“Mas, 1 jam lagi di jemput”,
saya mendapat pesan dari Dyas, adik sepupu saya.
Pukul 21:00 Dyas datang
menjemput menggunakan mobil. Tidak lama kami langsung berangkat, tapi kita mau
kemana? Masih bingung. Rencananya malam itu kami akan pergi camping, tapi masih
belum memutuskan lokasi. Pilihan kami ada dua, antara gunung Andong di Magelang
dan Gumuk Pasir di pesisir pantai selatan Jogja. Setelah berunding akhirnya
kami sepakat akan camping di gunung Andong, mengingat kondisi pantai selatan
sedang sering terserang badai mengerikan. Akhirnya kami menghubungi pihak
basecamp gunung Andong jalur Sawit untuk mencari info. Dan dari informasi yang
didapat, kami bisa mendaki malam ini.
21:30 kami berangkat menuju
gunung Andong dari Jogja, tugas saya
menjadi navigator alias melihat GPS. Kami pun melesat di jalan Magelang –
Jogja. Sampai di sebuah persimpangan setelah kota Muntilan, kami harus belok ke
arah kanan. Disana kami berhenti di sebuah warung untuk membeli perbekalan yang
masih kurang. Dari persimpangan ini jalan mengecil dan sangat-sangat sepi, kami
hanya mengandalkan GPS, dan jika tersesat kami tidak tahu harus bertanya pada
siapa. Selain sudah larut dan suhu cukup dingin, ternyata malam itu adalah
malam Jum’at. Orang-orang lebih memilih tetap berada di dalam rumah, tidak ada
kehidupan sepanjang jalan. Sugesti akan hal-hal surem pun terbesit dibenak saya
ketika kami melewati jalan yang sangat gelap diantara perkampungan, persawahan,
perkebun dan hutan menuju basecamp. Bukan hanya saya rupanya yang merasakan
suasana tidak bersahabat ini, sepupu saya juga merasakan hal yang sama. Tapi
kita tetap fokus melalui jalan yang berkelak-kelok, turun dan menanjak terjal.
Dan perjalanan ini lumayan panjang, sekitar 1 jam dari pertigaan tadi.
Kami tiba di basecamp
pendakian gunung Andong via Sawit tepat pukul 23:00, tanpa basa-basi saya
mengurus simaksi dan kami langsung memulai pendakian. Dari basecamp kita harus
melewati perkebunan warga melewati jalan berbatu menuju pintu gerbang
pendakian. Tidak jauh setelah melewatinya gerbang pendakian, kita memasuki
hutan pinus dan pos 1 sudah terlihat. Tidak sampai 30 menit kami berjalan dari
basecamp ke pos 1. Kami berjalan pelan dan minim istirahat, hanya berhenti minum
jika tenggorokan terasa kering. Kami sempat bertemu 2 orang pendaki yang naik
malam itu, tapi mereka berjalan sangat cepat karena tidak membawa beban berat.
Di sekitar pos 1 ada persimpangan jalan antara jalur lama dan jalur baru, tapi
pihak basecamp menganjurkan jalur kiri (jalur baru). Kami hanya menuruti
anjuran pihak basecamp dan terus melaju.
Tanjakan demi tanjakan kami
lalui, sampai melewati sebuah sungai kering, trek menjadi landai. Tibalah kami
di pos 2, cukup 30 menit. kami tidak istirahat karena perasaan saya merasa agak
aneh saat melintas di pos 2, dan sepertinya sepupu saya juga demikian. Tanjakan-tanjakan
berjarak pendek dan berkelok sudah menyambut di depan. Kami terus berjalan
pelan karena kondisi trekking malam hari selalu lebih melelahkan, terlebih
ketika kita berjalan di antara pepohonan. Cepat merasa sesak, dan harus pintar
mengatur napas. Saya yang harus membawa beban berat dan Dyas yang baru pertama
kali hiking, membuat ritme kangkah kami seimbang. Kami berhenti setiap beberapa
puluh langkah. Sampai akhirnya kami tiba di pos 3. Kami beristirahat di sebuah
gubuk yang berada di pos 3. Ada air yang mengalir dari paralon di pos 3, bisa
dimanfaatkan pendaki jika tidak membawa atau kekurangan perbekalan air.
“Mas, aku gak kuat nih.
Pusing, mau muntah” celetuk Dyas, sepertinya serius. Akhirnya saya menyuruhnya
mengatur napas dan saya mengambil alih membawa daypack yang dia bawa. Beban
saya bertambah, dan saya merasa seperti porter. Tapi saat kami melanjutkan perjalanan,
ritme kami tetap sama. Dyas sudah semakin sempoyongan berjalan menapaki
tanjakan yang semakin terjal. Saya mengikutinya pelan di belakang, dan terus
mengingatkan agar dia tetap fokus dan berhenti jika sudah tidak memungkinkan.
Sepanjang trek saya mencari-cari lokasi yang memungkinkan untuk mendirikan
tenda, tapi tak kunjung juga saya menemukannya.
Semakin tinggi, angin
semakin kencang dan kabut menebal. Kami melewati batu-batu besar, pemandangan
terbuka tapi tidak tampak apapun malam itu, karena tebalnya kabut. Saya terus
menyemangati Dyas, dan mengakatakan bahwa puncak sudah dekat. Setelah dari
batu-batu besar, melewati beberapa tanjakan kami sampai di persimpangan, arah
ke kiri menuju puncak Makam dan ke kanan menuju camp area puncak Andong. Hujan
pun tiba-tiba turun bersama angin yang sedari tadi kencang menerjang kami. Kami
melaju lebih cepat menuju camp area untuk mencari lokasi membuka tenda. Tapi
saya penasaran dengan puncak, kami lantas melewati camp area menuju puncak.
Tepat pukul 24:30 kami menginjakan kaki di puncang gunung Andong yang memiliki
ketinggian 1726 Mdpl. Ternyata ada larangan untuk mendirikan tenda di puncak,
kami pun kembali ke camp area dan membangun tenda. Beruntung hanya beberapa
menit saja.
Pukul 01:00 tenda kami sudah
berdiri menghadap gunung Merbabu yang samar-samar tampak di seberang tenda
kami. Badai pun tiba tanpa aba-aba menerjang tenda kami malam itu. Sesekali
saya melihat keluar untuk memastikan kondisi tenda baik-baik saja, debu tanah
pasir yang tebal bercampur air beterbangan memporak-porandakan beberapa tenda
pendaki malam itu. Semuanya kotor seperti telah terjadi perang lumpur, termasuk
tenda saya yang berubah warna menjadi warna tanah gunung Andong. Badai yang
terus menerus menyerang memaksa kami memasak air untuk membuat minuman hangat
di dalam tenda. Dingin luar biasa saya rasakan meski tenda saya cukup aman
untuk menahan badai. Kami hanya tidur-tidur ayam sampai subuh, karena badai
yang tidak juga usai.
Pukul 05:00 saya membuat
sarapan, berharap cuaca membaik dan dapat menikmati sunrise. Tapi cuaca tidak
berubah, angin tetap berhembus kencang meski tidak separah tadi malam. Andong
berkabut pagi itu, sedangkan sinar matahari samar-samar terpancar di sela-sela
kabut yang tebal. Kami berkeliling menyusuri setiap sudut gunung Andong, yang
tidak terlalu ramai pagi itu. Cuaca masih sangat dingin tidak bersahabat karena
angin yang masih cukup kencang. Pukul 07:30 kami memutuskan untuk packing dan
tepat pukul 08:00 kami bergerak untuk turun. Sepanjang perjalanan saat turun
kabut menyelimuti hutan pinus sampai di pos 1, indah dan segar pagi itu. Namun
setelah gerbang utama pendakian sampai ke basecamp matahari sudah mulai berani
menampakan sinarnya, redup berubah seketika menjadi cerah merona. Pukul 09:30
kami sampai di basecamp dan melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja.
Satu hal yang membuat saya
terkejut adalah ketika Dyas menceritakan apa yang di alaminya saat trekking
tadi malam. Dia mencium wewangian yang sangat kuat menyengat di sepanjang jalur
pendakian, kadang bau tak sedap, kadang wangi-wangi bunga. Dan ketika di
pertengahan hutan, beban yang dia rasakan bertambah berat, ada sesuatu yang
nemplok di punggungnya sehingga membuatnya sangat kelelahan, pusing dan ingin
muntah saat tiba di pos 3. Dyas juga mengatakan, beban yang dia gendong tetap
sama saat saya mengambil alih untuk membawa tasnya. Tapi dia selalu ingat
perkataan saya sebelum pendakian, saya berkata kepada Dyas untuk tidak menceritakan
apapun jika terjadi hal-hal aneh semacam itu, kecuali jika sudah di bawah atau
di rumah. Karena jika kita menceritakan atau membahas hal-hal demikian, hanya
akan mengganggu konsentrasi dan yang lebih parah kita tidak akan menikmati
perjalanan itu sendiri.
Setiap gunung dan hutan
pasti memiliki sisi lain di balik keindahannya, tidak bisa dipungkiri. Yakin
tidak yakin, dunia kasat mata itu ada. Hal lain yang membuat para pendaki
mendapati hal-hal demikian dikarenakan kondisi fisik yang lemah. Saat fisik
kita sudah diambang batas lelah, secara tidak sadar kita akan mudah berhalusinasi
dan hilangnya konsentrasi. Berdimensi, serasa sangat menikmati sekitar yang
membuat kita terbuai, mulailah imajinasi dan lamunan panjang. Hingga akhirnya
batas antara sadar dan bawah sadar semakin samar. Dan seringkali mental kita
juga ikut terjatuh saat kita tidak mampu menguasai kelelahan fisik. Inilah
salah satu pentingnya latihan fisik sebelum pendakian, selain untuk menjaga stamina,
juga untuk menangkal halusinasi. [Pandu
Hidayat, 2-3 Agustus 2018]