Dengan
pengalaman solo hiking saat mendaki gunung Merbabu dan gunung Prau, saya
memiliki sedikit bekal pengalaman tentang solo hiking. Meski sedikit, tapi
cukup membentuk mental secara mendasar. Seperti halnya fisik, mental pun akan
semakin kuat jika terus menerus ditempa dengan berbagai latihan dan pengalaman.
Namun demikian, pilihan untuk mendaki gunung Sumbing seorang diri benar-benar
saya pertimbangkan konsekuensinya, kemungkinan yang akan saya hadapi dan apa
saja yang harus saya persiapkan, menjadi fokus saya kali ini. Karena mental dan
fisik saja belum cukup, saya banyak mencari info mengenai gunung Sumbing.
Membuat catatan-catatan kecil dari pengetahuan yang saya miliki, dari cerita
teman-teman pendaki dan berbagai artikel yang saya baca di internet. Dengan
demikian, saya akan merasa lebih mengenal gunung Sumbing, meski pada
kenyataannya mungkin akan berbeda. Minimal saya tidak buta saat melangkah.
Dari
sekian banyak jalur pendakian gunung Sumbing, saya memilih jalur pendakian gunung
Sumbing via Garung Lama, Wonosobo. Seperti pendakian sebelumnya, saya memulai
starting point dari Jogja dan harus menempuh waktu sekitar dua jam perjalanan
untuk sampai di basecamp Garung. Siang itu pukul 13:45 saya tiba di basecamp, tak
lama Bapak basecamp menghampiri dan dengan akrabnya kami langsung ngobrol
seperti seorang kawan. Meski akhir pekan, siang itu tidak ada pendaki lain yang
terlihat di basecamp, si bapak sedikit kaget karena saya berniat mendaki seorang diri, dia melihat jam dinding di sudut basecamp, lantas menganjurkan saya
untuk menggunakan jasa ojek. Selagi saya masih berpikir, Bapak basecamp
mengingatkan bahwa saya akan kemalaman sebelum pos 3 jika berjalan kaki. Jasa
ojek yang dimaksud adalah dari basecamp sampai pos 1 (Malim), dengan jarak
tempuh 2 – 3 jam berjalan kaki melewati pemukiman dan perkebunan warga, dengan
jalanan berbatu yang lumayan lebar dan pastinya menanjak. Akhirnya saya pilih
menggunakan jasa ojek meski dalam hati terasa agak aneh, kok mendaki gunung
naik ojek?
Setelah
menunggu beberapa menit, pukul 14:05 ojek datang dan langsung mengangkut saya. Posisi
saya sebagai penumpang duduk di depan seperti anak kecil, dan mas ojek
menggendong tas carrier saya. Tanpa aba-aba, gas pol jekk...gila! Saya harus
akui, ojek gunung Sumbing adalah ojek paling ekstrim yang pernah saya tahu. Entah
berapa kecepatannya, kadang saya sampai harus memejamkan mata saking takutnya.
Kalau skill masih pas-pasan sangat tidak mungkin kebut-kebutan di jalan berbatu
dengan motor bebek bermesin standar. Seperti halilintar, dalam waktu 15 menit
saya sudah sampai di pos 1 tepat pukul 14:20. Tidak ada pendaki di sana, hanya
seorang warga yang sedang duduk di pos, mungkin petugas. Orang itu menganjurkan
saya untuk istirahat sejenak dan sempat menanyakan perbekalan air. Karena
selepas pos 1 sudah tidak terdapat sumber air. Saya langsung melanjutkan
pendakian karena tidak ada yang harus saya tunggu, perbekalan air pun sudah
cukup. Saya masih terbayang-bayang betapa mengerikannya menaiki motor yang membawa
saya dari basecamp, sedikit saja ban oleng nyawa saya taruhannya. Parahnya
lagi, saya tidak diperkenankan untuk berpegangan erat pada stang motor. Ingin
rasanya menyesal, tapi mengingat trek yang sangat panjang melewati perkampungan
saya tidak jadi menyesal. Jika saya memilih berjalan kaki, tenaga saya yang
tidak seberapa tangguh ini akan terkuras habis sebelum pos 1 dan berjalan
sendirian melewati perkampungan-perkebunan warga sangat-sangat membosankan
tentunya. Saya pun dengan senang hati mendapat predikat sebagai pendaki lemah
(jika ada ejekan untuk pendaki yang menggunakan jasa ojek). yes, i accept and of course
i dont care! Ah sudahlah, saya harus fokus dengan trek di depan saya.
Bisa
dibilang trek gunung Sumbing yang sebenarnya dimulai dari pos 1, karena pos 1
adalah pintu masuk menuju hutan. Jalur pendakian dimulai dengan tanah berdebu
yang tidak begitu curam. Berlanjut lebih jauh, pendaki akan melewati banyak
tanjakan curam yang tidak terlalu panjang. Semakin tinggi, debu semakin tinggi
pula mengepul ke udara terhempas jejakan kaki. Tanjakan akan semakin curam
setelah setengah perjalanan antara pos 1 menuju pos 2 (Genus). Saya mulai
bertemu pendaki lain di pos bayangan (warung), mereka rombongan besar dari
jakarta dan depok. Mereka menawari saya minuman, dan mengajak saya bergabung.
Tapi seperti niatan awal, bahwa saya ingin sendiri. Tanpa harus menolak ajakan
mereka, saya melanjutkan perjalanan dan berkata pada mereka “nanti ketemu
lagi”. Sebenarnya saya sangat menghindari pertanyaan seperti “berapa orang
mas?, mana rombongannya?, sendirian?” dan pertanyaan sejenis. Karena saya
sedikit berat untuk menjawab bahwa saya sendirian, saya kurang percaya diri
untuk menjawab. Ada sebuah tekanan terhadap mental saya di titik itu, karena
biasanya orang-orang itu akan menganggap saya hebat, kuat, berani, nekat dan
sejenisnya. Kenyataan sesungguhnya saya tidak memiliki kapasitas seperti yang
mereka katakan, saya sama seperti mereka, hanya saja saya melakukannya sendir.
Melanjutkan
langkah, tanjakan demi tanjakan yang lumayan menguras tenaga saya lalui, dan
tepat pukul 15:25 saya sampai di pos 2. Di pos 2 terdapat dataran yang dapat
menampung beberapa tenda saja, cukup aman dari badai dan nyaman di siang hari
karena terlindungi pepohonan. Selain saya ada 3 pendaki, rombongan dari Depok
yang masih menunggu temannya. Saya beristirahat sejenak dan sedikit obrolan
dengan mereka, saya lantas melanjutkan perjalanan menuju pos 3 (Seduplak Roto).
Untuk menuju pos 3 saya harus melewati trek legendarisnya gunung Sumbing yaitu
Engkol-Engkolan. Dan setelah melihat tanjakan itu di depan mata, saya langsung
berpikir bahwa trek ini tidak mudah. Karena fisik lumayan lemah, mental saya
sedikit goyah. Tapi saya terus meyakinkan diri bahwa trek ini bukan apa-apa,
saya pasti bisa melewatinya. Dan secara tiba-tiba kaki saya melangkah tanpa
perintah, terseok, malangkah lagi, jatuh, bangkit lagi. Terus dan terus, saya
merasakan sebuah keseruan sebuah petualangan. Tidak banyak pendaki yang saya temui
sore itu, hanya beberapa pendaki dan kami berjarak lumayan jauh. Tidak ada yang
bisa saya ikuti langkahnya, saya hanya mencari jalur secara naluri. Karena di
tanjakan Engkol-engkolan sangat banyak percabangan (jalan air yang menjadi
trek), maka pintar-pintarlah memilih jalur yang lebih mudah dan aman, meski
pada kenyataannya tidak ada yang mudah.
Jika
pihak basecamp atau pengelola menyediakan beberapa tali webbing di jalur ini,
tentu akan sangat membantu pendaki. Selain untuk berpegangan, juga dapat menjadi
penanda jalur trekking yang lebih aman. Jujur saja saya sulit melangkah dengan
pijakan yang licin karena debu tanah pasir, tanpa akar atau pohon untuk
berpegangan. Belum lagi beban yang saya bawa lumayan banyak, membuat setengah
badan ke atas seperti tertarik grafitasi. Satu-satunya penghibur hati sore itu
adalah kabut yang menghantam lereng-bukit tepat dibelakang saya ketika saya
menoleh. Dan ketika langkah terasa sangat berat, saya pasti akan berbalik badan
dan menikmatinya sembari berharap dia tidak menabrak saya, kemudian meredupkan jarak pandang. Harapan saya
terkabul, karena pukul 16:20 saya tiba di pos 3 tanpa terserang kabut tebal
itu, meski lamat-lamat kabut tipis menyelimuti dan dinginnya Sumbing sudah mulai
saya rasakan. Di pos 3 terdapat dataran sebagai camp area, beberapa tenda sudah
berdiri di pos 3. Saya hanya berhenti sejenak kemudian melanjutkan langkah
menuju Pestan, cukup 20 menit untuk sampai di Pestan I (Bawah).
Kabut
semakin menebal sore itu pukul 16:40, karena masih banyak lahan kosong untuk
mendirikan tenda, saya tidak melanjutkan langkah menuju Pestan II (Atas) yang
merupakan batas vegetasi. Akhirnya saya mendirikan tenda di Pestan I yang sore
itu cukup ramai. Belasan tenda sudah berdiri, puluhan orang asik menikmati
kabut dan matahari senja yang redup mempesona. Setelah selesai mendirikan tenda
dan menatanya, saya pun turut berbaur dengan mereka para pendaki yang
sangat-sangat bersahabat. Berbagi cerita, bertukar gelas kopi sampai akhirnya
matahari benar-benar tenggelam tertelan kabut. Saya kembali ke tenda dan mulai
masak untuk makan malam. Cuaca malam hari cukup bersahabat meski tidak tampak
bintang, hanya sedikit angin yang membawa kabut membasahi flysheet tenda. Tidak
banyak orang yang keluar tenda, karena hembusan angin membuat dingin lebih
menusuk-menusuk. Saya pun hanya berkutat di sekitaran tenda, tidak ada pendaki
lain yang dapat saya ajak bicara, meski lamat-lamat saya mendengar banyak dari
mereka yang belum tidur dan masih ngobrol di dalam tenda.
03:00
saya sudah terbangun karena kedinginan, ingin melanjutkan tidur tapi sangat
sulit. Akhirnya saya membuat sarapan dan minuman hangat sembari membereskan
kantung tidur dan matras. Kadang-kadang angin cukup kencang, beberapa pendaki
sudah mulai bergegas untuk summit. Setelah sarapan dan menyiapkan perbekalan,
pukul 03:45 saya sudah berdiri di luar tenda untuk summit attack. Tidak ada
seorang pendaki pun yang saya lihat, dan saya harus meyakinkan diri dan
menguatkan mental agar saya tidak goyah saat melangkah. Saya melangkah diiringi
doa dalam hati, berharap perjalanan ini dapat sesuai rencana. Sekitar 10 menit
kemudian saya sudah berada di Pestan Atas, hanya ada 2 buah tenda di sana dekat
dengan warung. Saya terus melangkah karena menuju pos 4 (Pasar Watu). Vegetasi
yang terbuka dan trek tanah pasir berbatu mendominasi. Saya melihat 4 orang
pendaki menuju pos 4, tidak lama saya menyusul mereka dan kesunyian kembali
menyelimuti sampai saya tiba di Pasar Watu tepat Adzan Subuh yang masih dapat
saya dengar pukul 04:30. Saya pun beristirahat di sebuah batu, menikmati hening,
lampu-lampu kota dikejauhan dan segarnya udara pagi yang dingin. Tepat
dihadapan saya adalah dinding batu yang tertutup kabut, dan batu-batu besar
yang tersebar di arena pos 4. Pantas saja jika diberi nama Pasar Watu (Pasar
Batu).
Setelah
cukup beristirahat, saya melanjutkan perjalanan menuju pos V (Watu Kotak).
Mengikuti gambar pada peta, dari Pasar Watu saya harus mengambil arah kiri,
mengikuti trek di sisian tebing batu karena jika berjalan lurus akan mentok
pada dinding batu yang menyerupai bukit kecil. Saya berjalan mengikuti peta dan
penanda arah yang ada, tapi sekitar beberapa menit perjalanan saya dihadapkan
pada dinding batu besar yang agak berlubang mirip sebuah goa. Panik tidak bisa
saya hindari, pikiran kalut dan mental saya lumayan jatuh karena saya merasa
jika saya tersesat. Tidak sempat berpikir panjang, saya berbalik badan dan
melompat-lompat menuruni trek berbatu yang mengantarkan saya pada dinding batu itu.
Sempat teringat metode STOP (Seating, Think, Observation, Planning), tapi saya
tidak bisa melakukannya karena saya tidak bisa tenang untuk berpikir jernih.
Sebaliknya situasi terasa mencekam, dengan jarak pandang yang terbatas karena
kabut saya terus melangkah turun dan berniat kembali ke Pasar Watu menunggu
terang. Beberapa saat saya terdiam dan melihat sekitar, akhirnya saya menemukan
trek untuk kembali ke Pasar Watu. Ketika saya ingin kembali, ternyata jalur
menuju Watu Kotak hanya lurus saja, sedangkan sebelumnya saya belok ke kanan
dan naik ke atas (dinding batu).
Mental
kembali terisi, saya melanjutkan langkah menaiki tanjakan-tanjakan sempit
selama beberapa menit sebelum akhirnya bertemu beberapa pendaki yang sedang
beristirahat sebelum Pasar Watu. Tepat pukul 05:00 saya sampai di pos 5 Watu
Kotak, ada 2 buah tenda berdiri disana. Cukup eksklusif, tapi bagi saya tempat
ini kurang aman karena tenda tepat di bawah dinding batu. Namun bagi penyuka
tantangan, spot ini bisa di jadikan alternatif untuk mendirikan tenda, lebih
sunyi dan lebih greget. Tentu harus mendaki lebih awal jika kalian berencana
mendirikan tenda di Watu Kotak, karena jika terlambat kalian harus kembali
turun ke Pestan yang pastinya akan sangat melelahkan dan menghabiskan banyak
waktu.
Tidak
lama di Watu Kotak saya langsung melanjutkan langkah menuju Tanah Putih (Pos 6)
melalui trek yang bervariasi. Terdapat beberapa trek landai, tapi tidak lama
trek kembali menanjak dan menajak selama 45 menit. Ketika pijakan kontur tanah berubah warna menjadi putih artinya kita
sudah berada di area Tanah Putih. Dari sini kita akan menemukan sebuah
persimpangan atau lebih tepatnya banyak jalur percabangan untuk menuju puncak.
Jalur utama ke arah kanan menuju puncak Kawah dan puncak Rajawali dan ke kiri
menuju puncak Buntu dan puncak Cakrawala yang berupa batu besar dengan bentuk
mirip kepala singa. Saya memilih jalur kanan menuju puncak Rajawali, melalui
jalur yang lebih terjal dan akan ke puncak lainnya setelahnya. Kurang lebih 30
menit dari Tanah Putih saya menemukan trek yang lumayan landai, yang
disekitarnya adalah puncak-puncak bayangan. Ya, sangat banyak punggungan bukit
karang yang menyerupai puncak-puncak kecil. Saya terus melangkah menuju puncak
Rajawali yang sudah semakin dekat.
Matahari
sudah semakin menampakan sinarnya, menikmati Sindoro pagi itu seorang diri dan
karena saking takjubnya saya hampir terlena memandanginya, sehingga lupa saya
ingin menggapai puncak tertinggi gunung Sumbing. Akhirnya saya bergegas menuju
puncak melewati dinding-dinding bebatuan, sampai akhirnya saya bertemu dengan
dua orang pendaki yang sedang kebingungan karena harus memanjat dinding batu
tanpa selembar tali webbing ataupun peralatan climbing lainnya. Kami pun
mencari alternatif untuk mencari jalan lain, tapi tidak membuahkan hasil. Tidak
ingin menyerah, salah satu dari pendaki itu nekat memanjat tebing tanpa tali.
Setelah dia berhasil dan memastikan bahwa tebing itu bisa dipanjat, satu
pendaki lain menyusul. Terakhir giliran saya yang harus memanjat, dengan instruksi
yang diberikan kedua pendaki tadi. Mereka menuntun saya, dimana saya harus
berpijak, dimana tangan harus berpegangan. Setahan demi setahan, saya berhasil
memanjat punggungan bukit itu. Ini adalah hal terekstrim yang pernah saya
lakukan, dan saya terus-terusan bersyukur setelah berhasil memanjatnya. Karena
sedikit pun kesalahan, terpeleset atau salah dalam melangkah saya akan jatuh ke
jurang, ke dalam kaldera gunung Sumbing di bawah sana yang berjarak ratusan
meter.
Saya
lupa nama dari puncak bukit itu, yang saya ingat ada sebuah petilasan seperti
makan di puncaknya. Disana kami bertemu dengan 3 pendaki lain yang sedang
istirahat, memasak air dan berbagi kopi dengan kami. Dan yang membuat saya
sedikit menyesal adalah, bahwa kami bertiga tidak seharusnya memanjat tebing.
Trek sebenarnya berada di sebelah kanan sisian bukit, jalurnya mengitari bibir
tebing. Meski cukup berbahaya tapi tidak seekstrim jika harus memanjat dinding
batu tadi. Anehnya kami bertiga tidak menyangka bahwa itu adalah jalur yang
seharusnya kami lalui, saya pun mengira itu adalah jalan buntu dan satu-satunya
kemungkinan yang ada adalah memanjat. Setelah menghabiskan kopi, kami ber 6
harus menuruni bukit kecil itu menggunakan tali webbing, mungkin sekitar 10
meter. Satu persatu dari kami turun dengan tali itu, kemudian melewati jalur
landai yang cekung sepanjang beberapa puluh meter, akhirnya sampailah pada
tanjakan terakhir menuju puncak Rajawali yang dapat ditempuh tidak lebih dari
15 menit. Tanjakan cukup terjal tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan saat
saya harus memanjat dinding batu tadi. Saya sangat bersemangat dalam melangkah,
dan akhirnya saya dapat menginjakan kedua kaki ini di puncak Rajawali, puncak
tertinggi gunung Sumbing dengan ketinggian 3371 Mdpl. Rasa syukur, haru, kegembiraan
dan berbagai macam rasa bercampur di pagi yang cerah itu. Saya berhasil
menaklukan diri sendiri, membunuh ketakutan dan melawan segala kecemasan yang
terus menerus menghantui sepanjang perjalanan.
Dari
puncak Rajawali saya dapat melihat hampir seluruh gugusan gunung di Jawa
Tengah, bahkan gunung Slamet pun terlihat mungil dikejauhan. Sekitar 1 jam saya
bersantai di puncak Rajawali, menikmati segala celah yang dapat tertangkap oleh
mata. Adapun puncak lain dari gunung Sumbing adalah puncak Sejati, yang
biasanya ditempuh melalui jalur Kaliangkrik. Banyak yang mengira jika puncak
Sejati adalah titik tertinggi gunung Sumbing. Tapi saya sempat mendapat info
jika dihitung dengan Altimeter, puncak Sejati memiliki ketinggian 3301 Mdpl.
Artinya titik tertinggi gunung sumbing adalah puncak Rajawali yang notabene
akan lebih mudah ditempuh melalui jalur Banaran. Sedangkan jika mendaki melalui
jalur Garung, puncak terdekat yang dapat dicapai adalah puncak Buntu dan puncak
Cakrawala atau puncak Kawah. Terlalu banyak puncak dan banyak nama memang, tetapi
hal ini menjadi keasyikan tersendiri dan membuat saya tidak puas jika hanya
menginjakan kaki di satu puncak saja.
Setelah
cukup dengan puncak Rajawali, saya pun turun melewati bukit-bukit yang membuat
saya hampir kapok bermain-main dengan tebing batu. Perjalanan saat kembali
lebih mudah dan lebih tenang, meski saya kembali seorang diri karena sudah
berpisah dengan kawan-kawan tadi. Tidak butuh waktu lama, saya sudah
menginjakan kaki di puncak Cakrawala dan kemudian puncak Buntu. Ingin rasanya
turun ke kaldera gunung Sumbing dan menaiki bebukitan untuk mencapai puncak
Sejati, tapi ketika saya melihat jam ternyata sudah pukul 10:00, matahari sudah
sangat panas membakar kulit. Saya harus segera turun, dan benar saja sepanjang
perjalanan saya benar-benar lelah karena harus berjalan di bawah sinar matahari
langsung. Perjalanan turun bagi saya seperti membaca ulang kenangan saat saya
mengatur langkah untuk mendakinya saat gelap. Suasana terasan berbeda, lebih
luas dan lebih bisa menikmatinya. Dan, singkat cerita saya pulang dengan
selamat dalam keadaan sehat. Kemudian mempersiapkan diri untuk melanjutkan solo
hiking ke gunung Sindoro keesokan harinya. [Pandu
Hidayat, 11-12 Agustus 2018]