Benar
perkataan banyak orang, bahwa mendaki gunung itu candu. Tapi percayalah, bahwa mendaki
gunung bersama tim kadar candunya tidak sebesar saat kalian melakukan pendakian
seorang diri (solo hiking). Setelah menyelesaikan solo hiking pertama ke gunung
Merbabu dan dihajar badai di gunung Andong, saya melanjutkan pendakian ke
gunung Prau yang berada di dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Prau menjadi pilihan
kedua untuk solo hiking, gunung yang sangat populer ini membuat saya penasaran
dengan predikat golden sunrise terindahnya, meski tujuan utama saya bukan untuk
mengejar sunrise. Tanpa ragu saya meluncur menuju dataran tinggi Dieng
menggunakan sepeda motor dari Jogja. Sekitar 100 Km jarak yang harus saya
tempuh selama 3 jam perjalanan.
Singkat
cerita, sore hari pukul 14:45 saya sudah berada di basecamp Patak Banteng. Dari
beberapa jalur pendakian gunung Prau, Patakbanteng adalah jalur favorit bagi
para pendaki, karena waktu tempuh pendakian yang singkat dan jalur yang terjal
terasa lebuh efisien dari segi waktu sekaligus menantang untuk didaki. Selain
hal itu, lokasi basecamp Patak Banteng adalah basecamp dengan waktu tempuh tercepat
yang bisa saya jangkau dari Jogja. Suasana di luar basecamp biasa saja, tidak
seramai yang saya bayangkan. Hanya beberapa pendaki terlihat sedang duduk-duduk
di warung makan. Saya lantas memarkir motor dan langsung masuk ke dalam
basecamp untuk mengurus ijin pendakian. Ternyata basecamp penuh dengan para
pendaki, bahkan saya tidak kebagian tempat untuk sekedar beristirahat sejenak.
Menurut informasi dari pihak basecamp, mereka
adalah para pendaki yang baru turun. Sedangkan yang akan naik sore ini hanya
ada 2 rombongan. Rombongan dari Jakarta yang berjumlah 6 orang, dan 6 orang
lainnya adalah rombongan dari Solo. Kabar ini membuat saya senang, karena tidak
perlu mengalami situasi puncak gunung yang riuh seperti pasar.
Terlihat
tim dari Solo memulai pendakian pukul 15:00, beberapa menit kemudian rombongan
Jakarta menyusul. Saya masih berada di warung makan, membungkus nasi untuk
bekal makan malam nanti. Setelah semua perbekalan sudah siap, pukul 15:15 saya
melangkah meninggalkan basecamp, memulai pendakian. Perjalanan awal saya harus
menyusuri pemukiman, menaiki anak-anak tangga dan masuk ke perkebunan warga. Di
sini saya bertemu dengan rombongan Jakarta, yang sepertinya sudah kesulitan
mengatur napas diawal pendakian, maklum rata-rata dari mereka perempuan dan
mungkin kurang olahraga. Saat mengetahui saya hanya seorang diri, mereka pun
menawarkan untuk bergabung. Tapi tujuan saya adalah ingin sendiri, selain
melihat kondisi mereka yang sepertinya berjalan akan sangat lambat. Target saya
mencapai puncak sebelum gelap akan gagal jika saya bergabung. Saya hanya
berkata, bahwa saya akan naik duluan dan akan bertemu di atas. Saya pun
melanjutkan langkah menembus kabut tipis yang menyelimuti kaki gunung.
Setelah
beberapa saat melewati jalan tanah di antara perkebunan, trek berubah menjadi
jalanan berbatu yang cukup lebar menuju pos 1 Sikut Dewo. Cukup 20 menit perjalanan
dari basecamp untuk sampai di pos 1. Dari pos 1 trek berubah kembali menjadi
setapak tanah dengan kanan kiri perkebunan warga. Saya bertemu dengan rombongan
Mapala dari Solo, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Lagi-lagi mereka menawari saya
untuk bergabung, mungkin karena iba haha. Saya hanya berkata pada mereka, saya
akan melangkah pelan dan nanti pasti akan jumpa di atas. Saat mereka masih asik
istirahat, saya melanjutkan langkah menuju pos 2 melewati beberapa warung yang
tutup sore itu diantara perkebunan jalur pendakian yang berubah sunyi saat
memasuki hutan pinus. Jika kita menoleh ke sekitar kita akan menyaksikan
pemandangan indah di bawah sana, terasering yang khas dataran tinggi Dieng
menjadi obat saat lelah mulai merajai tubuh. Sayangnya semakin tinggi saya
menapak, kabut semakin menebal.
Akhirnya
saya sudah tiba di pos 2 Canggal Walangan pukul 15:55. Artinya, hanya 20 menit
perjalanan dari pos 1. Saya masih bisa melihat pemandangan di sekitar jalur
pendakian pada cela-cela kabut sore itu, sedangkan di sudut lain saya
dihadapkan pada tanjakan terjal yang di dominasi akar pohon pinus. Tanjakan ini
seperti ikon dari jalur pendakian gunung Prau via Patak Banteng. Bagi saya
akar-akar ini sangat membatu para pendaki untuk berpijak, mengingat tebalnya debu
saat sedang musim kemarau, membuat langkah menjadi sulit karena mudah
tergelincir. Seperti tidak ada habisnya tanjakan ini, perlahan saya lalui
setapak demi setapak. Harus ekstra hati-hati, menjaga fokus dan keseimbangan
tubuh. Saya sempat bertemu dengan 3 pendaki yang turun sore itu, dan mereka
bilang bahwa di atas lebih lumayan sepi dari hari sebelumnya. Kami tidak banyak
mengobrol karena sepertinya mereka berjalan terburu-buru.
Tepat
pukul 16:30 saya sampai di pos 3 Cacingan. Pemandangan selepas plakat pos ini
membuat saya merasa benar-benar cacingan. Tanjakan semakin terjal dengan
akar-akar pohon yang kian rapat, menuntut saya harus lebih berkonsentrasi,
jangan sampai kaki ini tersangkut akar, akan sangat tidak lucu akibatnya. Kabut
menebal, langkah melambat dan kerap kali saya berhenti mengatur napas yang
mulai tersengal. Terlihat 2 pendaki di depan saya, mereka adalah Mapala dari
Bantul, Yogyakarta. Kami sedikit berbincang sambil terus melangkah,
susul-menyusul dan saling menyemangati. Setelah 25 menit melewati tanjakan
berakar, trek berubah menjadi tanah padat dengan permukaan debu super tebal,
artinya saya sudah sampai di pos 4 Plawangan. Plawangan adalah semacam gerbang
masuk menuju Sunrise Camp gunung Prau jalur Patakbanteng. Setelah menemukan
trek landai, tepat pukul 17:00 saya sudah menginjakan kaki di Sunrise Camp
gunung Prau. Dan ternyata tidak sesunyi yang saya kira, lebih dari 20 tenda
sudah berdiri.
Seperti
tak terasa lelah saya mengeksplor area sekitar, menaiki dan menuruni beberapa bukit
yang sering di sebut bukit Teletubies, dan kembali pada area utama untuk
berkemah. Tidak ada pemandangan matahari terbenam sore itu, senja tertelan
pekatnya kabut. Saya kemudian mencari lokasi untuk mendirikan tenda yang agak
berjarak dengan tenda-tenda lain. Setelah mempertimbangkan angin yang lumayan
kencang sore itu, akhirnya saya memilih tidak mendirikan tenda di puncak-puncak
bukit, melainkan di sebuah cekungan diantara bebukitan untuk sedikit
meminimalisir jika terjadi badai seperti yang saya alami di gunung Andong.
Tidak perlu waktu lama, tenda saya sudah berdiri dan isi di dalam tenda tertata
sesuai selera. Semua beres, saya berkeliling sebelum gelap benar-benar pekat,
saya berniat mencari mereka yang bertemu saya saat pendakian. Satu persatu saya
mengunjungi tenda mereka, sekedar berbincang dan kembali ke tenda saat cuaca
mulai lebih dingin dari sebelumnya. Paling tidak saya sudah menepati janji
untuk berjumpa lagi di atas. Sosialisai itu perlu, meski solo hiker sekalipun.
Ada kalanya kita butuh orang lain, mungkin saat kita sakit atau hal buruk
lainnya menimpa. Saya yakin akan butuh pertolongan orang lain. Begitu pun
sebaliknya, tolonglah mereka yang sedang dalam kondisi sulit.
Setelah
makan malam, sekitar pukul 20:00 Prau malam itu dingin luar biasa meski angin
tidak sekencang petang tadi. Saya bergegas keluar tenda menikmati pemandangan
Prau di malam hari. Lampu-lampu kota Wonosobo dan taburan bintang malam itu
terasa sempurna dinikmati dari puncak-puncak bukit. Tak henti-hentinya saya
berkeliling menyusuri bukit demi bukit menggunakan head-lamp. Sempat
menyambangi tenda rombongan dari Solo, tapi sepertinya mereka sudah istirahat
dan tenda tertutup rapat. Dan ketika saya berdiri di puncak sebuah bukit,
tiba-tiba seseorang bertanya “sendiri Mas?”, setelah saya jawab dan kembali
bertanya dengan pertanyaan yang sama, ternyata dia juga mendaki sendirian. Namanya
Irgi asal kota Batang, seperti kebetulan, akhirnya kami ngobrol banyak. Mulai
tema hiking, pekerjaan dan tukar pikiran ngalor ngidul sampai pukul 22:00. Saya
sempat berkata pada Agil bahwa besok tidak akan ada golden sunrise, saya
mengetahuinya dari aplikasi prakiraan cuaca. Tak lama saya pamit untuk kembali
ke tenda karena dingin semakin menjadi-jadi, sampai membuat tubuh saya terus
menerus gemetar.
Saya memasak air untuk membuat minuman hangat
di vestibule tenda, lalu mencoba mencari keberadaan Irgi di atas bukit, tapi
rupanya dia sudah pergi. Akhirnya saya menutup outer (flysheet) tenda karena
sudah basah kuyup diselimuti kabut yang sedingin es, dan memilih menikmati
dinginnya malam dari dalam tenda sampai pukul 11:00. Saya sudah terbungkus sleeping
bag ketika suhu bertambah dingin. Entah berapa derajat suhu Prau malam itu,
meski tidak sampai minus tapi dinginnya Prau melebihi dingin Merbabu yang kala
itu mencapai -1 derajat celcius. Saya tidak bisa tidur nyenyak, setiap beberapa
puluh menit saya pasti terbangun karena menggigil kedinginan. Waktu seolah
berjalan sangat lambat menuju pagi.
Pukul
04:00 saya sudah bangun, memasak air untuk membuat oatmeal dan minuman hangat.
Sleeping bag dan matras sudah saya rapikan, agar tidak lagi tergoda untuk
tidur-tiduran. Setelah selesai sarapan, tepat pukul 05:00 saya membuka tenda.
Ternyata dinginnya gila-gilaan, hampir saja saya berniat kembali menutup tenda
yang sudah sangat-sangat basah oleh buliran-buliran embun yang mengerak. Tapi
tak lama saya bergegas meninggalkan tenda, dan mengelilingi satu-persatu bukit
yang ada. Tubuh mulai hangat ketika saya terus bergerak, sampai akhirnya
setitik cahaya muncul di ufuk timur. Wah rupanya sunrise sudah menampakan
kehadirannya pagi itu. Para pendaki sudah sibuk berdiri di puncak-puncak bukit,
mencari spot terbaik untuk menikmati matahari terbit gunung Prau lantas
mengabadikannya. Meski saya tahu, cuaca pagi ini tidak akan cerah, tapi saya
juga ikut dalam barisan menunggu sunrise. Ternyata benar, matahari terbit
diselimuti kabut tipis. Sungguh syahdu meski tidak sempurna, karena kabut tipis
terus-menerus menyelimuti.
Merasa
sudah cukup menikmati sunrise, saya berniat pergi menuju puncak. Sayangnya dari
sekian banyak pendaki yang saya tanya, mereka tidak tahu dimana sebenarnya
puncak gunung Prau. Akhirya saya melihat peta, letak puncak masih agak jauh
dari sunrise camp, melewati bukit Padang Lonte Sore dan bukit Teletubies.
Sekitar pukul 07:00 saya sudah berada di puncak, dan ternyata Irgi sudah berada
disana sibuk mengabadikan gambar. Hanya kami berdua di puncak, sebelum 3 orang
pendaki manca dan seorang guide datang bergabung. Dari puncak kita dapat
menikmati punggungan perbukitan Prau, gugusan pegunungan di dataran tinggi
Dieng dengan banyaknya kawah-kawah aktif yang mengepulkan asap. Sisi lain,
gugusan gunung di Jawa Tengah sangat tidak mungkin untuk dilewatkan, terutama
Sindoro Sumbing yang tampak seperti di depan mata. Meski diselimuti kabut, tapi
terik matahari pagi itu cukup panas, dan saya memutuskan kembali ke tenda
sekitar pukul 07:30.
Pukul
08:00 saya sudah berada di tenda dan memasak sisa perbekalan yang saya bawa. Setelah
perut terisi saya langsung membersihkan peralatan dan kemudian packing, karena
saya mendirikan tenda di area terbuka, tenda menjadi sangat panas meski kabut
tak kunjung pergi dan butiran embun belum juga mencair pada flysheet. Ketika
sedang membongkar tenda, terlihat hiruk pikuk para pendaki di sunrise camp,
beberapa sedang berkemas untuk melanjutkan perjalanan turun, sedangkan banyak
dari mereka masih terus sibuk selfie. Satu-persatu saya memperhatikan aktifitas
mereka dari sudut yang berbeda, semua tampak ceria dan bahagia. Energi positif
yang dapat saya tangkap pagi itu, membuat saya merasa penuh dan hangat meski
saya berada disana seorang diri. Sederhana saja, tidak perlu mewah seperti Prau
yang saya ketahui dari berbagai vlog.
Satu
hal yang jangan sampai dilewatkan ketika mengunjungi gunung Prau adalah
hamparan bunga Daisy atau juga biasa disebut bunga Lonte Sore. Ikon dari gunung
Prau. Sayangnya rerumputan dan bunga Lonte Sore sudah menguning sebagian, tapi
di beberapa spot tumbuh sangat subur, mekar berwarna-warni. Waktu yang paling
tepat mengunjungi gunung Prau adalah setelah berakhirnya musim penghujan,
sebelum kemarau yang berkepanjangan. Selain bunga Daisy yang tumbuh serentak,
bukit Teletubies pun berwarna hijau menyejukan mata. Ya semoga saja saya bisa
menginjakan kaki lagi di bukit-bukit gunung Prau ketika musim subur tiba.
Menikmatinya bersama teman, keluarga atau mungkin kembali lagi seorang diri. [Pandu Hidayat, 7-8 Agustus 2018]