriaan, kadang hanya diam. Aku semakin faham seberapa jauh kedekatan mereka. Dan sejujurnya aku iri dengan itu semua, karena aku sepi. Aku tidak sanggup membunuhnya sendiri.

Aku juga sempat menyaksikan mereka di puncak bukit, berbagi cerita, atau lagi-lagi hanya diam menghabiskan berbatang rokok tanpa bicara, merenungkan perasaan. Persahabatan yang mencurigakan, batinku. Aku tidak pernah bertanya secara langsung kepada mereka, karena pada awalnya keanehan dalam hubungan mereka sebatas rasa nyaman, saling terbuka. Seiring waktu mereka seperti kecanduan hangatnya persahabatan. Bukan cemburu, tapi aku melihat ada sesuatu yang janggal diantara sepasang sahabat ini. Namun aku tidak pantas untuk bertanya, terlebih memberi nasihat. Karena aku sudah cukup beruntung mengenal Gelap dan Cahaya. Aku merasakan ketulusan keduanya, sederhana. Ya, sederhana. Dan itu mahal harganya. Namun semua menjadi rumit ketika Gelap terlalu berharap dapat menemukan secercah cahaya, sedangkan Cahaya penuh keraguan menghadapi kegelapan. Kurasa dua hal itu kurang baik, karena sesuatu yang berlebihan ataupun yang dilakukan dengan keraguan akan tak terduga dampaknya. Mengalir pun demikian, kita akan hanyut.

Hampir setiap saat mereka selalu bersama layaknya seorang kekasih, Cahaya mulai bernyanyi bahagia bahkan menuliskan sebuah lagu untuk melukiskan apa yang terjadi dengan perasaanya. Namun dibalik semua itu lingkar matanya semakin pekat menghitam, nafasnya sesak. Sedangkan Gelap terkadang menjadi linglung. Kaki dan tangannya bergerak tidak seimbang dengan pikiran, sampai suatu hari aku mengantarkannya ke sebuah klinik demi mendapatkan penanganan medis ketika Gelap merasakan jiwanya lenyap. Tapi usahaku sama sekali tidak membantu, hanya membuat mimpinya bertambah buruk. Mungkin Gelap harus melepaskan semua yang terendap, karena Gelap lebih banyak menyimpan.

 Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada sepasang sahabat ini? Mengapa situasi ini berubah sangat cepat? Mereka bisa sangat dekat kala senja dan saling menyakiti saat fajar tiba. Kondisi seperti ini terus berulang sepanjang september tahun ini. Dan, perlahan aku melihat warna biru di tengah kehangatan yang membeku, biru menyala-nyala. Tidak lagi tanpa warna atau warna-warni seperti pelangi. Mereka bermain dengan lilin-lilin yang menerangi jalan setapak dan ketika jalan itu terbakar, kelak akan sulit untuk kembali. Hanya mampu menyaksikan dari kejauhan, aku tidak merasakan kesanggupan hidup diantara pahitnya. Lilin itu seolah menerangi kehidupan mereka layaknya matahari, meleleh kemudian redup ditelan kabut senja yang terus menebal. Itulah kejujuran yang mereka sadari tapi tidak dapat dihindari, seperti Adam memetik buah itu, tersenyum. Dan kehidupan akan dimulai dengan warna hitam. Tidak ada yang salah tapi itulah pilihan.

Sepanjang september ini dugaanku terjadi, ada kerinduan penuh bara dan keheningan yang sangat senyap sekaligus. Cahaya sering meneteskan air-mata luka, sedangkan Gelap semakin sering terjebak mimpi-mimpi yang tidak ia fahami sebagai mimpi, membawanya terbang terlalu tinggi dan tidak mampu kembali. Berjuta kata telah membunuh kata di ujung lidah metafora, namun semuanya akan tetap hidup dalam hati keduanya. Pendewasaan untuk sebuah persahabatan atas nama waktu dan keteguhan hati. Karena tidak ada yang kekal jika kita tidak faham apa artinya semu. Sementara itu, aku hanya diam, karena aku adalah saksi bisu.

Sampai pada bulan selanjutnya keadaan tidak jauh berubah, ada sebuah perasaan yang membuncah teredam kesepakatan untuk saling menghargai keputusan, bahwa mereka adalah sahabat. Bahkan lebih dari itu, tak terpisahkan. Bukan kekasih. Aku tidak mengerti apa istilah yang paling tepat untuk kepura-puraan itu. Karena aku yakin seberapa pun pandainya mereka menyembunyikan rasa, semua akan sia-sia. Karena hati selalu bicara kejujuran tanpa rekayasa pikiran yang setiap saat dapat dikondisikan untuk berubah. Pikiranlah yang berubah, perasaan tidak. Hanya saling menumpuk terpengaruh pikiran, emosi dan situasi yang juga selalu berubah. Di satu sisi semuanya dihadapkan pada realita, sebuah pilihan untuk melanjutkan hidup atau saling merelakan. Rupanya aku menilai mereka terlalu jauh tapi begitulah yang aku saksikan.

Masih terselip ketenangan dalam setiap dialog malam hari, terkadang sore juga pagi diantara mereka. Namun semua tidak dapat bertahan karena perasaan memaksa mereka untuk bicara dan ketika itu terjadi, selalu diakhiri dengan perselisihan. Lagi, lagi dan selanjutnya saling menyakiti tanpa niat, namun semua terasa sakit. Aku selalu dapat merasakan itu. Berulang kali pula, dengan penuh kesadaran mereka saling memaafkan, saling menjaga untuk membuat semuanya lebih ringan. Mengalir dan menghangatkan, yang pada akhirnya bermuara pada kubangan keruh tanpa ada celah untuk mengalir lebih jauh.

Mereka tersesat dalam endapan rasa yang menggumpal, tenggelam dalam kubang hitam tak berpangkal. Nafas panjang tanpa hempasan yang melegakan. Aku tidak mampu berbuat, juga tidak mengerti di mana mereka berada sekarang ini. Jika aku menjemput mereka ke dalam kubang, maka aku turut tenggelam. Sebuah titik akhir yang tidak seharusnya, tapi itulah kenyataan yang mereka jalani. Aku tidak lagi menemukan Gelap dan Cahaya, mereka menghilang sebagai kenangan untukku. Teman dan kisah yang mengagumkan untuk selalu kuingat tanpa seorang pun tahu aku pernah bertemu, mengenal dan menyaksikan kisah mereka. Sempurna. Dan kini, aku berjalan di antara kegelapan, tanpa cahaya menerangi jalanku. Buram.
Pandu Hidayat, September 2012