Monday, November 5, 2018

Solo Hiking: Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng



 Benar perkataan banyak orang, bahwa mendaki gunung itu candu. Tapi percayalah, bahwa mendaki gunung bersama tim kadar candunya tidak sebesar saat kalian melakukan pendakian seorang diri (solo hiking). Setelah menyelesaikan solo hiking pertama ke gunung Merbabu dan dihajar badai di gunung Andong, saya melanjutkan pendakian ke gunung Prau yang berada di dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Prau menjadi pilihan kedua untuk solo hiking, gunung yang sangat populer ini membuat saya penasaran dengan predikat golden sunrise terindahnya, meski tujuan utama saya bukan untuk mengejar sunrise. Tanpa ragu saya meluncur menuju dataran tinggi Dieng menggunakan sepeda motor dari Jogja. Sekitar 100 Km jarak yang harus saya tempuh selama 3 jam perjalanan.
Singkat cerita, sore hari pukul 14:45 saya sudah berada di basecamp Patak Banteng. Dari beberapa jalur pendakian gunung Prau, Patakbanteng adalah jalur favorit bagi para pendaki, karena waktu tempuh pendakian yang singkat dan jalur yang terjal terasa lebuh efisien dari segi waktu sekaligus menantang untuk didaki. Selain hal itu, lokasi basecamp Patak Banteng adalah basecamp dengan waktu tempuh tercepat yang bisa saya jangkau dari Jogja. Suasana di luar basecamp biasa saja, tidak seramai yang saya bayangkan. Hanya beberapa pendaki terlihat sedang duduk-duduk di warung makan. Saya lantas memarkir motor dan langsung masuk ke dalam basecamp untuk mengurus ijin pendakian. Ternyata basecamp penuh dengan para pendaki, bahkan saya tidak kebagian tempat untuk sekedar beristirahat sejenak. Menurut informasi dari pihak basecamp, mereka  adalah para pendaki yang baru turun. Sedangkan yang akan naik sore ini hanya ada 2 rombongan. Rombongan dari Jakarta yang berjumlah 6 orang, dan 6 orang lainnya adalah rombongan dari Solo. Kabar ini membuat saya senang, karena tidak perlu mengalami situasi puncak gunung yang riuh seperti pasar.
Terlihat tim dari Solo memulai pendakian pukul 15:00, beberapa menit kemudian rombongan Jakarta menyusul. Saya masih berada di warung makan, membungkus nasi untuk bekal makan malam nanti. Setelah semua perbekalan sudah siap, pukul 15:15 saya melangkah meninggalkan basecamp, memulai pendakian. Perjalanan awal saya harus menyusuri pemukiman, menaiki anak-anak tangga dan masuk ke perkebunan warga. Di sini saya bertemu dengan rombongan Jakarta, yang sepertinya sudah kesulitan mengatur napas diawal pendakian, maklum rata-rata dari mereka perempuan dan mungkin kurang olahraga. Saat mengetahui saya hanya seorang diri, mereka pun menawarkan untuk bergabung. Tapi tujuan saya adalah ingin sendiri, selain melihat kondisi mereka yang sepertinya berjalan akan sangat lambat. Target saya mencapai puncak sebelum gelap akan gagal jika saya bergabung. Saya hanya berkata, bahwa saya akan naik duluan dan akan bertemu di atas. Saya pun melanjutkan langkah menembus kabut tipis yang menyelimuti kaki gunung.
Setelah beberapa saat melewati jalan tanah di antara perkebunan, trek berubah menjadi jalanan berbatu yang cukup lebar menuju pos 1 Sikut Dewo. Cukup 20 menit perjalanan dari basecamp untuk sampai di pos 1. Dari pos 1 trek berubah kembali menjadi setapak tanah dengan kanan kiri perkebunan warga. Saya bertemu dengan rombongan Mapala dari Solo, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Lagi-lagi mereka menawari saya untuk bergabung, mungkin karena iba haha. Saya hanya berkata pada mereka, saya akan melangkah pelan dan nanti pasti akan jumpa di atas. Saat mereka masih asik istirahat, saya melanjutkan langkah menuju pos 2 melewati beberapa warung yang tutup sore itu diantara perkebunan jalur pendakian yang berubah sunyi saat memasuki hutan pinus. Jika kita menoleh ke sekitar kita akan menyaksikan pemandangan indah di bawah sana, terasering yang khas dataran tinggi Dieng menjadi obat saat lelah mulai merajai tubuh. Sayangnya semakin tinggi saya menapak, kabut semakin menebal.
Akhirnya saya sudah tiba di pos 2 Canggal Walangan pukul 15:55. Artinya, hanya 20 menit perjalanan dari pos 1. Saya masih bisa melihat pemandangan di sekitar jalur pendakian pada cela-cela kabut sore itu, sedangkan di sudut lain saya dihadapkan pada tanjakan terjal yang di dominasi akar pohon pinus. Tanjakan ini seperti ikon dari jalur pendakian gunung Prau via Patak Banteng. Bagi saya akar-akar ini sangat membatu para pendaki untuk berpijak, mengingat tebalnya debu saat sedang musim kemarau, membuat langkah menjadi sulit karena mudah tergelincir. Seperti tidak ada habisnya tanjakan ini, perlahan saya lalui setapak demi setapak. Harus ekstra hati-hati, menjaga fokus dan keseimbangan tubuh. Saya sempat bertemu dengan 3 pendaki yang turun sore itu, dan mereka bilang bahwa di atas lebih lumayan sepi dari hari sebelumnya. Kami tidak banyak mengobrol karena sepertinya mereka berjalan terburu-buru.
Tepat pukul 16:30 saya sampai di pos 3 Cacingan. Pemandangan selepas plakat pos ini membuat saya merasa benar-benar cacingan. Tanjakan semakin terjal dengan akar-akar pohon yang kian rapat, menuntut saya harus lebih berkonsentrasi, jangan sampai kaki ini tersangkut akar, akan sangat tidak lucu akibatnya. Kabut menebal, langkah melambat dan kerap kali saya berhenti mengatur napas yang mulai tersengal. Terlihat 2 pendaki di depan saya, mereka adalah Mapala dari Bantul, Yogyakarta. Kami sedikit berbincang sambil terus melangkah, susul-menyusul dan saling menyemangati. Setelah 25 menit melewati tanjakan berakar, trek berubah menjadi tanah padat dengan permukaan debu super tebal, artinya saya sudah sampai di pos 4 Plawangan. Plawangan adalah semacam gerbang masuk menuju Sunrise Camp gunung Prau jalur Patakbanteng. Setelah menemukan trek landai, tepat pukul 17:00 saya sudah menginjakan kaki di Sunrise Camp gunung Prau. Dan ternyata tidak sesunyi yang saya kira, lebih dari 20 tenda sudah berdiri.
Seperti tak terasa lelah saya mengeksplor area sekitar, menaiki dan menuruni beberapa bukit yang sering di sebut bukit Teletubies, dan kembali pada area utama untuk berkemah. Tidak ada pemandangan matahari terbenam sore itu, senja tertelan pekatnya kabut. Saya kemudian mencari lokasi untuk mendirikan tenda yang agak berjarak dengan tenda-tenda lain. Setelah mempertimbangkan angin yang lumayan kencang sore itu, akhirnya saya memilih tidak mendirikan tenda di puncak-puncak bukit, melainkan di sebuah cekungan diantara bebukitan untuk sedikit meminimalisir jika terjadi badai seperti yang saya alami di gunung Andong. Tidak perlu waktu lama, tenda saya sudah berdiri dan isi di dalam tenda tertata sesuai selera. Semua beres, saya berkeliling sebelum gelap benar-benar pekat, saya berniat mencari mereka yang bertemu saya saat pendakian. Satu persatu saya mengunjungi tenda mereka, sekedar berbincang dan kembali ke tenda saat cuaca mulai lebih dingin dari sebelumnya. Paling tidak saya sudah menepati janji untuk berjumpa lagi di atas. Sosialisai itu perlu, meski solo hiker sekalipun. Ada kalanya kita butuh orang lain, mungkin saat kita sakit atau hal buruk lainnya menimpa. Saya yakin akan butuh pertolongan orang lain. Begitu pun sebaliknya, tolonglah mereka yang sedang dalam kondisi sulit.
Setelah makan malam, sekitar pukul 20:00 Prau malam itu dingin luar biasa meski angin tidak sekencang petang tadi. Saya bergegas keluar tenda menikmati pemandangan Prau di malam hari. Lampu-lampu kota Wonosobo dan taburan bintang malam itu terasa sempurna dinikmati dari puncak-puncak bukit. Tak henti-hentinya saya berkeliling menyusuri bukit demi bukit menggunakan head-lamp. Sempat menyambangi tenda rombongan dari Solo, tapi sepertinya mereka sudah istirahat dan tenda tertutup rapat. Dan ketika saya berdiri di puncak sebuah bukit, tiba-tiba seseorang bertanya “sendiri Mas?”, setelah saya jawab dan kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama, ternyata dia juga mendaki sendirian. Namanya Irgi asal kota Batang, seperti kebetulan, akhirnya kami ngobrol banyak. Mulai tema hiking, pekerjaan dan tukar pikiran ngalor ngidul sampai pukul 22:00. Saya sempat berkata pada Agil bahwa besok tidak akan ada golden sunrise, saya mengetahuinya dari aplikasi prakiraan cuaca. Tak lama saya pamit untuk kembali ke tenda karena dingin semakin menjadi-jadi, sampai membuat tubuh saya terus menerus gemetar.
  Saya memasak air untuk membuat minuman hangat di vestibule tenda, lalu mencoba mencari keberadaan Irgi di atas bukit, tapi rupanya dia sudah pergi. Akhirnya saya menutup outer (flysheet) tenda karena sudah basah kuyup diselimuti kabut yang sedingin es, dan memilih menikmati dinginnya malam dari dalam tenda sampai pukul 11:00. Saya sudah terbungkus sleeping bag ketika suhu bertambah dingin. Entah berapa derajat suhu Prau malam itu, meski tidak sampai minus tapi dinginnya Prau melebihi dingin Merbabu yang kala itu mencapai -1 derajat celcius. Saya tidak bisa tidur nyenyak, setiap beberapa puluh menit saya pasti terbangun karena menggigil kedinginan. Waktu seolah berjalan sangat lambat menuju pagi.
Pukul 04:00 saya sudah bangun, memasak air untuk membuat oatmeal dan minuman hangat. Sleeping bag dan matras sudah saya rapikan, agar tidak lagi tergoda untuk tidur-tiduran. Setelah selesai sarapan, tepat pukul 05:00 saya membuka tenda. Ternyata dinginnya gila-gilaan, hampir saja saya berniat kembali menutup tenda yang sudah sangat-sangat basah oleh buliran-buliran embun yang mengerak. Tapi tak lama saya bergegas meninggalkan tenda, dan mengelilingi satu-persatu bukit yang ada. Tubuh mulai hangat ketika saya terus bergerak, sampai akhirnya setitik cahaya muncul di ufuk timur. Wah rupanya sunrise sudah menampakan kehadirannya pagi itu. Para pendaki sudah sibuk berdiri di puncak-puncak bukit, mencari spot terbaik untuk menikmati matahari terbit gunung Prau lantas mengabadikannya. Meski saya tahu, cuaca pagi ini tidak akan cerah, tapi saya juga ikut dalam barisan menunggu sunrise. Ternyata benar, matahari terbit diselimuti kabut tipis. Sungguh syahdu meski tidak sempurna, karena kabut tipis terus-menerus menyelimuti.
Merasa sudah cukup menikmati sunrise, saya berniat pergi menuju puncak. Sayangnya dari sekian banyak pendaki yang saya tanya, mereka tidak tahu dimana sebenarnya puncak gunung Prau. Akhirya saya melihat peta, letak puncak masih agak jauh dari sunrise camp, melewati bukit Padang Lonte Sore dan bukit Teletubies. Sekitar pukul 07:00 saya sudah berada di puncak, dan ternyata Irgi sudah berada disana sibuk mengabadikan gambar. Hanya kami berdua di puncak, sebelum 3 orang pendaki manca dan seorang guide datang bergabung. Dari puncak kita dapat menikmati punggungan perbukitan Prau, gugusan pegunungan di dataran tinggi Dieng dengan banyaknya kawah-kawah aktif yang mengepulkan asap. Sisi lain, gugusan gunung di Jawa Tengah sangat tidak mungkin untuk dilewatkan, terutama Sindoro Sumbing yang tampak seperti di depan mata. Meski diselimuti kabut, tapi terik matahari pagi itu cukup panas, dan saya memutuskan kembali ke tenda sekitar pukul 07:30.
Pukul 08:00 saya sudah berada di tenda dan memasak sisa perbekalan yang saya bawa. Setelah perut terisi saya langsung membersihkan peralatan dan kemudian packing, karena saya mendirikan tenda di area terbuka, tenda menjadi sangat panas meski kabut tak kunjung pergi dan butiran embun belum juga mencair pada flysheet. Ketika sedang membongkar tenda, terlihat hiruk pikuk para pendaki di sunrise camp, beberapa sedang berkemas untuk melanjutkan perjalanan turun, sedangkan banyak dari mereka masih terus sibuk selfie. Satu-persatu saya memperhatikan aktifitas mereka dari sudut yang berbeda, semua tampak ceria dan bahagia. Energi positif yang dapat saya tangkap pagi itu, membuat saya merasa penuh dan hangat meski saya berada disana seorang diri. Sederhana saja, tidak perlu mewah seperti Prau yang saya ketahui dari berbagai vlog.
 Satu hal yang jangan sampai dilewatkan ketika mengunjungi gunung Prau adalah hamparan bunga Daisy atau juga biasa disebut bunga Lonte Sore. Ikon dari gunung Prau. Sayangnya rerumputan dan bunga Lonte Sore sudah menguning sebagian, tapi di beberapa spot tumbuh sangat subur, mekar berwarna-warni. Waktu yang paling tepat mengunjungi gunung Prau adalah setelah berakhirnya musim penghujan, sebelum kemarau yang berkepanjangan. Selain bunga Daisy yang tumbuh serentak, bukit Teletubies pun berwarna hijau menyejukan mata. Ya semoga saja saya bisa menginjakan kaki lagi di bukit-bukit gunung Prau ketika musim subur tiba. Menikmatinya bersama teman, keluarga atau mungkin kembali lagi seorang diri. [Pandu Hidayat, 7-8 Agustus 2018]