Suara nada dering
dengan frekuensi datar terdengar dari telpon genggam di sebuah rumah yang tidak
terlalu tenang. Tak lama pemiliknya tampak memperhatikan, kemudian terlibat
percakapan, terbata-bata. Kaku. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi
sepertinya ada kabar baik yang membuatnya terlihat senang, selama dan setelah
pembicaraan usai. Aku terus memperhatikannya, melihat dia tersenyum dalam
lamunan setelahnya, kemudian panik ketika sinar merah berkelip di telepon
genggam itu. Kejadian seperti ini terus terulang setelah malam itu. Tapi Aku
belum mengenalnya walaupun kami tinggal satu atap, dan entah mengapa aku ingin
mengenalnya lebih jauh. Mungkin aku butuh teman, karena tidak seorang pun yang
aku kenal di rumah ini selain seekor anak anjing yang kadang menemaniku tidur,
juga bicara.
Akhirnya aku
mengetahui namanya dari lembar KTP yang berserak di ubin kamar. Lelaki
itu bernama Gelap, sesuai dengan kepribadiannya yang tertutup dan penyendiri.
Gelap aktif dalam dunia seni sejak sepuluh tahun yang lalu dan bekerja paruh
waktu dalam bidang desain.
Aku lebih sering melihatnya bekerja di dalam kamar, kadang sesekali pergi dari
rumah, entah kemana. Aku hanya bisa mengenali melalui sebagian karyanya yang
egois. Ya, karyanya sangat-sangat egois, tidak lagi menunjukan sebuah sikap
idealisme seorang seniman, namun cenderung anti-art
sebagaimana layaknya the-loners
di era fluxus dengan gaya hidup bohemian. Aku semakin bingung ketika aku
bertanya, bagaimana kamu bisa hidup seperti ini? Gelap hanya menjawab dengan
penuh keyakinan: “Aku hidup karena aku
ingin bukan karena keharusan untuk memenuhi takdir”.
Bukan jawaban itu sebenarnya yang ingin kudengar, mungkin
butuh proses untuk saling mengenal. Lambat laun, semakin hari kami bisa semakin
dekat dan ternyata Gelap tidak seperti perkiraanku. Dia cukup bersahabat dan
terbuka untuk hal-hal tertentu. Gelap banyak menceritakan hidupnya, panjang.
Aku lebih mengenal dunianya walaupun hanya kulit terluar, namun semakin jauh
semakin remang, terlalu rumit untuk memahaminya. Bahkan, aku cukup terkesima
mendengar jawaban Gelap ketika aku bertanya, apakah tidak merasa jenuh dengan
kehidupanmu yang sepertinya sempit? “Jiwaku
tidak sesempit kehidupanku teman, karena aku terbiasa melangkah diantara
himpitan”. Jawabnya yakin.
Hal lain yang membuatku penasaran adalah orang yang telah
menghubunginya malam itu?! Tanpa perlu aku bertanya, akhirnya Gelap
menceritakannya padaku, dia adalah seorang wanita bernama Cahaya. Satu-satunya
sahabat Gelap, mereka belum lama saling mengenal, belum genap tiga tahun.
Tepatnya tiga puluh satu bulan yang lalu sampai september tahun ini. Mereka
sudah sangat akrab seperti layaknya berteman sejak kecil dan tidak ada rahasia
yang mereka simpan. Cahaya adalah seorang musisi juga menjadi guru musik, pandai
bermain gitar dan suaranya khas ketika bernyanyi. Sosok ramah yang periang,
penghibur nan santun berkharisma. Aku hanya terheran-heran, bagaimana mungkin
Cahaya bisa berteman dengan Gelap? Sedangkan dari kehidupan yang tampak nyata
saja mereka berkebalikan. Cahaya memiliki pola hidup yang sangat teratur dan
mentaati kehidupan layaknya takdir yang akan membawanya menuju kebahagiaan. Dan
itu tidak berlaku untuk Gelap.
Rupanya mereka sudah lama tidak bertemu dan bertukar
kabar, itulah mengapa Gelap terlihat begitu bahagia. Mereka semakin giat
memberi kabar dan sesekali mengobrol di teras depan rumah melalui telepon selular. Aku hanya bisa menguping percakapan
mereka dari balik dinding yang kering dan dingin. Sungguh menyenangkan
mendengarkan percakapan sepasang sahabat ini. Tegur-sapa ketulusan, ada
nasihat, mengingatkan. Menghabiskan waktu demi waktu dengan hangatnya
keceriaan, kadang hanya diam. Aku semakin faham seberapa jauh kedekatan mereka.
Dan sejujurnya aku iri dengan itu semua, karena aku sepi. Aku tidak sanggup
membunuhnya sendiri.
Aku juga
sempat
menyaksikan mereka di puncak bukit, berbagi cerita, atau lagi-lagi hanya diam
menghabiskan berbatang rokok tanpa
bicara, merenungkan perasaan. Persahabatan yang mencurigakan, batinku. Aku
tidak pernah bertanya secara langsung kepada mereka, karena pada awalnya
keanehan dalam hubungan mereka sebatas rasa nyaman, saling terbuka. Seiring
waktu mereka seperti kecanduan hangatnya persahabatan. Bukan cemburu, tapi aku
melihat ada sesuatu yang janggal diantara sepasang sahabat ini. Namun aku tidak
pantas untuk bertanya, terlebih memberi nasihat. Karena aku sudah cukup
beruntung mengenal Gelap dan Cahaya. Aku merasakan ketulusan keduanya,
sederhana. Ya, sederhana. Dan itu mahal harganya. Namun semua menjadi rumit
ketika Gelap terlalu berharap dapat menemukan secercah cahaya, sedangkan Cahaya
penuh keraguan menghadapi kegelapan. Kurasa dua hal itu kurang baik, karena
sesuatu yang berlebihan ataupun yang dilakukan dengan keraguan akan tak terduga
dampaknya. Mengalir pun demikian, kita akan hanyut.
Hampir setiap saat mereka selalu bersama layaknya seorang
kekasih, Cahaya mulai bernyanyi bahagia bahkan menuliskan sebuah lagu untuk
melukiskan apa yang terjadi dengan perasaanya. Namun dibalik semua itu lingkar
matanya semakin pekat menghitam, nafasnya sesak. Sedangkan Gelap terkadang
menjadi linglung. Kaki dan tangannya bergerak tidak seimbang dengan pikiran,
sampai suatu hari aku mengantarkannya ke sebuah klinik demi mendapatkan
penanganan medis ketika Gelap merasakan jiwanya lenyap. Tapi usahaku sama
sekali tidak membantu, hanya membuat mimpinya bertambah buruk. Mungkin Gelap
harus melepaskan semua yang terendap, karena Gelap lebih banyak menyimpan.
Aku masih tidak
mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada sepasang sahabat ini? Mengapa situasi
ini berubah sangat cepat? Mereka bisa sangat dekat kala senja dan saling
menyakiti saat fajar tiba. Kondisi seperti ini terus berulang sepanjang
september tahun ini. Dan, perlahan aku melihat warna biru di tengah kehangatan
yang membeku, biru menyala-nyala. Tidak lagi tanpa warna atau warna-warni
seperti pelangi. Mereka bermain dengan lilin-lilin yang menerangi jalan setapak
dan ketika jalan itu terbakar, kelak akan sulit untuk kembali. Hanya mampu
menyaksikan dari kejauhan, aku tidak merasakan kesanggupan hidup diantara
pahitnya. Lilin itu seolah menerangi kehidupan mereka layaknya matahari,
meleleh kemudian
redup ditelan kabut senja yang terus menebal. Itulah kejujuran yang mereka
sadari tapi tidak dapat dihindari, seperti Adam memetik buah itu, tersenyum.
Dan kehidupan akan dimulai dengan warna hitam. Tidak ada yang salah tapi itulah
pilihan.
Sepanjang september ini dugaanku terjadi, ada kerinduan
penuh bara dan keheningan yang sangat senyap sekaligus. Cahaya sering
meneteskan air-mata luka, sedangkan Gelap semakin sering terjebak mimpi-mimpi
yang tidak ia fahami sebagai mimpi, membawanya terbang terlalu tinggi dan tidak
mampu kembali. Berjuta kata telah membunuh kata di ujung lidah metafora, namun
semuanya akan tetap hidup dalam hati keduanya. Pendewasaan untuk sebuah
persahabatan atas nama waktu dan keteguhan hati. Karena tidak ada yang kekal
jika kita tidak faham apa artinya semu. Sementara itu, aku hanya diam, karena
aku adalah saksi bisu.
Sampai pada bulan selanjutnya keadaan tidak jauh berubah,
ada sebuah perasaan yang membuncah teredam kesepakatan untuk saling menghargai
keputusan, bahwa mereka adalah sahabat. Bahkan lebih dari itu, tak terpisahkan.
Bukan kekasih. Aku tidak mengerti apa istilah yang paling tepat untuk kepura-puraan
itu. Karena aku yakin seberapa pun pandainya mereka menyembunyikan rasa, semua
akan sia-sia. Karena hati selalu bicara kejujuran tanpa rekayasa pikiran yang
setiap saat dapat dikondisikan untuk berubah. Pikiranlah yang berubah, perasaan
tidak. Hanya saling menumpuk terpengaruh pikiran, emosi dan situasi yang juga
selalu berubah. Di satu sisi semuanya dihadapkan pada realita, sebuah pilihan
untuk melanjutkan hidup atau saling merelakan. Rupanya aku menilai mereka
terlalu jauh tapi begitulah yang aku saksikan.
Masih terselip ketenangan dalam setiap dialog malam hari,
terkadang sore juga pagi diantara mereka. Namun semua tidak dapat bertahan
karena perasaan memaksa mereka untuk bicara dan ketika itu terjadi, selalu
diakhiri dengan perselisihan. Lagi, lagi dan selanjutnya saling menyakiti tanpa
niat, namun semua terasa sakit. Aku selalu dapat merasakan itu. Berulang kali
pula, dengan penuh kesadaran mereka saling memaafkan, saling menjaga untuk
membuat semuanya lebih ringan. Mengalir dan menghangatkan, yang pada akhirnya
bermuara pada kubangan keruh tanpa ada celah untuk mengalir lebih jauh.
Mereka tersesat dalam
endapan rasa yang menggumpal, tenggelam dalam kubang hitam tak berpangkal.
Nafas panjang tanpa hempasan yang melegakan. Aku tidak mampu berbuat, juga
tidak mengerti di mana mereka berada sekarang ini. Jika aku menjemput mereka ke
dalam kubang, maka aku turut tenggelam. Sebuah titik akhir yang tidak
seharusnya, tapi itulah kenyataan yang mereka jalani. Aku tidak lagi menemukan
Gelap dan Cahaya, mereka menghilang sebagai kenangan untukku. Teman dan kisah
yang mengagumkan untuk selalu kuingat tanpa seorang pun tahu aku pernah
bertemu, mengenal dan menyaksikan kisah mereka. Sempurna. Dan kini, aku
berjalan di antara kegelapan, tanpa cahaya menerangi jalanku. Buram.
Pandu Hidayat, September
2012