Warm..warm..warm..leatherette..warm..warm..warm..leatherette...........................................before
you die.......warm...leatherette!* berulang kali nada-dering
itu terdengar dari telepon genggam yang diacuhkan oleh pemiliknya. Bahkan
membuatnya semakin asyik membaca novel bersampul merah darah. Setelah
berjam-jam lamanya, akhirnya novel itu selesai ia baca dan dengan
bermalas-malasan tangan kirinya meraih telepon genggam yang terletak di atas
meja, di antara tumpukan buku yang tidak tertata. Kemudian ia mulai membaca
satu-persatu pesan singkat yang juga sudah menumpuk.
“Temui aku sore ini,” isi salah satu pesan.
Pesan itu terabaian hampir 3 jam. Dengan cekatan jarinya
menekan tombol-tombol dengan tergesa. Cepat seperti sudah sangat terlatih.
Tidak seperti juru ketik di kelurahan.
“Aku siap-siap dulu ya.”
Detik kemudian, telepon genggam itu bergetar lagi, “Ya,
aku tunggu!”
Kebetulan tempat biasa mereka bertemu tidak jauh dari
rumahnya. Semacam kedai dengan taman buatan yang menyatu dengan galeri seni
milik seorang perupa. Cukup dengan berjalan kaki untuk sampai ketempat itu.
Setelah menginjakkan kaki di rerumputan yang menghampar pada hampir seluruh
area taman, matanya tertuju pada sebuah meja paling pojok. Seorang lelaki sibuk
membolak-balik halaman koran terbitan lokal yang ada di meja dan baru saja
menatap kearahnya. Namanya Anda.
Saya tersenyum dan melambaikan tangan, lelaki itu
membalas senyum manis dari sosok wanita yang sore itu mengenakan kaos hitam
bergambar RA Kartini dengan tulisan provokatif di bawahnya ‘She’s Not Your Mother’ tampak dari balik
kemeja flannel merah-hitam yang tak dikancingkan. Potongan Jins super pendek
warna abu, stocking hitam dan boot kesayangannya. Tidak lupa tas kulit yang
selalu dibawanya untuk menaruh buku kosong dan barang-barang penting. Rambut
panjangnya tergelung cantik dengan satu tusukan pinsil berwarna kayu. Lebih
cantik dari cetakan gambar di kaos itu. Bahkan tanpa berdandan.
“Sori..sori,” suaranya mendekat.
Anda adalah sahabat Saya sejak sekolah dasar hingga
menyelesaikan kuliah di Universitas yang sama. Saya pernah tercatat sebagai
seorang mahasiswi sastra, sedangkan Anda menekuni bidang seni rupa. Mereka
tercatat sebagai mahasiswa berprestasi dan kreatif. Bahkan keduanya
menyelesaikan kuliah dengan uang beasiswa.
Tak lama Saya sudah duduk berhadapan dengan Anda di meja
yang sama, sekeliling hanya terlihat pepohonan dan tanaman bunga yang segar
terawat, satu sisi lainnya berhadapan dengan jalan yang sepi di jantung kota.
Hanya pejalan kaki yang sering terlihat melintasi jalanan lengang itu. Begitu
tenang dan menyegarkan suasa, karena sang pemilik cukup jeli mendesain taman
ini sedemikian rupa. “Tidak hanya demi
kenyamanan tapi lebih kepada estetika” sebut sang pemilik. “Taman ini adalah karya tiga dimensi”
dengan penekanan yang berlebihan ketika ia mengatakannya.
Saya memulai pembicaraan dengan perasaan sungkan, gestur
tubuhnya mengisyaratkan rasa bersalah karena terlambat membaca pesan Anda
sedari siang.
“Sudah lama ya? Aku sedang membaca novel tadi!”
“Ah selalu, novel apa yang kamu baca kali ini?”
“Konflik kaum kiri yang berujung pada pembunuhan massal..
Bagus, penulis novel itu cukup cerdas mempermainkan emosi pembaca masuk kedalam
detail, selain karena kisah nyata.”
Sebenarnya Anda tidak terlalu tertarik mengetahui isi
novel itu lebih-lebih politik, dan pertemuannya dengan Saya kali ini tidak
untuk membahas novel itu. Dia hanya bersikap antusias untuk memuaskan
sahabatnya.
“Boleh aku
pinjam?”
“Hmmmm sejak kapan kamu baca novel?.. Bukannya kamu lebih
senang membaca buku sejarah ya? Sejarah yang melewati berbagai revisi maksudku!
hahahaa”
“Barusan saja.. tiba-tiba.”
Anda menghisap dalam-dalam rokok kesukaannya sambil
tertawa membenarkan perkataan Saya tadi dan kembali bicara untuk membuka topik
lainnya.
“Aku sudah memesan kopi dan roti bakar.”
“Bir dingin ya. Tambah es batu,” teriak Saya pada seorang
pelayan, kemudian mengeluarkan sebungkus rokok mentol dari dalam tas dan mulai
membakarnya.
“Sibuk apa akhir-akhir ini?” tanya Anda datar.
“Seperti biasa. Menyelesaikan naskah novelku karena pihak
penerbit sudah mulai cerewet.. Oo iya akhir pekan ini aku ada jadwal pentas.”
Selain bekerja dalam dunia kepengarangan yang telah
mempublikasikan beberapa buku kumpulan puisi
dan novelnya secara nasional melalui penerbit ternama, Saya juga populer
sebagai musisi bahkan melebihi kepopulerannya sebagai penyair muda. Syair yang
dibuatnya selalu melukiskan tentang semangat hidup, ia menulisnya melalui
berbagai metafor berbau surealis. Semuanya lebur dengan musik yang dibuat dan
dimainkannya sendiri. Saya kerap menyebut musiknya dengan istilah ‘teks-berbunyi’,
istilah karangannya untuk menghindari sebutan musikalisasi-puisi yang kerap
dilabelkan banyak kritikus abal-abal padanya. Aku adalah ‘the future of female noise’** ketika media menanyakan perihal jenis
musiknya. Pernyataan tadi selalu di akhiri dengan senyuman sinis, menandakan
semua istilah itu hanya omong kosong baginya.
“Kamu ada waktu kan akhir pekan ini?” Saya berharap Anda
akan datang.
“Ya tentu, aku pasti datang.. Tapi untuk melihat
pamerannya, bukan melihat aksimu yang gila itu!”
Tawa pun pecah di antara keduanya, melupakan luka
permanen dalam jiwa mereka. Tidak ingin terlarut, Anda mengambil telepon
genggam di saku jaket dan mulai memilih koleksi lagu yang dimilikinya. Anda
memutarkan Come Away With Me dari
Norah Jones menggunakan pengeras. Lagu itu merupakan lagu favorit mereka.
Semacam anthem untuk mereka berdua.
Mengingatkan masa-masa sulit ketika mereka harus menjadi pengamen cafe dengan
bayaran yang tidak cukup untuk membiayai hidup, sehingga mereka harus mencari
tambahan dengan mengamen dari warung ke warung di pusat kuliner.
Sepanjang lagu yang cukup pendek itu Anda melamun jauh.
Membayangkan apa yang akan terjadi di akhir pekan nanti, ia teringat setiap
pertunjukan Saya selalu berakhir dengan buruk. Anda tahu betul kekurangan
sahabatnya. Saya tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup, hal ini salah satu
penyebab ketergantungannya dengan obat bius. Anda khawatir akhir pekan nanti
Saya akan mengekploitasi dirinya sendiri karena harus berdiri di hadapan banyak
orang dalam keadaan tidak sadar. Emosinya sering meledak-ledak dan dia sama
sekali tidak mampu mengendalikannya. Saya hanya pura-pura bersikap normal di
balik kepribadiannya yang sangat menderita karena menjadi fokus utama di antara
ratusan mata dan puluhan lensa yang membidiknya. Menghubung-hubungkan
kepopuleran Saya dengan ketergantungan obat bius adalah headline yang akan kita jumpai di berbagai media keesokan-harinya.
Tidak lagi berita tentang karyanya, tapi lebih pada aksi spontan Saya saat
sedang mabuk di sebuah panggung pertunjukan.
“Apa yang kamu pikirkan? apakah kamu memikirkan aku
seperti pada pentas-pentasku sebelumnya?.. hmm.. semoga saja tidak banyak
wartawan yang datang! Kamu tahu aku tidak suka itu.. Dan aku tidak akan
menyiram mereka dengan segelas wine seperti yang kamu lihat kemarin, apalagi
membakar al-kitab. Tapi entahlah apalagi yang akan kulakukan besok, mungkin aku
akan mencium semua wartawan yang datang mencuri berita!”
“Hmm, tidak.. aku tidak berpikir apapun!”
“Sejak kapan kamu tertutup seperti ini?, apa yang
sebenarnya kamu pikirkan?” Saya menangkap sesuatu yang aneh dan mendengar
kebohongan dari suara Anda yang tertahan.
Tiba-tiba Anda menjadi kaku dan sulit berkata-kata, “ah
tidak, aku hanya ingin melihatnya.. jadwalmu sepertinya semakin padat saja!”
Dia bahkan berpikir untuk membatalkan niatnya seperti semula saat mengundang
Saya datang ke kedai.
Saya berkomentar lebih serius karena dia tahu betul Anda
sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
“Kapanpun kamu membutuhkan teman, aku akan selalu ada
untuk menemani dan mendengarkan masalahmu. Ada masalah apa denganmu?”
Anda semakin tersudut menghadapi kecurigaan sahabatnya.
Beruntung pelayan datang membawa pesanan mereka, pelayan itu bernama Nina yang
sudah mereka kenal, kedatangannya sedikit mengaburkan ucapan Saya tadi.
“Nin tolong tempel pamflet ini di kedai. Kalau akhir
pekan kamu libur, datang ya!” ucap Saya sambil memberikan pamflet acara yang
sengaja dibawanya dari rumah.
“Oh ya ya, aku pasti datang Mbak.. ada tambahan lain?”
“Tidak!” jawab Anda.
“Tidak, terima kasih ya Nin.”
“Sama-sama Mbak!”
“Yakin tidak pesan makanan? Memangnya sudah makan di
rumah?” Anda menegaskan tawarannya.
Saya bersikap acuh dan hanya menggelengkan kepalanya lalu
membakar rokok mentolnya untuk kedua kali.
+++
Matahari terbenam di balik belukar hampir pukul enam.
Anda belum juga bicara yang sebenarnya, mengapa ia mengundang Saya sore ini.
Saya kemudian pergi ke arah belakang kedai, di sebuah toilet ia mulai
mengkonsumsi obat bius, dan dalam hitungan menit kondisinya berubah drastis.
Anda tahu betul apa yang Saya lakukan, karena ia pernah mengalami penderitaan
yang sama. Beruntung Anda berhasil sembuh setahun yang lalu karena tekadnya,
dengan mengikuti berbagai terapi. Tapi tidak untuk sahabatnya, Saya harus tetap
menjadi pemakai bahkan ketergantungannya semakin parah.
Selang beberapa saat Saya kembali duduk di hadapan Anda
dengan tatapan mata sayu dan berulang kali menyentuh hidungnya yang sedikit
memerah, kadang menggaruknya pelan. Anda memandang dengan kesedihan. Berpikir
keras bagaimana ia bisa menyembuhkan sahabatnya itu. Berbagai cara telah
dilakukan tapi belum menghasilkan perubahan.
Anda kembali bertanya kepada Saya yang sedari tadi hanya
terdiam dan menikmati perubahan dalam dirinya.
“Apakah kamu tidak berniat untuk mengakhiri penderitaanmu
ini?”
Saya memandang lebih dalam dan menghela napas yang
teramat berat. Seberat suara dan hidupnya.
“Tentu aku ingin! Tapi kamu tahu betul bagaimana
kondisiku.”
Kepalanya tertunduk pasrah. Tapi tiba-tiba ia kembali
bersikap normal seolah menyatakan dirinya baik-baik saja, mencoba menahan airmata
dengan menghisap rokok yang tidak pernah lepas dari tangannya yang gemetar.
Wajahnya pucat pasi dan bibirnya mengering. Garis-garis
wajahnya dapat kita pahami sebagai penderitaan yang cukup panjang. Saya
melakukan ini bukan tanpa alasan. Sejak usianya belum genap limabelas tahun
Ayahnya yang berdarah Jepang sudah meninggal, ia hidup bersama ibunya yang
sering pulang terlampau larut dengan alasan bekerja. Saya harus hidup lebih
keras dibandingkan teman seusianya, ia mendapatkan uang dengan berbagai cara
karena ibunya tidak mencukupi kebutuhannya. Saat itulah ia mulai mengenal Anda
lebih dekat karena mereka memiliki kegemaran serupa dalam bidang seni dan obat
bius.
Hari semakin gelap, hanya lampu taman yang menjadi
penerang di beberapa sudut kedai yang terhalang batang-ranting pohon. Sementara
makanan dan minuman pun sudah tak tersisa.
“Kamu mau pesan lagi?”
Saya hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian Anda kembali
bicara, kali ini dengan sikap lebih
serius dan mencoba meyakinkan.
“Sebenarnya ada sesuatu untuk kamu, jika tidak keberatan
aku akan menunjukannya padamu di rumah.”
Saya memandang curiga sekaligus bahagia, karena tidak
biasanya Anda seperti ini.
“Wah.. aku mau, sekarang juga kita kerumahmu! Sepertinya
sebentar lagi hujan.”
Mereka pergi dengan motor tua milik Anda. Untuk sampai ke
rumah Anda membutuhkan waktu sekitar 30 menit melalui jalan alternatif melewati
gang-gang sempit di antara rumah penduduk. Dalam setengah perjalanan tiba-tiba
hujan turun lebih cepat dari yang mereka kira, seketika pula pakaian mereka
menjadi basah.
“Tidak ada mantel ya?”
“Tidak,” terang Anda sambil mencari tempat berteduh.
Akhirnya mereka melihat sebuah teras rumah tanpa penghuni
di tepi jalan, mereka sepakat untuk berteduh di rumah itu, dalam keadaan basah
kuyup Saya mulai menggigil dan mengorek-ngorek isi tasnya yang juga basah.
“Tubuhmu gemetar, apakah obatmu sudah habis?”
“Ya, uangku sudah habis.. obat dari dokter juga habis,”
Saya terdengar putus asa.
Anda kembali menyalakan motornya dan memerintahkan Saya untuk
segera naik. Kali ini Anda memacu motor tuanya dengan kecepatan penuh menembus
deras hujan. Tujuannya adalah rumah, dia tidak sanggup melihat Saya menderita
dengan ketergantungannya di pinggir jalan. 10 menit kemudian mereka sampai di
sebuah rumah tua yang masih gelap. Di
rumah yang sederhana itu Anda tinggal seorang diri karena keluarganya memilih
tinggal di luar negeri, di mana Ayah dan Ibunya menjalankan bisnisnya, sedangkan Anda memilih hidup mandiri.
Saya sudah tidak merasa asing seperti seorang tamu karena ia sudah menganggap
rumah ini sebagai rumah kedua untuknya. Sebagian puisinya pun ditulis di rumah
ini.
Anda segera mengambilkan handuk untuk Saya. “Keringkan
tubuhmu, ganti pakaianmu. Pilih saja di almari!” kemudian dia pergi dengan
sepeda motornya. Anda pergi menemui seorang bandar obat bius di mana Saya
sering mendapatkannya. Beruntung bandar itu juga mengenal Anda, dan dengan
mudah ia pun mendapatkan satu paket obat bius yang dibutuhkan sahabatnya.
Setelah barang itu di tangan, dia bergegas pulang di bawah deras hujan yang
belum juga reda.
+++
Anda mendapati Saya sudah tersungkur di antara almari
kayu dan kasur yang membentang di sudut kamar. Saya sudah kehilangan
keseimbangan karena harus menunggu hampir limapuluh menit demi mendapatkan obat
bius itu karena lokasinya cukup jauh dari rumah Anda.
Saya terjatuh saat sedang berusaha mengenakan pakaian
ganti dan hanya berhasil mengenakan kaos berukuran besar berwarna putih milik
Anda. Badannya menggigil lebih kencang dari sebelumnya, ucapannya pun sudah
tidak dapat dimengerti ketika Anda mengangkatnya ke atas kasur, tapi Anda tahu
apa yang harus ia lakukan hanyalah memberikan obat bius itu secepatnya. Dia
sadar betul yang dilakukannya adalah suatu kesalahan, tapi lagi-lagi dia tidak
memiliki pilihan selain melakukannya. Sangat tidak mungkin untuknya membiarkan
Saya sekarat kesakitan atau membawanya ke rumah sakit tanpa penanganan lebih
lanjut. Karena dokter hanya akan memberikan obat bius dengan jenisnya yang
lain. Banyak pertimbangan ketika menghadapi situasi seperti ini, pertanyaan
demi pertanyaan menumpuk sampai Saya berangsur pulih.
“Apakah kamu semakin membaik?”
“Lumayan, makasih ya.” Saya mulai bicara dengan lebih
baik.
“Pakailah baju yang lebih tebal.. udaranya dingin!”
“Ah, ini sudah cukup nyaman”
“Kamu terlihat lebih seksi seperti itu”
Anda menggoda sahabat yang baru saja diselamatkannya.
Saya hanya tersenyum mendengarnya, lalu mulai menyentuh rambut panjangnya yang
jatuh terurai, sedikit kusut.
“Tolong ambilkan rokok mentolku?”
“Rokok mentolmu basah di dalam tas, barang-barangmu yang
lain juga. Sedang kukeringkan!.. Aku beli di warung depan kalau kamu mau?”
“Tidak perlu.” Wanita itu menjawab cepat.
“Hisaplah untuk sementara waktu,” Anda menyodorkan rokok
yang tersisa.
Saya terlihat tidak tertarik, lantas merebahkan tubuhnya
lagi di atas kasur, tidak risih dengan yang dikenakannnya walaupun dia tahu
bahwa kaos itu cukup transparan. Bahkan Anda untuk pertama kali dapat melihat
tato jantung dengan sayap berwarna biru yang memenuhi sebagian dada gadis
oriental itu. Indah. Saya menatap langit-langit kamar, menerawang menembus
gelap di baliknya. Nafasnya terengah, lelah.
“Mana? Aku ingin melihatnya!”
Sementara itu Anda sudah berada dalam ruang kerjanya.
Kemudian meminta Saya untuk masuk ke dalam ruangan itu. Piano tua peninggalan
kakeknya yang seorang pianis berada di tengah ruangan, 3 buah mikrophone
menggantung dari langit-langit, sebuah komputer terlihat menyala di belakang
piano dan 4 buah speaker berukuran sedang di setiap sudut ruangan dan tumpukkan
kertas di atas kursi. Ruangan ini terlihat telah di tata-ulang. Cahaya di
ruangan itu cukup gelap karena hanya ada sebuah lampu sorot berwarna biru tepat
di atas piano, cahayanya memantul redup dari badan piano yang terkena cahaya.
Saya semakin diselimuti kebingunan, apa sebenarnya yang
akan Anda lakukan, namun ia tidak lagi bertanya dan hanya duduk terdiam di
sudut lain ruangan itu sambil terus menatap ke arah Anda dan sesekali ke arah
lainnya. Anda memberikan selembar kertas dan meminta Saya untuk membacanya
sekehendak.
Tanpa aba-aba, tangan Anda mengambil selembar kertas yang
terlihat berupa partitur karya-karya musik dari atas kursi menghadap piano.
Anda meremasnya dan melemparkannya ke dalam piano yang terbuka tepat mengenai
senar-senar piano yang semula tenang pada ketegangannya masing-masing.
Keheningan pecah seketika, berganti suara-suara aneh yang terdengar dari
tindakan tersebut. Suaranya lirih, kadang sedikit keras, bahkan suara-suara itu
terjadi secara kebetulan akibat benturan-benturan kertas di antara bentangan
senar. Sementara Saya membaca baris demi baris tulisan tangan tanpa judul di
antara gelap:
“memompa
kesadaran dengan luka di lenganku
menyadari
bahwa semua telah menjadi gila
apa
yang dilakukan olehnya, juga olehku
dan
kalian tentu saja,
mungkin.
pelan
dalam kecepatannya. cepat melambat.
kecepatan
sering terlambat. Kadang.
nada
pertama melantun bijak,
nada
selanjutnya butuh kejelian.
nada
pertama melantun bijak,
nada
terakhir jatuh terlambat.
pengulangan
adalah kebosanan sejuta makna
berputar-putar
mengeliling - berkeliling pada putaran.
darah
mengering hitam. suram melebam.
roti tawar; lagi.
memompa kesadaran menjadi gila.”***
Satu-persatu bahkan beberapa lembar sekaligus, kertas itu
dilemparkan ke dalam piano dengan sangat yakin. Jumlahnya puluhan. Anda
melemparkannya dengan tempo acak, kadang konstan kadang dengan jeda yang cukup
panjang untuk memberi kesempatan bunyi hujan terdengar riuh berhimpitan dengan
emosi Saya saat membacakan tulisannya. Suasana di ruangan itu hampir tidak
dapat terlukiskan terlebih menuliskannya secara lisan. Menterjemahkannya adalah
sia-sia, cukup mendengarkannya sebagai pengalaman. Pantulan-pantulan samar
datang silih berganti, mengepung dari setiap sudut. Seolah dinding-dinding
saling beradu bicara. Ini bukan halusinasi karena Saya menggunakan obat bius,
tapi karena Anda telah mengkondisikan komposisinya sedemikian rupa sehingga
membawa siapa saja yang berada dalam ruangan itu akan mengalami situasi yang
benar-benar absurd. Sampai tumpukan kertas itu tak tersisa maka selesailah
sudah. Kesunyian bersambung hela napas kepuasan. Hening.
Anda memandang Saya yang terlihat masih terbawa suasana,
bertanya-tanya dalam hati apa maksud semua ini.
“Karya ini untuk kamu!”
Saya semakin tidak mengerti dan tetap diam terkesima
menatap lurus ke arah piano mencerna kata-kata.
“Sudah, tidak perlu dipikirkan.. pertunjukan sudah
selesai!” Anda bicara lebih ringan.
Saya masih dalam kebingungannya, tidak dengan karya
sahabatnya. Tapi dengan maksud
perkataannya dan mencoba menyimpulkan kejadian malam ini.
Anda menggiring suasana lebih cair, “mau minum apa? akan
kubuatkan teh hangat jika kamu mau dan kita bisa mendiskusikan karyaku tadi.”
Saya hanya mengangguk setuju.
Anda pergi untuk membuatkan minuman, seketika pula rasa
penasaran Saya menuntunnya kearah piano dan mulai mengambil kertas-kertas di
dalamnya. Saya membuka dan meluruskan kembali kertas-kertas itu, ia sangat
tidak percaya bahwa dalam kertas partitur itu tertera judul karya yang sama
sekali tidak dibayangkannya. Karya itu berjudul Piano Piece For Saya #11, Saya membuka kertas lain dan membacanya.
Kali ini berjudul Piano Piece For Saya #4,
kertas ketiga berjudul Piano Piece For
Saya #7 dan medapatkan nomor berbeda pada lembar lainnya, semuanya tertulis
lengkap dengan keterangan-keterangan. Puluhan kertas masih berserakan dan belum
ia sentuh ketika langkah kaki Anda mendekat.
Entah perasaan seperti apa yang dirasakan oleh Saya,
hatinya luruh dan matanya yang agak sipit tidak tahan lagi membendung airmata.
Ketika Anda meletakkan minuman dan baru saja ingin mengatakan sesuatu, Saya
memeluk Anda dengan perasaan ganjil. Anda hanya diam dan merasakan keganjilan
yang sama.
Tubuh Saya lebih dingin dari biasa, mungkin dia demam
akibat guyuran hujan atau karena pengaruh obat bius.
“Minumlah tehnya selagi hangat dan makan roti itu, lalu
istirahatlah.”
Saya menurutinya karena dia merasakan tubuhnya tidak
dalam kondisi baik untuk pulang dan hujan semakin lebat di luar. Menit kemudian
Saya sudah terbaring lagi di kasur, Anda menyelimuti tubuhnya yang rapuh. Wajah
cantiknya menderita. Pucat. Seperti tidak ada darah yang mengalir.
“Tidurlah di sampingku, dingin sekali rasanya.”
“Ya,.. tapi aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih
dulu.” Anda pergi meninggalkan kamar dan mematikan lampu.
Saya selalu bangun lebih awal dari ayam jantan, Anda
tidur di ruang tamu dengan televisi yang masih menyala. Sepertinya dia
kelelahan dan memiliki pikiran yang cukup berat sampai sesekali Saya
mendengarnya mengigau samar.
Seperti biasa Saya mengawali hari-harinya dengan segelas
air putih dan obat bius. Dan semuanya sudah disediakan oleh Anda di sebuah meja
dekat dapur. Tanpa berpikir panjang Saya memenuhi kebutuhan biologisnya. Dalam
satu hari Saya harus mengkonsumsi sebanyak tiga kali bahkan sampai empat. Obat
bius itu telah menggerogoti tubuhnya dan dia merasa normal hanya ketika di
bawah pengaruh obat itu, selebihnya adalah kesakitan.
Matahari menunjukkan sinarnya yang pertama di halaman
depan, Saya bergegas pulang untuk kemudian mencari obat lainnya, sementara itu
Anda masih terlihat nyenyak.
Satu jam berselang keramaian sudah dimulai, derap langkah
pejalan kaki dan kendaraan bermotor silih berganti membuat kebisingan di depan
rumah membangunkan Anda. Saya meninggalkan pesan di atas televisi:
“Temui aku sore ini.”
+++
Sore hari di tempat yang sama dengan situasi yang berbeda
mereka berhadapan tanpa suara. Saya terlihat lebih segar ketimbang semalam.
Asyik menenggak Bir dingin dan menikmati rokok mentolnya. Anda hanya
memutar-mutarkan cangkir kopinya berderit. Mengganggu.
“Apakah kamu pernah berpikir untuk mementaskan karyamu
itu?” Saya membatalkan kebisuan.
“Tidak!”
“Kenapa tidak?.. Kita bisa memainkannya di pentasku
besok, di galeri itu ada sebuah piano yang tidak pernah di mainkan. Aku bisa
minta panitia untuk menyediakan yang kamu butuhkan. Bagaimana?”
“Aku sudah membakar kertas-kertas itu. Dan setelah tadi
malam, karyaku sudah selesai!”
Sekali lagi Anda membuat Saya mengalami kekacauan. Kehampaan
menyerang seketika bersama harapannya yang pudar, tapi dia masih menyisakannya.
Sedikit keyakinan, ada alasan.
“Jadi kamu sudah tidak mencintaiku lagi setelah tadi
malam?!”
“Apa maksudmu? kamu baik-baik saja kan?”
“Tentu aku baik-baik saja!, aku sudah memiliki obat untuk
beberapa hari kedepan dari honor tulisanku.. jawab pertanyaanku?!”
“..Mbak!”, tiba-tiba saja suara wanita pejalan kaki
menyela pembicaraan sambil melambaikan tangan kearah Saya juga Anda ketika
mereka menoleh.
“Hei, mau kemana?” Saya tampak tetap ramah menjawab,
sedangkan pikiran hatinya sedang sangat kacau.
“Ke toko buku Mbak. Mau tukar nih ada halaman yang
hilang!.. Besok lusa manggung ya Mbak? Main jam berapa?”
“Yah, lain kali di cek dulu kalau beli.. Jam delapan, datang ya!”
“Siap Mbak, aku duluan ya.. keburu tutup.”
Wanita itu melanjutkan tujuannya. Berjalan lebih cepat
sambil menggerutu kearah toko buku yang tidak jauh dari kedai. Sementara Anda
menahan kata dalam jeda.
“Aku mengenalmu seperti aku mengenal diriku sendiri, kamu
pasti sembuh.. kita akan melewatinya bersama”
Saya salah mengartikan maksud ucapan Anda. Perasaan yang
selama ini terpendam seperti menemukan harapan lebih. Ia memberanikan diri
untuk kembali bertanya dengan suara yang parau: “apakah kamu akan tetap menuliskan
komposisi untukku ketika aku menjadi kekasihmu?”
“Berapa banyak obat yang kamu konsumsi hari ini?..
Bicaramu melantur!”
Long-dress berwarna cerah bercorak bunga-bunga yang
dikenakan Saya tampak semakin kontras dengan warna kulit wajahnya yang putih pucat.
Kekacauan kembali menjalar cepat. Tatapnya hampa, matanya berkaca-kaca. kali
ini Saya benar-benar tidak mengenali Anda, sahabatnya sejak kecil.
Kecantikan, kecerdasan dan kepopuleran Saya membuat semua
lelaki ingin menjadi kekasihnya. Mungkin lebih. Walau pun beberapa pria yang
pernah menjadi pacarnnya selalu meninggalkannya begitu saja setelah mengetahui
latar belakangnya yang gelap. Saya lebih mencintai dirinya sendiri ketimbang
siapapun. Perasaannya berbeda untuk Anda, Saya betul-betul mencintainya sebanding
dengan kecintaannya pada diri sendiri.
“Maafkan aku.”
“Untuk apa?, kamu sama sekali tidak salah.. lupakan
perkataanku tadi.”
“Hanya saja aku tidak bisa.. tidak mungkin untukku!”
“Sudah, lupakan aku bilang!” Saya sangat kecewa. Airmata
menggaris di pipinya.
Warm..warm..warm..leatherette..warm..warm..warm..leatherette...........................................before
you die.......warm...leatherette! nada-dering itu terdengar
aneh dari dalam tas kulit di atas meja kedai. Kali ini pemiliknya mengacuhkannya
karena merasa tidak ada kepentingan untuk mengangkatnya. Saya tidak pernah
peduli dengan siapa pun yang menghubunginya melalui telepon genggam itu.
Kecuali Anda. Tapi tidak seorang pun setelah sore ini. Bahkan ia akan
merubahnya menjadi nada-sunyi sebelum lagu itu kembali menusuk-nusuk tajam di
telinga.
Betapapun Anda mencintai Saya, dia tidak berniat menjadi
kekasihnya. Penderitaannya lebih berat dari sahabatnya, tapi sampai sore itu
Saya tidak mengetahuinya. Anda teridentifikasi mengidap HIV-AIDS akibat sering
berbagi jarum suntik dengan banyak orang. Hal ini yang mendorong Anda untuk
berhenti mengkonsumsi obat bius agar tampak terlihat sehat di mata sahabatnya.
Berharap hidup lebih panjang bersama Saya.
Catatan:
*1) Penggalan lirik:
Chicks On Speed, Warm Leatherette.
*2) Penggalan judul:
Nina Power, Women Machines: the Future of
Female Noise. Noise & Capitalism. Arteleku, 2009.