Tuesday, December 16, 2014

Komposisi Untuk Saya

Warm..warm..warm..leatherette..warm..warm..warm..leatherette...........................................before you die.......warm...leatherette!* berulang kali nada-dering itu terdengar dari telepon genggam yang diacuhkan oleh pemiliknya. Bahkan membuatnya semakin asyik membaca novel bersampul merah darah. Setelah berjam-jam lamanya, akhirnya novel itu selesai ia baca dan dengan bermalas-malasan tangan kirinya meraih telepon genggam yang terletak di atas meja, di antara tumpukan buku yang tidak tertata. Kemudian ia mulai membaca satu-persatu pesan singkat yang juga sudah menumpuk.

“Temui aku sore ini,” isi salah satu pesan.

Pesan itu terabaian hampir 3 jam. Dengan cekatan jarinya menekan tombol-tombol dengan tergesa. Cepat seperti sudah sangat terlatih. Tidak seperti juru ketik di kelurahan.

“Aku siap-siap dulu ya.”

Detik kemudian, telepon genggam itu bergetar lagi, “Ya, aku tunggu!”

Kebetulan tempat biasa mereka bertemu tidak jauh dari rumahnya. Semacam kedai dengan taman buatan yang menyatu dengan galeri seni milik seorang perupa. Cukup dengan berjalan kaki untuk sampai ketempat itu. Setelah menginjakkan kaki di rerumputan yang menghampar pada hampir seluruh area taman, matanya tertuju pada sebuah meja paling pojok. Seorang lelaki sibuk membolak-balik halaman koran terbitan lokal yang ada di meja dan baru saja menatap kearahnya. Namanya Anda.

Saya tersenyum dan melambaikan tangan, lelaki itu membalas senyum manis dari sosok wanita yang sore itu mengenakan kaos hitam bergambar RA Kartini dengan tulisan provokatif di bawahnya ‘She’s Not Your Mother’ tampak dari balik kemeja flannel merah-hitam yang tak dikancingkan. Potongan Jins super pendek warna abu, stocking hitam dan boot kesayangannya. Tidak lupa tas kulit yang selalu dibawanya untuk menaruh buku kosong dan barang-barang penting. Rambut panjangnya tergelung cantik dengan satu tusukan pinsil berwarna kayu. Lebih cantik dari cetakan gambar di kaos itu. Bahkan tanpa berdandan.

“Sori..sori,” suaranya mendekat.

Anda adalah sahabat Saya sejak sekolah dasar hingga menyelesaikan kuliah di Universitas yang sama. Saya pernah tercatat sebagai seorang mahasiswi sastra, sedangkan Anda menekuni bidang seni rupa. Mereka tercatat sebagai mahasiswa berprestasi dan kreatif. Bahkan keduanya menyelesaikan kuliah dengan uang beasiswa.

Tak lama Saya sudah duduk berhadapan dengan Anda di meja yang sama, sekeliling hanya terlihat pepohonan dan tanaman bunga yang segar terawat, satu sisi lainnya berhadapan dengan jalan yang sepi di jantung kota. Hanya pejalan kaki yang sering terlihat melintasi jalanan lengang itu. Begitu tenang dan menyegarkan suasa, karena sang pemilik cukup jeli mendesain taman ini sedemikian rupa. “Tidak hanya demi kenyamanan tapi lebih kepada estetika” sebut sang pemilik. “Taman ini adalah karya tiga dimensi” dengan penekanan yang berlebihan ketika ia mengatakannya.

Saya memulai pembicaraan dengan perasaan sungkan, gestur tubuhnya mengisyaratkan rasa bersalah karena terlambat membaca pesan Anda sedari siang. 

“Sudah lama ya? Aku sedang membaca novel tadi!”

“Ah selalu, novel apa yang kamu baca kali ini?”

“Konflik kaum kiri yang berujung pada pembunuhan massal.. Bagus, penulis novel itu cukup cerdas mempermainkan emosi pembaca masuk kedalam detail, selain karena kisah nyata.”

Sebenarnya Anda tidak terlalu tertarik mengetahui isi novel itu lebih-lebih politik, dan pertemuannya dengan Saya kali ini tidak untuk membahas novel itu. Dia hanya bersikap antusias untuk memuaskan sahabatnya.

 “Boleh aku pinjam?”

“Hmmmm sejak kapan kamu baca novel?.. Bukannya kamu lebih senang membaca buku sejarah ya? Sejarah yang melewati berbagai revisi maksudku! hahahaa”

“Barusan saja.. tiba-tiba.”

Anda menghisap dalam-dalam rokok kesukaannya sambil tertawa membenarkan perkataan Saya tadi dan kembali bicara untuk membuka topik lainnya.

“Aku sudah memesan kopi dan roti bakar.”

“Bir dingin ya. Tambah es batu,” teriak Saya pada seorang pelayan, kemudian mengeluarkan sebungkus rokok mentol dari dalam tas dan mulai membakarnya.

“Sibuk apa akhir-akhir ini?” tanya Anda datar.

“Seperti biasa. Menyelesaikan naskah novelku karena pihak penerbit sudah mulai cerewet.. Oo iya akhir pekan ini aku ada jadwal pentas.”

Selain bekerja dalam dunia kepengarangan yang telah mempublikasikan beberapa buku kumpulan puisi  dan novelnya secara nasional melalui penerbit ternama, Saya juga populer sebagai musisi bahkan melebihi kepopulerannya sebagai penyair muda. Syair yang dibuatnya selalu melukiskan tentang semangat hidup, ia menulisnya melalui berbagai metafor berbau surealis. Semuanya lebur dengan musik yang dibuat dan dimainkannya sendiri. Saya kerap menyebut musiknya dengan istilah  teks-berbunyi’, istilah karangannya untuk menghindari sebutan musikalisasi-puisi yang kerap dilabelkan banyak kritikus abal-abal padanya. Aku adalah ‘the future of female noise’** ketika media menanyakan perihal jenis musiknya. Pernyataan tadi selalu di akhiri dengan senyuman sinis, menandakan semua istilah itu hanya omong kosong baginya. 

“Kamu ada waktu kan akhir pekan ini?” Saya berharap Anda akan datang.

“Ya tentu, aku pasti datang.. Tapi untuk melihat pamerannya, bukan melihat aksimu yang gila itu!”

Tawa pun pecah di antara keduanya, melupakan luka permanen dalam jiwa mereka. Tidak ingin terlarut, Anda mengambil telepon genggam di saku jaket dan mulai memilih koleksi lagu yang dimilikinya. Anda memutarkan Come Away With Me dari Norah Jones menggunakan pengeras. Lagu itu merupakan lagu favorit mereka. Semacam anthem untuk mereka berdua. Mengingatkan masa-masa sulit ketika mereka harus menjadi pengamen cafe dengan bayaran yang tidak cukup untuk membiayai hidup, sehingga mereka harus mencari tambahan dengan mengamen dari warung ke warung di pusat kuliner.

Sepanjang lagu yang cukup pendek itu Anda melamun jauh. Membayangkan apa yang akan terjadi di akhir pekan nanti, ia teringat setiap pertunjukan Saya selalu berakhir dengan buruk. Anda tahu betul kekurangan sahabatnya. Saya tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup, hal ini salah satu penyebab ketergantungannya dengan obat bius. Anda khawatir akhir pekan nanti Saya akan mengekploitasi dirinya sendiri karena harus berdiri di hadapan banyak orang dalam keadaan tidak sadar. Emosinya sering meledak-ledak dan dia sama sekali tidak mampu mengendalikannya. Saya hanya pura-pura bersikap normal di balik kepribadiannya yang sangat menderita karena menjadi fokus utama di antara ratusan mata dan puluhan lensa yang membidiknya. Menghubung-hubungkan kepopuleran Saya dengan ketergantungan obat bius adalah headline yang akan kita jumpai di berbagai media keesokan-harinya. Tidak lagi berita tentang karyanya, tapi lebih pada aksi spontan Saya saat sedang mabuk di sebuah panggung pertunjukan.

“Apa yang kamu pikirkan? apakah kamu memikirkan aku seperti pada pentas-pentasku sebelumnya?.. hmm.. semoga saja tidak banyak wartawan yang datang! Kamu tahu aku tidak suka itu.. Dan aku tidak akan menyiram mereka dengan segelas wine seperti yang kamu lihat kemarin, apalagi membakar al-kitab. Tapi entahlah apalagi yang akan kulakukan besok, mungkin aku akan mencium semua wartawan yang datang mencuri berita!”

“Hmm, tidak.. aku tidak berpikir apapun!”

“Sejak kapan kamu tertutup seperti ini?, apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Saya menangkap sesuatu yang aneh dan mendengar kebohongan dari suara Anda yang tertahan.

Tiba-tiba Anda menjadi kaku dan sulit berkata-kata, “ah tidak, aku hanya ingin melihatnya.. jadwalmu sepertinya semakin padat saja!” Dia bahkan berpikir untuk membatalkan niatnya seperti semula saat mengundang Saya datang ke kedai.

Saya berkomentar lebih serius karena dia tahu betul Anda sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

“Kapanpun kamu membutuhkan teman, aku akan selalu ada untuk menemani dan mendengarkan masalahmu. Ada masalah apa denganmu?”

Anda semakin tersudut menghadapi kecurigaan sahabatnya. Beruntung pelayan datang membawa pesanan mereka, pelayan itu bernama Nina yang sudah mereka kenal, kedatangannya sedikit mengaburkan ucapan Saya tadi.

“Nin tolong tempel pamflet ini di kedai. Kalau akhir pekan kamu libur, datang ya!” ucap Saya sambil memberikan pamflet acara yang sengaja dibawanya dari rumah.

“Oh ya ya, aku pasti datang Mbak.. ada tambahan lain?”

“Tidak!” jawab Anda. 

“Tidak, terima kasih ya Nin.”

“Sama-sama Mbak!”

“Yakin tidak pesan makanan? Memangnya sudah makan di rumah?” Anda menegaskan tawarannya.

Saya bersikap acuh dan hanya menggelengkan kepalanya lalu membakar rokok mentolnya untuk kedua kali.

+++
Matahari terbenam di balik belukar hampir pukul enam. Anda belum juga bicara yang sebenarnya, mengapa ia mengundang Saya sore ini. Saya kemudian pergi ke arah belakang kedai, di sebuah toilet ia mulai mengkonsumsi obat bius, dan dalam hitungan menit kondisinya berubah drastis. Anda tahu betul apa yang Saya lakukan, karena ia pernah mengalami penderitaan yang sama. Beruntung Anda berhasil sembuh setahun yang lalu karena tekadnya, dengan mengikuti berbagai terapi. Tapi tidak untuk sahabatnya, Saya harus tetap menjadi pemakai bahkan ketergantungannya semakin parah.

Selang beberapa saat Saya kembali duduk di hadapan Anda dengan tatapan mata sayu dan berulang kali menyentuh hidungnya yang sedikit memerah, kadang menggaruknya pelan. Anda memandang dengan kesedihan. Berpikir keras bagaimana ia bisa menyembuhkan sahabatnya itu. Berbagai cara telah dilakukan tapi belum menghasilkan perubahan.

Anda kembali bertanya kepada Saya yang sedari tadi hanya terdiam dan menikmati perubahan dalam dirinya.

“Apakah kamu tidak berniat untuk mengakhiri penderitaanmu ini?”

Saya memandang lebih dalam dan menghela napas yang teramat berat. Seberat suara dan hidupnya.

“Tentu aku ingin! Tapi kamu tahu betul bagaimana kondisiku.”

Kepalanya tertunduk pasrah. Tapi tiba-tiba ia kembali bersikap normal seolah menyatakan dirinya baik-baik saja, mencoba menahan airmata dengan menghisap rokok yang tidak pernah lepas dari tangannya yang gemetar. 

Wajahnya pucat pasi dan bibirnya mengering. Garis-garis wajahnya dapat kita pahami sebagai penderitaan yang cukup panjang. Saya melakukan ini bukan tanpa alasan. Sejak usianya belum genap limabelas tahun Ayahnya yang berdarah Jepang sudah meninggal, ia hidup bersama ibunya yang sering pulang terlampau larut dengan alasan bekerja. Saya harus hidup lebih keras dibandingkan teman seusianya, ia mendapatkan uang dengan berbagai cara karena ibunya tidak mencukupi kebutuhannya. Saat itulah ia mulai mengenal Anda lebih dekat karena mereka memiliki kegemaran serupa dalam bidang seni dan obat bius.

Hari semakin gelap, hanya lampu taman yang menjadi penerang di beberapa sudut kedai yang terhalang batang-ranting pohon. Sementara makanan dan minuman pun sudah tak tersisa.

“Kamu mau pesan lagi?”

Saya hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian Anda kembali bicara, kali ini dengan sikap lebih  serius dan mencoba meyakinkan.

“Sebenarnya ada sesuatu untuk kamu, jika tidak keberatan aku akan menunjukannya padamu di rumah.”

Saya memandang curiga sekaligus bahagia, karena tidak biasanya Anda seperti ini.

“Wah.. aku mau, sekarang juga kita kerumahmu! Sepertinya sebentar lagi hujan.”

Mereka pergi dengan motor tua milik Anda. Untuk sampai ke rumah Anda membutuhkan waktu sekitar 30 menit melalui jalan alternatif melewati gang-gang sempit di antara rumah penduduk. Dalam setengah perjalanan tiba-tiba hujan turun lebih cepat dari yang mereka kira, seketika pula pakaian mereka menjadi basah.

“Tidak ada mantel ya?”

“Tidak,” terang Anda sambil mencari tempat berteduh.

Akhirnya mereka melihat sebuah teras rumah tanpa penghuni di tepi jalan, mereka sepakat untuk berteduh di rumah itu, dalam keadaan basah kuyup Saya mulai menggigil dan mengorek-ngorek isi tasnya yang juga basah.

“Tubuhmu gemetar, apakah obatmu sudah habis?”

“Ya, uangku sudah habis.. obat dari dokter juga habis,” Saya terdengar  putus asa.

Anda kembali menyalakan motornya dan memerintahkan Saya untuk segera naik. Kali ini Anda memacu motor tuanya dengan kecepatan penuh menembus deras hujan. Tujuannya adalah rumah, dia tidak sanggup melihat Saya menderita dengan ketergantungannya di pinggir jalan. 10 menit kemudian mereka sampai di sebuah rumah  tua yang masih gelap. Di rumah yang sederhana itu Anda tinggal seorang diri karena keluarganya memilih tinggal di luar negeri, di mana Ayah dan Ibunya menjalankan bisnisnya, sedangkan Anda memilih hidup mandiri. Saya sudah tidak merasa asing seperti seorang tamu karena ia sudah menganggap rumah ini sebagai rumah kedua untuknya. Sebagian puisinya pun ditulis di rumah ini.

Anda segera mengambilkan handuk untuk Saya. “Keringkan tubuhmu, ganti pakaianmu. Pilih saja di almari!” kemudian dia pergi dengan sepeda motornya. Anda pergi menemui seorang bandar obat bius di mana Saya sering mendapatkannya. Beruntung bandar itu juga mengenal Anda, dan dengan mudah ia pun mendapatkan satu paket obat bius yang dibutuhkan sahabatnya. Setelah barang itu di tangan, dia bergegas pulang di bawah deras hujan yang belum juga reda.

+++
Anda mendapati Saya sudah tersungkur di antara almari kayu dan kasur yang membentang di sudut kamar. Saya sudah kehilangan keseimbangan karena harus menunggu hampir limapuluh menit demi mendapatkan obat bius itu karena lokasinya cukup jauh dari rumah Anda.

Saya terjatuh saat sedang berusaha mengenakan pakaian ganti dan hanya berhasil mengenakan kaos berukuran besar berwarna putih milik Anda. Badannya menggigil lebih kencang dari sebelumnya, ucapannya pun sudah tidak dapat dimengerti ketika Anda mengangkatnya ke atas kasur, tapi Anda tahu apa yang harus ia lakukan hanyalah memberikan obat bius itu secepatnya. Dia sadar betul yang dilakukannya adalah suatu kesalahan, tapi lagi-lagi dia tidak memiliki pilihan selain melakukannya. Sangat tidak mungkin untuknya membiarkan Saya sekarat kesakitan atau membawanya ke rumah sakit tanpa penanganan lebih lanjut. Karena dokter hanya akan memberikan obat bius dengan jenisnya yang lain. Banyak pertimbangan ketika menghadapi situasi seperti ini, pertanyaan demi pertanyaan menumpuk sampai Saya berangsur pulih.

“Apakah kamu semakin membaik?”

“Lumayan, makasih ya.” Saya mulai bicara dengan lebih baik.

“Pakailah baju yang lebih tebal.. udaranya dingin!”

“Ah, ini sudah cukup nyaman”

“Kamu terlihat lebih seksi seperti itu”

Anda menggoda sahabat yang baru saja diselamatkannya. Saya hanya tersenyum mendengarnya, lalu mulai menyentuh rambut panjangnya yang jatuh terurai, sedikit kusut.

“Tolong ambilkan rokok mentolku?”

“Rokok mentolmu basah di dalam tas, barang-barangmu yang lain juga. Sedang kukeringkan!.. Aku beli di warung depan kalau kamu mau?”

“Tidak perlu.” Wanita itu menjawab cepat.

“Hisaplah untuk sementara waktu,” Anda menyodorkan rokok yang tersisa.

Saya terlihat tidak tertarik, lantas merebahkan tubuhnya lagi di atas kasur, tidak risih dengan yang dikenakannnya walaupun dia tahu bahwa kaos itu cukup transparan. Bahkan Anda untuk pertama kali dapat melihat tato jantung dengan sayap berwarna biru yang memenuhi sebagian dada gadis oriental itu. Indah. Saya menatap langit-langit kamar, menerawang menembus gelap di baliknya. Nafasnya terengah, lelah. 

“Mana? Aku ingin melihatnya!”

Sementara itu Anda sudah berada dalam ruang kerjanya. Kemudian meminta Saya untuk masuk ke dalam ruangan itu. Piano tua peninggalan kakeknya yang seorang pianis berada di tengah ruangan, 3 buah mikrophone menggantung dari langit-langit, sebuah komputer terlihat menyala di belakang piano dan 4 buah speaker berukuran sedang di setiap sudut ruangan dan tumpukkan kertas di atas kursi. Ruangan ini terlihat telah di tata-ulang. Cahaya di ruangan itu cukup gelap karena hanya ada sebuah lampu sorot berwarna biru tepat di atas piano, cahayanya memantul redup dari badan piano yang terkena cahaya.

Saya semakin diselimuti kebingunan, apa sebenarnya yang akan Anda lakukan, namun ia tidak lagi bertanya dan hanya duduk terdiam di sudut lain ruangan itu sambil terus menatap ke arah Anda dan sesekali ke arah lainnya. Anda memberikan selembar kertas dan meminta Saya untuk membacanya sekehendak.

Tanpa aba-aba, tangan Anda mengambil selembar kertas yang terlihat berupa partitur karya-karya musik dari atas kursi menghadap piano. Anda meremasnya dan melemparkannya ke dalam piano yang terbuka tepat mengenai senar-senar piano yang semula tenang pada ketegangannya masing-masing. Keheningan pecah seketika, berganti suara-suara aneh yang terdengar dari tindakan tersebut. Suaranya lirih, kadang sedikit keras, bahkan suara-suara itu terjadi secara kebetulan akibat benturan-benturan kertas di antara bentangan senar. Sementara Saya membaca baris demi baris tulisan tangan tanpa judul di antara gelap:

“memompa kesadaran dengan luka di lenganku
menyadari bahwa semua telah menjadi gila
apa yang dilakukan olehnya, juga olehku
dan kalian tentu saja, mungkin.

pelan dalam kecepatannya. cepat melambat.
kecepatan sering terlambat. Kadang.

nada pertama melantun bijak,
nada selanjutnya butuh kejelian.
nada pertama melantun bijak,
nada terakhir jatuh terlambat.

pengulangan adalah kebosanan sejuta makna
berputar-putar mengeliling - berkeliling pada putaran.
darah mengering hitam. suram melebam.
roti tawar; lagi. memompa kesadaran menjadi gila.”***

Satu-persatu bahkan beberapa lembar sekaligus, kertas itu dilemparkan ke dalam piano dengan sangat yakin. Jumlahnya puluhan. Anda melemparkannya dengan tempo acak, kadang konstan kadang dengan jeda yang cukup panjang untuk memberi kesempatan bunyi hujan terdengar riuh berhimpitan dengan emosi Saya saat membacakan tulisannya. Suasana di ruangan itu hampir tidak dapat terlukiskan terlebih menuliskannya secara lisan. Menterjemahkannya adalah sia-sia, cukup mendengarkannya sebagai pengalaman. Pantulan-pantulan samar datang silih berganti, mengepung dari setiap sudut. Seolah dinding-dinding saling beradu bicara. Ini bukan halusinasi karena Saya menggunakan obat bius, tapi karena Anda telah mengkondisikan komposisinya sedemikian rupa sehingga membawa siapa saja yang berada dalam ruangan itu akan mengalami situasi yang benar-benar absurd. Sampai tumpukan kertas itu tak tersisa maka selesailah sudah. Kesunyian bersambung hela napas kepuasan. Hening.

Anda memandang Saya yang terlihat masih terbawa suasana, bertanya-tanya dalam hati apa maksud semua ini.
“Karya ini untuk kamu!”

Saya semakin tidak mengerti dan tetap diam terkesima menatap lurus ke arah piano mencerna kata-kata.

“Sudah, tidak perlu dipikirkan.. pertunjukan sudah selesai!” Anda bicara lebih ringan. 

Saya masih dalam kebingungannya, tidak dengan karya sahabatnya. Tapi dengan maksud  perkataannya dan mencoba menyimpulkan kejadian malam ini.

Anda menggiring suasana lebih cair, “mau minum apa? akan kubuatkan teh hangat jika kamu mau dan kita bisa mendiskusikan karyaku tadi.” Saya hanya mengangguk setuju.

Anda pergi untuk membuatkan minuman, seketika pula rasa penasaran Saya menuntunnya kearah piano dan mulai mengambil kertas-kertas di dalamnya. Saya membuka dan meluruskan kembali kertas-kertas itu, ia sangat tidak percaya bahwa dalam kertas partitur itu tertera judul karya yang sama sekali tidak dibayangkannya. Karya itu berjudul Piano Piece For Saya #11, Saya membuka kertas lain dan membacanya. Kali ini berjudul Piano Piece For Saya #4, kertas ketiga berjudul Piano Piece For Saya #7 dan medapatkan nomor berbeda pada lembar lainnya, semuanya tertulis lengkap dengan keterangan-keterangan. Puluhan kertas masih berserakan dan belum ia sentuh ketika langkah kaki Anda mendekat.

Entah perasaan seperti apa yang dirasakan oleh Saya, hatinya luruh dan matanya yang agak sipit tidak tahan lagi membendung airmata. Ketika Anda meletakkan minuman dan baru saja ingin mengatakan sesuatu, Saya memeluk Anda dengan perasaan ganjil. Anda hanya diam dan merasakan keganjilan yang sama.

Tubuh Saya lebih dingin dari biasa, mungkin dia demam akibat guyuran hujan atau karena pengaruh obat bius.

“Minumlah tehnya selagi hangat dan makan roti itu, lalu istirahatlah.”

Saya menurutinya karena dia merasakan tubuhnya tidak dalam kondisi baik untuk pulang dan hujan semakin lebat di luar. Menit kemudian Saya sudah terbaring lagi di kasur, Anda menyelimuti tubuhnya yang rapuh. Wajah cantiknya menderita. Pucat. Seperti tidak ada darah yang mengalir.

“Tidurlah di sampingku, dingin sekali rasanya.”

“Ya,.. tapi aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dulu.” Anda pergi meninggalkan kamar dan mematikan lampu.

Saya selalu bangun lebih awal dari ayam jantan, Anda tidur di ruang tamu dengan televisi yang masih menyala. Sepertinya dia kelelahan dan memiliki pikiran yang cukup berat sampai sesekali Saya mendengarnya mengigau samar.

Seperti biasa Saya mengawali hari-harinya dengan segelas air putih dan obat bius. Dan semuanya sudah disediakan oleh Anda di sebuah meja dekat dapur. Tanpa berpikir panjang Saya memenuhi kebutuhan biologisnya. Dalam satu hari Saya harus mengkonsumsi sebanyak tiga kali bahkan sampai empat. Obat bius itu telah menggerogoti tubuhnya dan dia merasa normal hanya ketika di bawah pengaruh obat itu, selebihnya adalah kesakitan.

Matahari menunjukkan sinarnya yang pertama di halaman depan, Saya bergegas pulang untuk kemudian mencari obat lainnya, sementara itu Anda masih terlihat nyenyak.

Satu jam berselang keramaian sudah dimulai, derap langkah pejalan kaki dan kendaraan bermotor silih berganti membuat kebisingan di depan rumah membangunkan Anda. Saya meninggalkan pesan  di atas televisi:

“Temui aku sore ini.”

+++
Sore hari di tempat yang sama dengan situasi yang berbeda mereka berhadapan tanpa suara. Saya terlihat lebih segar ketimbang semalam. Asyik menenggak Bir dingin dan menikmati rokok mentolnya. Anda hanya memutar-mutarkan cangkir kopinya berderit. Mengganggu.

“Apakah kamu pernah berpikir untuk mementaskan karyamu itu?” Saya membatalkan kebisuan.

“Tidak!”

“Kenapa tidak?.. Kita bisa memainkannya di pentasku besok, di galeri itu ada sebuah piano yang tidak pernah di mainkan. Aku bisa minta panitia untuk menyediakan yang kamu butuhkan. Bagaimana?”

“Aku sudah membakar kertas-kertas itu. Dan setelah tadi malam, karyaku sudah selesai!”

Sekali lagi Anda membuat Saya mengalami kekacauan. Kehampaan menyerang seketika bersama harapannya yang pudar, tapi dia masih menyisakannya. Sedikit keyakinan, ada alasan.

“Jadi kamu sudah tidak mencintaiku lagi setelah tadi malam?!”

“Apa maksudmu? kamu baik-baik saja kan?”

“Tentu aku baik-baik saja!, aku sudah memiliki obat untuk beberapa hari kedepan dari honor tulisanku.. jawab pertanyaanku?!” 

“..Mbak!”, tiba-tiba saja suara wanita pejalan kaki menyela pembicaraan sambil melambaikan tangan kearah Saya juga Anda ketika mereka menoleh.

“Hei, mau kemana?” Saya tampak tetap ramah menjawab, sedangkan pikiran hatinya sedang sangat kacau.

“Ke toko buku Mbak. Mau tukar nih ada halaman yang hilang!.. Besok lusa manggung ya Mbak? Main jam berapa?”

“Yah, lain kali di cek dulu kalau beli..  Jam delapan, datang ya!”

“Siap Mbak, aku duluan ya.. keburu tutup.”

Wanita itu melanjutkan tujuannya. Berjalan lebih cepat sambil menggerutu kearah toko buku yang tidak jauh dari kedai. Sementara Anda menahan kata dalam jeda.

“Aku mengenalmu seperti aku mengenal diriku sendiri, kamu pasti sembuh.. kita akan melewatinya bersama”

Saya salah mengartikan maksud ucapan Anda. Perasaan yang selama ini terpendam seperti menemukan harapan lebih. Ia memberanikan diri untuk kembali bertanya dengan suara yang parau: “apakah kamu akan tetap menuliskan komposisi untukku ketika aku menjadi kekasihmu?”

“Berapa banyak obat yang kamu konsumsi hari ini?.. Bicaramu melantur!”

Long-dress berwarna cerah bercorak bunga-bunga yang dikenakan Saya tampak semakin kontras dengan warna kulit wajahnya yang putih pucat. Kekacauan kembali menjalar cepat. Tatapnya hampa, matanya berkaca-kaca. kali ini Saya benar-benar tidak mengenali Anda, sahabatnya sejak kecil.

Kecantikan, kecerdasan dan kepopuleran Saya membuat semua lelaki ingin menjadi kekasihnya. Mungkin lebih. Walau pun beberapa pria yang pernah menjadi pacarnnya selalu meninggalkannya begitu saja setelah mengetahui latar belakangnya yang gelap. Saya lebih mencintai dirinya sendiri ketimbang siapapun. Perasaannya berbeda untuk Anda, Saya betul-betul mencintainya sebanding dengan kecintaannya pada diri sendiri. 

“Maafkan aku.”

“Untuk apa?, kamu sama sekali tidak salah.. lupakan perkataanku tadi.”

“Hanya saja aku tidak bisa.. tidak mungkin untukku!”

“Sudah, lupakan aku bilang!” Saya sangat kecewa. Airmata menggaris di pipinya.

Warm..warm..warm..leatherette..warm..warm..warm..leatherette...........................................before you die.......warm...leatherette! nada-dering itu terdengar aneh dari dalam tas kulit di atas meja kedai. Kali ini pemiliknya mengacuhkannya karena merasa tidak ada kepentingan untuk mengangkatnya. Saya tidak pernah peduli dengan siapa pun yang menghubunginya melalui telepon genggam itu. Kecuali Anda. Tapi tidak seorang pun setelah sore ini. Bahkan ia akan merubahnya menjadi nada-sunyi sebelum lagu itu kembali menusuk-nusuk tajam di telinga.

Betapapun Anda mencintai Saya, dia tidak berniat menjadi kekasihnya. Penderitaannya lebih berat dari sahabatnya, tapi sampai sore itu Saya tidak mengetahuinya. Anda teridentifikasi mengidap HIV-AIDS akibat sering berbagi jarum suntik dengan banyak orang. Hal ini yang mendorong Anda untuk berhenti mengkonsumsi obat bius agar tampak terlihat sehat di mata sahabatnya. Berharap hidup lebih panjang bersama Saya.

Catatan:
*1) Penggalan lirik: Chicks On Speed, Warm Leatherette.
*2) Penggalan judul: Nina Power, Women Machines: the Future of Female Noise. Noise & Capitalism. Arteleku, 2009.
*3) Prosa-bebas: Kesadaran Gila. Pandu Hidayat. Unpublished, 2012.
PanduHidayat, Yk – 2012