Dear Destiny..
Apakah anda percaya bahwa pertemuan dan perpisahan
bagian dari takdir? Mungkin anda percaya. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi
jika Tuhan mengatur nafasnya, tapi kurasa ini soal kebetulan yang terencana.
Sehingga, Jumat pertama di tahun ini, aku dapat bertemu sahabatku, Fraya.
Seorang gadis kota yang sebenarnya bukan sekedar sahabat. Juga bukan sekedar
pertemuan. Karena inilah kali pertama kami bertemu, setelah bertahun-tahun
saling mengenal.
Sebuah malam, Fraya memberi kabar tentang rencana
kedatangannya ke kotaku. Maklum kota tempat tinggalku adalah kota wisata yang
selalu ramai dikunjungi, terlebih hari libur seperti tahun baru, yang baru saja
berlalu. Tidak terkecuali, Fraya dan keluarganya pun datang berkunjung
menghabiskan waktu liburnya yang sangat singkat.
Waktunya tiba. Setelah menghabiskan hari bersama
keluarga, akhirnya ada sedikit waktu luang di ujung malam untuk sebuah
pertemuan. Melepas kerinduan atau sekedar menikmati sisa malam yang segera
habis ditelan dingin, semua tujuan sudah bercampur lalu menghilang ketika
pertama kali aku melihatnya. Gerak-gerak aneh dari gesturnya terasa tidak asing
untukku, begitu pun caranya bertutur. Dan ketika aku masih berpikir bahwa semua
ini nyata, aku sedang menjabat tangannya. Halus. Aku tidak sempat merasakannya.
Lebih dari itu, aku mengenali detilnya seperti sebelum
kami bertemu. Identik. Satu hal yang luput dari dugaan adalah raut wajah yang
jauh lebih mempesona, lebih tajam dari yang aku bayangkan. Tapi aku mencoba
tidak menunjukan keterkejutanku di hadapannya, sebaliknya aku berusaha menjadi
sosok yang dikenalnya selama ini.
Selain aku, Fraya juga mengundang Hendrik, seorang teman
yang sama-sama kami kenal baik. Suasana di sebuah kedai makan yang sudah tutup
malam itu, hidup dalam keremangannya, hanya terbias sinar lampu penerang tepi
jalan dan halaman parkir hotel, tempatnya menginap. Kami lebih banyak membahas
hal-hal yang sebenarnya sudah kami tahu, sekedar mengingat, bertukar cerita,
ditambah sedikit tawa. Itulah kesederhanaan yang tercipta.
Fraya lebih pendiam dari yang aku kira, dingin dalam
kemurungannya. Sedangkan aku kehilangan setengah diriku malam itu, pergi bersama
pikiran-pikiran yang melayang jauh ketepian setiap subuh. Aku kerap terjebak
bisu, melihat sosok lembut di hadapanku yang tak hentinya menghisap berbatang
rokok. Kadang aku melihatnya meredup, seketika pula enerjiku menguap bersama
kepulan asap dari bibir pekatnya, menyembur wajahku. Namun saat lebih jauh
menatap, aku tidak mampu memecah kebekuan, karena sebuah alasan.
Aku dan Fraya memiliki kisah yang masih sangat segar
dalam ingatan, karena hal itu kami merasa memiliki beban saat saling
berhadapan, ada frekuensi yang sama dalam diam. Kemudian kebekuan semakin
menebal, ketika Hendrik pergi ke suatu tempat untuk beberapa saat. Suasana
menjadi semakin hening dalam kehangatannya, kemudian Fraya mengucapkan sebuah
kalimat dengan intonasi yang sangat tenang tanpa ekspresi, setengah menatap ke
arahku.
“Kita hanya berdua.”
Tanpa aba-aba, aku memberikan jari kelingkingku, kemudian
Fraya mengikatkannya dengan jari kelingkingnya. Tak ada kata yang sempat
terucap, saling menatap. Berjanji dalam hati, tak ingin menuai murka.
Memaafkan. Saat seperti inilah aku menemukan jiwa-jiwa yang lapang. Wangi
surga.
Menit selanjutnya Hendrik sudah duduk di kursinya, kami
kembali bersikap seperti semula.
Besar keinginan untuk mengucapkan banyak kata dan
meghambur-hamburkannya, tapi kami dalam dilema, tidak ada pilihan selain
menjaga diri untuk menahan diam demi persahabatan. Waktu sangat cepat mengarah
pergantian hari, pertemuan pun berakhir peluk menyesakkan karena harus segera
melepas, dan hanya satu kalimat lagi yang terucap dari bibirnya yang gemetar.
Lirih, hampir tak terdengar.
“Jangan ulangi lagi.”
Aku hanya bisa menyetujui perkataannya, kalimat tadi
untuk kisah kami. Kisah tentang perasaan mendalam di tahun lalu, yang
menghadiahkan luka setelahnya, dan goresnya masih tampak jelas saat perjumpaan
malam itu.
Kami terlibat perasaan aneh di tahun lalu, sampai
akhirnya perasaan itu tak terbendung. Saling mengungkapkan bahwa perasaan kami
senyawa, lantas merayakannya sebagai persahabatan yang ganjil. Kemudian, muncul
perasaan saling menginginkan dengan berjuta mimpi-mimpi, berlarut tanpa buah
kebaikan. Justru sebaliknya membuat persahabatan kami hancur untuk sekian jeda.
Hingga kami memulainya kembali akhir tahun lalu, dengan harapan dapat
memperbaikinya. Mencoba mengembalikan hatinya, juga perasaanku, seperti ketika
kami baru saling mengenal. Nyaris, kami berhasil mengusir keganjilan itu.
Hampir saja.
Namun situasi berubah setelah pertemuan di kedai makan
yang sudah tutup itu. Kami terbuai romantisme, dan menyadarinya sebagai pengulangan
yang akan membawa kami ke jurang yang sama, tentu akan lebih menyakitkan.
Pengulangan tanpa harapan, tetapi kenyamanannya sulit dihindari. Terlalu
menyenangkan walau hanya mimpi sekali pun.
Hari ke hari sampai Jumat ke dua intensitas komunikasi semakin
membaik, sekaligus menimbulkan ketakutan besar, kisah di belakang semakin nyata
menghantui. Kami seolah tidak mempedulikan hal itu. Ringan saja, melibatkan
canda demi mengurai ketegangan yang sebenarnya ada. Dan sadar atau tidak,
selalu ada hening untuk menyelami rasa, sampai akhirnya terbuai kata-kata madu.
Ada harapan yang entah apa. Karena harapan untuk saling memiliki telah kami
pupuskan.
Aku mampu merasakan sesuatu yang hilang dalam hidupku
telah kembali, hanya itu yang aku tahu. Hasratku penuh, lantas semuanya menjadi
lebih ringan, meski ada keraguan pada setiap langkahku yang tampak tak lurus.
Iya dan tidak sudah sama artinya, membias biru dan kelabu. Beberapa cerita
terulang mengisi sisa-sisa malam sampai menjelang fajar. Ada embun segar ketika
terik, juga kehangatan ketika senja menjemput gelap. Keganjilan yang sempurna.
Batinku.
Seperti itulah kami menghabiskan hari, sampai berjumpa
Jumat ke tiga yang merubah segalanya. Kemudian roda-roda waktu seakan lebih
giat berjalan mundur menuju jurang yang lebih curam.
Entah apa penyebabnya, Fraya berangsur berubah dalam
sikap, juga sifat. Mungkin jenuh, atau muak dengan semua ini. Dia menghindar,
diam tanpa alasan yang bisa aku pahami. Lebih banyak airmata dari kata-kata,
aku semakin tidak mampu mencerna.
Dear Destiny,
apakah anda menganggap kisah kami tentang cinta? Anda keliru, karena ini adalah
sebuah kisah persahabatan yang rumit.
Fraya sering bicara tentang keinginannya menjemput
kematian, teramat kelam dan dalam. Emosional. Tidak ada yang bisa kulakukan,
karena aku tahu Fraya tidak pernah mendengarkan ucapan dan nasihatku sebagai
sahabat. Aku hanya bisa menerka, bahwa semua ini tentang kekasih yang sangat
dicintainya. Ya, anda peka kali ini. Untuk apa selalu ada airmata luka jika
bukan karena cinta. Aku berpikir hal serupa.
Selain itu, dia pernah bercerita tentang khayalan yang
diyakininya sebagai kenyataan, hingga hidup ini terasa sangat menyedihkan,
terkekang tanpa kebebasan dan merasa dirinya hina. Namun aku tidak tahu
kekangan dan rasa hina itu datang dari mana. Bahkan beberapa kali Fraya
memintaku untuk menjemputnya. Dalam arti mengakhiri hidup. Semua ucapan selalu
di luar logika nalar, entah mana gurauan dan mana kenyataan. Aku kehilangan
sifatnya yang tenang dan optimis ketika membantuku memecahkan banyak masalah.
Pada sebuah kesempatan Fraya pernah berkata selepas
bergantinya malam:
“Bunuh aku dalam
pelukanmu.” Kemudian melanjutkan kalimatnya: “Aku terlalu takut menghadapi realita,
terlalu nyata, aku tidak terbiasa.”
Kalimat pertama teramat seksi untukku, kalimat
selanjutnya menunjukan bahwa dirinya sedang dalam keraguan besar, putus asa.
Lagi-lagi aku tidak tahu alasan mendasar yang membuatnya begitu traumatis
secara psikologis. Aku sulit membacanya, kehilangan konteks persahabatan,
ketika dia selalu berubah pendirian sekehendak.
Seperti ucapannya di hari yang
lain:
“Aku senang
mengenalmu, tapi aku tidak berani keluar dari kenyamananku.” Selanjutnya
kata-kata pun berubah, lebih masuk akal.
“Aku sangat mencintai kekasihku. Enyahlah.”
Kalimat yang sama-sama kami ketahui, karena waktu sudah
lebih dulu mengatakannya. Rupanya Fraya tak belajar dari waktu, mengorbankan
persahabatan yang tak berdosa demi cinta. Klise. Atau, akulah yang berdosa
karena telah kecanduan indah persahabatan? Entahlah. Toh, sejauh ini aku selalu
rela ketika dia mencintai siapa pun, dulu atau sekarang. Hanya saja egoku
berkata, ia mampu menjaga sahabat dan
tetap mencintai kekasihnya. Namun, Fraya memilih satu kenyataan yang lebih
dekat, dan melepas persahabatan yang jauh tak terlihat. Sikapnya adalah
kepantasan. Sedangkan aku menerimanya sebagai percikan api di antara
putusan tetes hujan. Dingin mengerak.
Kesempatan sirna, Fraya tidak berani meraihnya ketika
ada, lantas pergi. Tapi aku yakin dia pergi mengikuti kata hatinya, dengan
perenungan, penuh pertimbangan. Menukar sahabat dengan tiket kebahagiaan,
adalah tepat ketika aku hanya membuat hidupnya bertambah sesak. Dia selalu
pandai memilah, mana yang baik dan tidak untuk hidupnya, termasuk memilih
siapa-siapa yang pantas menjadi sahabat. Dan, andai aku tahu diri, aku tidak
pernah pantas.
Tak lama waktu berselang, aku melihat kejanggalan dalam
setiap kalimat. Tindakan tidak sesuai dengan apa yang terucap dari bibir.
Hidupnya baik-baik saja, tidak seperti kekhawatiranku tentang bayangan
mengerikan yang kutangkap dari baris kata derita tentangnya. Makna benar-benar
sudah terjun ke jurang, tanpa kejujuran yang dapat kupegang di dinding
curamnya.
Mungkin, segala ucapanku tertangkap tanpa terdengar
olehnya, atau mungkin berkat doa dari kata-kata, sampai akhirnya Fraya berani
menjalani realita. Penuh tawa, seperti yang kusaksikan dengan mataku. Tak ada
sedikit pun kemurungan di raut wajahnya. Ceria. Satu sisi aku meremang buram,
tak percaya. Di sisi lain, aku senang melihat hidupnya kembali berjalan seperti
adanya. Bagaimana pun kami pernah bersahabat. Aku hormati itu. Tulus.
Adalah peristiwa estetis yang membuat mataku tak berkedip
dalam sukatnya. Bagaimana tidak, Fraya bahkan tak mengenaliku, saat aku
melihatnya bersama sang kekasih petang itu. Dalam hitungan jengkal? Ya, dalam
hitungan jengkal, karena kami hanya berjarak tiga langkah kuda, tak sejauh
metafora. Aku terpaksa melakukannya demi satu kebenaran, yang seketika itu
gugur di hadapannya.
Tak kuasa menyapa, aku melangkah pergi dengan beribu
pertanyaan di setiap dinding kota yang angkuh. Bukan pengecut. Berharap hanya
mimpi, namun aku sedang terjaga di atas laju kereta yang melesat cepat, menuju
dusun kotaku. Menderu, seperti requiem
yang terdengar syahdu di telinga.
Tangan kiriku menghapus satu demi satu kenangan dalam
genggaman, sementara tangan kananku menulis sepotong lirik di antara
gerbong-gerbong penurut:
“Sisa malam bersama
lampu-lampu jalang. Terasa lengang, ada yang hilang.
Sejuta gulita kau sisakan,
memupuk subur ruang sesakku.
Dingin hadirkan kebekuan.
Luruhkan janji harap. Manusia perlu haru.
Lelahku lantang memaki.
Bibir-bibir terpaku. Merapat bisu.
Habis terbakar, madu
mengering. Cerita luka.
Hinamu kusiram, bersih tanpa
penawar.
Getir bahasa, pahit sungguh
dewasa.
Menggunting kisi-kisi mimpi,
merobek asa.”*
Lirik itu tak akan pernah selesai, sampai kutemukan
kebenaran atas segala pertanyaan yang gugur bergelimpangan. Dimana Fraya
membuang nestapa? Aku perlu tahu, aku harus merawatnya, menyiramnya di pagi dan
sore hari, hingga tumbuh menjadi rasa percaya diri. Hanya itu yang aku butuhkan
untuk melanjutkan langkah, melewati kerumunan manusia asing di sela-sela ketiak
rimbun.
Tapi lagi-lagi anda keliru jika menganggapku sedang
terpuruk, lantas menderita karenanya. Tidak. Percayalah, aku hanya sahabat yang
tidak diinginkan, bukan kekasihnya yang lain. Juga tak lebih dari apa yang
disaksikannya di kedai makan, malam itu. Ah sudahlah, anda tak perlu mencurigai
kesabaranku sebagai kenistaan. Sungguh, tak ada dusta yang kusembah melebihi
janji palsu.
Aku hanya sedang berduka untuk persahabatan kami. Karena
tepat di Jumat ke empat, aku telah lebih dulu mati bersama persahabatan yang
dibunuhnya. Sedangkan kekecewaan untuk segala yang ditimpakannya, sudah
terbayar dengan kebenaran atas dirinya sendiri. Lebih dari cukup untuk
menebusnya. Karena untuk itulah dia bersikap, untuk kebenaran yang belum tentu
bisa kulakukan. Atau, jika anda merasa mampu melakukannya, lakukanlah dengan
bangga. Tak perlu bersuara.
Dan seandainya, Jumat selanjutnya adalah kebenaran. Maka
aku akan merayakan setiap Jumat atas namanya. Mengingat persahabatan dengan
merubah warna kalender. Sekaligus merubah setiap hurufnya tanpa aksara, tak
menyerupai bahasa. Hanya Fraya yang mampu menterjemahkannya, bukan anda atau
pun aku sendiri yang sudah merusak warna-warna takdir di atasnya. Aku
menanggung kebencian yang disematkannya pada namaku, tanpa sebab. Tanpa emosi.
Dear Destiny,
begitulah kisah persahabatan kami. Aku sungguh terharu, anda sudi mendengarkan
kisah ini, meski kita belum sempat berjabat tangan untuk saling mengenal. Hmm,
pasti anda bertanya-tanya, mengapa aku begitu melankolis mendalami
persahabatan? Aku tidak memiliki alasan dalam hal ini. Aku hanya selalu
teringat nasihat ibu, ia sempat berkata saat aku tersesat:
“Temukan sahabat yang
seimbang denganmu, lalu jagalah dia.”
Hingga detik ini, aku belum juga mengerti maksud
ucapannya. Aku tak mampu menjaga sahabat, terlebih mengimbanginya. Ibu
meneteskan airmata, menatapku curiga saat aku menceritakan kisah persahabatanku
kali ini, persis seperti anda mencurigaiku. Mungkin, aku tidak akan pernah
mampu mengartikan nasihatnya, sebelum aku membasuh bersih kaki sucinya, lalu
menenggak habis setiap tetes bilas. Seraya memuja, mulialah semua wanita.
Pandu Hidayat, Februari 2013