Friday, January 31, 2014

Dear Destiny

Dear Destiny..
Apakah anda percaya bahwa pertemuan dan perpisahan bagian dari takdir? Mungkin anda percaya. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi jika Tuhan mengatur nafasnya, tapi kurasa ini soal kebetulan yang terencana. Sehingga, Jumat pertama di tahun ini, aku dapat bertemu sahabatku, Fraya. Seorang gadis kota yang sebenarnya bukan sekedar sahabat. Juga bukan sekedar pertemuan. Karena inilah kali pertama kami bertemu, setelah bertahun-tahun saling mengenal.

Sebuah malam, Fraya memberi kabar tentang rencana kedatangannya ke kotaku. Maklum kota tempat tinggalku adalah kota wisata yang selalu ramai dikunjungi, terlebih hari libur seperti tahun baru, yang baru saja berlalu. Tidak terkecuali, Fraya dan keluarganya pun datang berkunjung menghabiskan waktu liburnya yang sangat singkat.

Waktunya tiba. Setelah menghabiskan hari bersama keluarga, akhirnya ada sedikit waktu luang di ujung malam untuk sebuah pertemuan. Melepas kerinduan atau sekedar menikmati sisa malam yang segera habis ditelan dingin, semua tujuan sudah bercampur lalu menghilang ketika pertama kali aku melihatnya. Gerak-gerak aneh dari gesturnya terasa tidak asing untukku, begitu pun caranya bertutur. Dan ketika aku masih berpikir bahwa semua ini nyata, aku sedang menjabat tangannya. Halus. Aku tidak sempat merasakannya.

Lebih dari itu, aku mengenali detilnya seperti sebelum kami bertemu. Identik. Satu hal yang luput dari dugaan adalah raut wajah yang jauh lebih mempesona, lebih tajam dari yang aku bayangkan. Tapi aku mencoba tidak menunjukan keterkejutanku di hadapannya, sebaliknya aku berusaha menjadi sosok yang dikenalnya selama ini.
Selain aku, Fraya juga mengundang Hendrik, seorang teman yang sama-sama kami kenal baik. Suasana di sebuah kedai makan yang sudah tutup malam itu, hidup dalam keremangannya, hanya terbias sinar lampu penerang tepi jalan dan halaman parkir hotel, tempatnya menginap. Kami lebih banyak membahas hal-hal yang sebenarnya sudah kami tahu, sekedar mengingat, bertukar cerita, ditambah sedikit tawa. Itulah kesederhanaan yang tercipta.

Fraya lebih pendiam dari yang aku kira, dingin dalam kemurungannya. Sedangkan aku kehilangan setengah diriku malam itu, pergi bersama pikiran-pikiran yang melayang jauh ketepian setiap subuh. Aku kerap terjebak bisu, melihat sosok lembut di hadapanku yang tak hentinya menghisap berbatang rokok. Kadang aku melihatnya meredup, seketika pula enerjiku menguap bersama kepulan asap dari bibir pekatnya, menyembur wajahku. Namun saat lebih jauh menatap, aku tidak mampu memecah kebekuan, karena sebuah alasan.

Aku dan Fraya memiliki kisah yang masih sangat segar dalam ingatan, karena hal itu kami merasa memiliki beban saat saling berhadapan, ada frekuensi yang sama dalam diam. Kemudian kebekuan semakin menebal, ketika Hendrik pergi ke suatu tempat untuk beberapa saat. Suasana menjadi semakin hening dalam kehangatannya, kemudian Fraya mengucapkan sebuah kalimat dengan intonasi yang sangat tenang tanpa ekspresi, setengah menatap ke arahku.

“Kita hanya berdua.”

Tanpa aba-aba, aku memberikan jari kelingkingku, kemudian Fraya mengikatkannya dengan jari kelingkingnya. Tak ada kata yang sempat terucap, saling menatap. Berjanji dalam hati, tak ingin menuai murka. Memaafkan. Saat seperti inilah aku menemukan jiwa-jiwa yang lapang. Wangi surga.

Menit selanjutnya Hendrik sudah duduk di kursinya, kami kembali bersikap seperti semula.

Besar keinginan untuk mengucapkan banyak kata dan meghambur-hamburkannya, tapi kami dalam dilema, tidak ada pilihan selain menjaga diri untuk menahan diam demi persahabatan. Waktu sangat cepat mengarah pergantian hari, pertemuan pun berakhir peluk menyesakkan karena harus segera melepas, dan hanya satu kalimat lagi yang terucap dari bibirnya yang gemetar. Lirih, hampir tak terdengar.

“Jangan ulangi lagi.”

Aku hanya bisa menyetujui perkataannya, kalimat tadi untuk kisah kami. Kisah tentang perasaan mendalam di tahun lalu, yang menghadiahkan luka setelahnya, dan goresnya masih tampak jelas saat perjumpaan malam itu.
Kami terlibat perasaan aneh di tahun lalu, sampai akhirnya perasaan itu tak terbendung. Saling mengungkapkan bahwa perasaan kami senyawa, lantas merayakannya sebagai persahabatan yang ganjil. Kemudian, muncul perasaan saling menginginkan dengan berjuta mimpi-mimpi, berlarut tanpa buah kebaikan. Justru sebaliknya membuat persahabatan kami hancur untuk sekian jeda. Hingga kami memulainya kembali akhir tahun lalu, dengan harapan dapat memperbaikinya. Mencoba mengembalikan hatinya, juga perasaanku, seperti ketika kami baru saling mengenal. Nyaris, kami berhasil mengusir keganjilan itu. Hampir saja.

Namun situasi berubah setelah pertemuan di kedai makan yang sudah tutup itu. Kami terbuai romantisme, dan menyadarinya sebagai pengulangan yang akan membawa kami ke jurang yang sama, tentu akan lebih menyakitkan. Pengulangan tanpa harapan, tetapi kenyamanannya sulit dihindari. Terlalu menyenangkan walau hanya mimpi sekali pun.

Hari ke hari sampai Jumat ke dua intensitas komunikasi semakin membaik, sekaligus menimbulkan ketakutan besar, kisah di belakang semakin nyata menghantui. Kami seolah tidak mempedulikan hal itu. Ringan saja, melibatkan canda demi mengurai ketegangan yang sebenarnya ada. Dan sadar atau tidak, selalu ada hening untuk menyelami rasa, sampai akhirnya terbuai kata-kata madu. Ada harapan yang entah apa. Karena harapan untuk saling memiliki telah kami pupuskan.

Aku mampu merasakan sesuatu yang hilang dalam hidupku telah kembali, hanya itu yang aku tahu. Hasratku penuh, lantas semuanya menjadi lebih ringan, meski ada keraguan pada setiap langkahku yang tampak tak lurus. Iya dan tidak sudah sama artinya, membias biru dan kelabu. Beberapa cerita terulang mengisi sisa-sisa malam sampai menjelang fajar. Ada embun segar ketika terik, juga kehangatan ketika senja menjemput gelap. Keganjilan yang sempurna. Batinku.

Seperti itulah kami menghabiskan hari, sampai berjumpa Jumat ke tiga yang merubah segalanya. Kemudian roda-roda waktu seakan lebih giat berjalan mundur menuju jurang yang lebih curam.

Entah apa penyebabnya, Fraya berangsur berubah dalam sikap, juga sifat. Mungkin jenuh, atau muak dengan semua ini. Dia menghindar, diam tanpa alasan yang bisa aku pahami. Lebih banyak airmata dari kata-kata, aku semakin tidak mampu mencerna.

Dear Destiny, apakah anda menganggap kisah kami tentang cinta? Anda keliru, karena ini adalah sebuah kisah persahabatan yang rumit.

Fraya sering bicara tentang keinginannya menjemput kematian, teramat kelam dan dalam. Emosional. Tidak ada yang bisa kulakukan, karena aku tahu Fraya tidak pernah mendengarkan ucapan dan nasihatku sebagai sahabat. Aku hanya bisa menerka, bahwa semua ini tentang kekasih yang sangat dicintainya. Ya, anda peka kali ini. Untuk apa selalu ada airmata luka jika bukan karena cinta. Aku berpikir hal serupa.

Selain itu, dia pernah bercerita tentang khayalan yang diyakininya sebagai kenyataan, hingga hidup ini terasa sangat menyedihkan, terkekang tanpa kebebasan dan merasa dirinya hina. Namun aku tidak tahu kekangan dan rasa hina itu datang dari mana. Bahkan beberapa kali Fraya memintaku untuk menjemputnya. Dalam arti mengakhiri hidup. Semua ucapan selalu di luar logika nalar, entah mana gurauan dan mana kenyataan. Aku kehilangan sifatnya yang tenang dan optimis ketika membantuku memecahkan banyak masalah.

Pada sebuah kesempatan Fraya pernah berkata selepas bergantinya malam:
“Bunuh aku dalam pelukanmu.” Kemudian melanjutkan kalimatnya: “Aku terlalu takut menghadapi realita, terlalu nyata, aku tidak terbiasa.”

Kalimat pertama teramat seksi untukku, kalimat selanjutnya menunjukan bahwa dirinya sedang dalam keraguan besar, putus asa. Lagi-lagi aku tidak tahu alasan mendasar yang membuatnya begitu traumatis secara psikologis. Aku sulit membacanya, kehilangan konteks persahabatan, ketika dia selalu berubah pendirian sekehendak.

Seperti ucapannya di hari yang lain:
“Aku senang mengenalmu, tapi aku tidak berani keluar dari kenyamananku.” Selanjutnya kata-kata pun berubah, lebih masuk akal. “Aku sangat mencintai kekasihku. Enyahlah.”

Kalimat yang sama-sama kami ketahui, karena waktu sudah lebih dulu mengatakannya. Rupanya Fraya tak belajar dari waktu, mengorbankan persahabatan yang tak berdosa demi cinta. Klise. Atau, akulah yang berdosa karena telah kecanduan indah persahabatan? Entahlah. Toh, sejauh ini aku selalu rela ketika dia mencintai siapa pun, dulu atau sekarang. Hanya saja egoku berkata, ia mampu menjaga sahabat  dan tetap mencintai kekasihnya. Namun, Fraya memilih satu kenyataan yang lebih dekat, dan melepas persahabatan yang jauh tak terlihat. Sikapnya adalah kepantasan. Sedangkan aku menerimanya sebagai percikan api di antara putusan  tetes hujan. Dingin mengerak.

Kesempatan sirna, Fraya tidak berani meraihnya ketika ada, lantas pergi. Tapi aku yakin dia pergi mengikuti kata hatinya, dengan perenungan, penuh pertimbangan. Menukar sahabat dengan tiket kebahagiaan, adalah tepat ketika aku hanya membuat hidupnya bertambah sesak. Dia selalu pandai memilah, mana yang baik dan tidak untuk hidupnya, termasuk memilih siapa-siapa yang pantas menjadi sahabat. Dan, andai aku tahu diri, aku tidak pernah pantas.

Tak lama waktu berselang, aku melihat kejanggalan dalam setiap kalimat. Tindakan tidak sesuai dengan apa yang terucap dari bibir. Hidupnya baik-baik saja, tidak seperti kekhawatiranku tentang bayangan mengerikan yang kutangkap dari baris kata derita tentangnya. Makna benar-benar sudah terjun ke jurang, tanpa kejujuran yang dapat kupegang di dinding curamnya.

Mungkin, segala ucapanku tertangkap tanpa terdengar olehnya, atau mungkin berkat doa dari kata-kata, sampai akhirnya Fraya berani menjalani realita. Penuh tawa, seperti yang kusaksikan dengan mataku. Tak ada sedikit pun kemurungan di raut wajahnya. Ceria. Satu sisi aku meremang buram, tak percaya. Di sisi lain, aku senang melihat hidupnya kembali berjalan seperti adanya. Bagaimana pun kami pernah bersahabat. Aku hormati itu. Tulus.

Adalah peristiwa estetis yang membuat mataku tak berkedip dalam sukatnya. Bagaimana tidak, Fraya bahkan tak mengenaliku, saat aku melihatnya bersama sang kekasih petang itu. Dalam hitungan jengkal? Ya, dalam hitungan jengkal, karena kami hanya berjarak tiga langkah kuda, tak sejauh metafora. Aku terpaksa melakukannya demi satu kebenaran, yang seketika itu gugur di hadapannya.

Tak kuasa menyapa, aku melangkah pergi dengan beribu pertanyaan di setiap dinding kota yang angkuh. Bukan pengecut. Berharap hanya mimpi, namun aku sedang terjaga di atas laju kereta yang melesat cepat, menuju dusun kotaku. Menderu, seperti requiem yang terdengar syahdu di telinga.

Tangan kiriku menghapus satu demi satu kenangan dalam genggaman, sementara tangan kananku menulis sepotong lirik di antara gerbong-gerbong penurut:
“Sisa malam bersama lampu-lampu jalang. Terasa lengang, ada yang hilang.
Sejuta gulita kau sisakan, memupuk subur ruang sesakku.
Dingin hadirkan kebekuan. Luruhkan janji harap. Manusia perlu haru.
Lelahku lantang memaki. Bibir-bibir terpaku. Merapat bisu.

Habis terbakar, madu mengering. Cerita luka.
Hinamu kusiram, bersih tanpa penawar.
Getir bahasa, pahit sungguh dewasa.
Menggunting kisi-kisi mimpi, merobek asa.”*

Lirik itu tak akan pernah selesai, sampai kutemukan kebenaran atas segala pertanyaan yang gugur bergelimpangan. Dimana Fraya membuang nestapa? Aku perlu tahu, aku harus merawatnya, menyiramnya di pagi dan sore hari, hingga tumbuh menjadi rasa percaya diri. Hanya itu yang aku butuhkan untuk melanjutkan langkah, melewati kerumunan manusia asing di sela-sela ketiak rimbun.

Tapi lagi-lagi anda keliru jika menganggapku sedang terpuruk, lantas menderita karenanya. Tidak. Percayalah, aku hanya sahabat yang tidak diinginkan, bukan kekasihnya yang lain. Juga tak lebih dari apa yang disaksikannya di kedai makan, malam itu. Ah sudahlah, anda tak perlu mencurigai kesabaranku sebagai kenistaan. Sungguh, tak ada dusta yang kusembah melebihi janji palsu.

Aku hanya sedang berduka untuk persahabatan kami. Karena tepat di Jumat ke empat, aku telah lebih dulu mati bersama persahabatan yang dibunuhnya. Sedangkan kekecewaan untuk segala yang ditimpakannya, sudah terbayar dengan kebenaran atas dirinya sendiri. Lebih dari cukup untuk menebusnya. Karena untuk itulah dia bersikap, untuk kebenaran yang belum tentu bisa kulakukan. Atau, jika anda merasa mampu melakukannya, lakukanlah dengan bangga. Tak perlu bersuara.

Dan seandainya, Jumat selanjutnya adalah kebenaran. Maka aku akan merayakan setiap Jumat atas namanya. Mengingat persahabatan dengan merubah warna kalender. Sekaligus merubah setiap hurufnya tanpa aksara, tak menyerupai bahasa. Hanya Fraya yang mampu menterjemahkannya, bukan anda atau pun aku sendiri yang sudah merusak warna-warna takdir di atasnya. Aku menanggung kebencian yang disematkannya pada namaku, tanpa sebab. Tanpa emosi.

Dear Destiny, begitulah kisah persahabatan kami. Aku sungguh terharu, anda sudi mendengarkan kisah ini, meski kita belum sempat berjabat tangan untuk saling mengenal. Hmm, pasti anda bertanya-tanya, mengapa aku begitu melankolis mendalami persahabatan? Aku tidak memiliki alasan dalam hal ini. Aku hanya selalu teringat nasihat ibu, ia sempat berkata saat aku tersesat:
“Temukan sahabat yang seimbang denganmu, lalu jagalah dia.”

Hingga detik ini, aku belum juga mengerti maksud ucapannya. Aku tak mampu menjaga sahabat, terlebih mengimbanginya. Ibu meneteskan airmata, menatapku curiga saat aku menceritakan kisah persahabatanku kali ini, persis seperti anda mencurigaiku. Mungkin, aku tidak akan pernah mampu mengartikan nasihatnya, sebelum aku membasuh bersih kaki sucinya, lalu menenggak habis setiap tetes bilas. Seraya memuja, mulialah semua wanita.

Pandu Hidayat, Februari 2013