Kondisi
fisik belum cukup normal setelah pendakian gunung Sumbing kemarin, saya memilih
pulang ke Jogja dan hari ini (13 Agustus), saya akan kembali ke Temanggung untuk mendaki gunung
Sindoro melalui jalur Kledung. Siang hari sekitar pukul 14:30 saya tiba di
basecamp Kledung, dan tidak ada satu pun pendaki di dalam ataupun di luar
basecamp. Saya langsung memasuki sekretariat basecamp untuk melakukan
registrasi, tidak rumit dan tidak banyak peraturan. Petugas hanya menyarankan
saya untuk membaca peraturan dan mempelajari peta pendakian. Setelah registrasi
selesai, seorang tukang ojek menghampiri dan dapat mengantar saya sampai pos 1.
Karena hari sudah menjelang sore, tanpa pikir panjang pukul 14:45 saya
berangkat menggunakan ojek, cukup 10 menit untuk sampai di pos 1. Tidak jauh
berbeda dengan trek awal pendakian gunung Sumbing, dari basecamp gunung Sindoro
menuju pos 1 harus melewati pemukiman warga dan kemudian memasuki kawasan
ladang pertanian, yang jika ditempuh dengan berjalan kaki akan memakan waktu
sekitar 2 jam perjalanan.
Siang
itu situasi pendakian gunung Sindoro benar-benar sepi, dan si bapak ojek
memberi saya info tentang jalur pendakian sepanjang perjalanan menuju pos 1,
tapi motor terus melaju melewati pos 1 dan si Bapak hanya menunjukan sebuah
gubuk yang merupakan penanda pos 1. Mungkin karena sepi, lantas si Bapak
mengantar saya lebih jauh sampai di pertengahan antara pos 1 dan pos 2, dia
juga memberi saya info lebih detil tentang jalur yang harus saya tempuh. Tentu
info ini sangat membantu, karena saya baru pertama kali mendaki Sindoro atau
juga biasa disebut gunung Sundoro. Ini adalah solo hiking saya yang ke empat
setelah gunung Merbabu, gunung Prau dan gunung Sumbing. Saya pun menceritakannya
pada si Bapak, dan ketika sampai di pos pertengahan dia mengingatkan saya untuk
terlebih dahulu berdoa sebelum pendakian. Keheningan pecah setelah Bapak ojek
itu pergi, kemudian saya memulai langkah mengikuti setapak menuju Pos 2.
Pos 1
menjadi penanda antara ladang perkebunan dan kawasan hutan gunung Sindoro,
pohon besar dan tinggi mendominasi namun tidak terlalu rapat dan jalur treking
pun lumayan lebar dan sangat jelas. Kemiringan tidak terlalu curam, bahkan terkadang
landai tapi sangat berdebu seperti gunung-gunung lainnya di Jawa Tengah saat
musim kemarau. Namun setelah pos pertengahan antara 1 dan 2, jalur menyempit
dan lebarnya tidak lebih dari 1 meter. Terkadang jalur sangat sempit dan banyak
ditemui pohon tumbang yang melintang di jalur pendakian. Juga di beberapa titik
cukup lembab karena vegetasi cukup rapat dan tidak tersentuh sinar matahari. Saya
harus merunduk untuk melewatinya, pada titik ini saya mendapat sambutan meriah
dari kicauan burung hutan yang berdatangan mendekat, dan pepohonan yang tiba-tiba
bergerak tanpa ada hembusan angin. Suasana sungguh sunyi, dan jujur saja nyali
saya menurun drastis saat melewati jalur yang rapat itu. Tapi beruntung trek
cukup bervariasi, kadang tertutup dan tidak jauh di depan kembali terbuka. Ya,
mental saya turun naik dalam pendakian kali ini. Saya sempat berpikir bagaimana
jika ada hewan buas, terutama babi hutan yang sering saya dengar masih cukup
banyak berkeliaran di gunung Sindoro. Selangkah demi selangkah tanpa
tergesa-gesa saya sampai di Pos 2 pukul 15:30, hanya 35 menit dari Pos
Pertengahan.
Saya
tidak berlama-lama, hanya menarik napas, meneguk air mineral dan melihat
sekitar Pos 2 yang sangat-sangat sunyi sebelum melanjutkan langkah. Di pos
2 terdapat sebuah shelter cukup besar, dapat menjadi tempat beristirahat dan
berteduh jika hujan. Di area ini juga cukup datar dan cukup nyaman untuk
mendirikan tenda, sepertinya dapat menampung 4 tenda ukuran besar. Langkah
pun berlanjut menuju Pos 3 melewati trek yang lebih rapat dan semakin mananjak.
Debu semakin menebal, trek terasa semakin licin dan saya harus melewati
beberapa tanjakan untuk sampai di area Watu Longko, letaknya di pertengahan Pos 2 dan
Pos 3. Cukup unik melihat keberadaan batu besar itu, karena di sekeliling hanya
pepohonan dan saya tidak melihat batu lainnya. Unik dan lagi-lagi aura di area itu
membuat nyali saya tidak stabil. Saya tidak berhenti disana, memilih terus
melangkah menuju Pos 3 melalui tanjakan-tanjakan yang lebih curam dan menguras
tenaga. Hingga akhirnya saya sampai di Pos 3 pukul 16:00, artinya 1 jam dari
Pos 2 jika berjalan santai tanpa istirahat.
Di
Pos 3 saya baru bertemu dengan pendaki lain, rombongan keluarga yang terdiri
dari bapak, ibu dan anaknya. Mereka menggunakan jasa 2 orang porter dari
basecamp Kledung. Di Pos 3 terdapat sebuah shelter yang lumayan besar, juga
digunakan sebagai warung untuk menjual air mineral. Kebetulan sore itu saya
bertemu dengan bapak yang sering berjaga di Pos 3, tapi tidak
lama bapak itu akan pulang dan tidak bermalam, karena tidak ada satu pun tenda
di Pos 3. Pihak basecamp pun menyarankan saya untuk menlanjutkan perjalanan dan
mendirikan tenda di Sunrise Camp yang dapat di tempuh sekitar 20 menit meski treknya sangat curam dan licin. Saya memilih beristirahat di Pos 3,
menyantap kudapan yang saya bawa. Kedua porter itu berjalan lebih dulu menuju
Sunrise Camp gunung Sindoro, sedangkan rombongan keluarga masih terlihat sedang
Shalat di warung. 30 menit saya beristirahat di Pos 3, tenaga kembali terisi
untuk melanjutkan langkah menuju Sunrise Camp.
Pukul
17:20 saya sudah berada di Sunrise Camp yang memiliki ketinggian 2423 Mdpl,
area terbuka yang cukup luas atau paling luas untuk mendirikan tenda selain Pos
3. Hanya beberapa tenda saja yang sudah berdiri, tidak lebih dari 10 tenda
seingat saya. Suasana tidak riuh, sangat-sangat tenang bahkan cenderung sepi
karena jarak antar tenda saling berjauhan. Ketika saya berkeliling mencari
lapak, saya bertemu dengan 2 orang pendaki asal Bogor. Mereka menunjukan lapak
yang cukup datar dekat tenda mereka, akhirnya saya mendirikan tenda berjarak
beberapa meter dari tenda mereka. Mereka adalah Basir dan Hasan, mereka
mengajak saya makan malam bersama. Karena saya tidak membawa beras dan tidak
ada rencana masak, dengan senang hati saya bergabung. Hidangan sederhana malam
itu terasa sangat nikmat, dan habis dalam sekejap. Maklumlah namanya di gunung
segala rasa akan berlipat ganda. Selain karena lelah saat pendakian, cuaca
dingin juga mempengaruhi kondisi perut yang cepat terasa lapar.
Sekitar
pukul 22:00 saya kembali ke tenda, kabut sudah sangat tebal dan angin cukup
kencang malam itu. Dingin dan hening adalah teman setia di dalam tenda sampai
sekitar pukul 24:00 saya baru bisa memejamkan mata. Walau sebenarnya kantuk
belum juga tiba, saya harus beristirahat karena saya berencana akan melakukan
summit attack pukul 04:00 pagi bersama 2 pendaki tadi. Karena terlalu dingin,
pukul 03:00 saya sudah bangun dan membuat minuman hangat, kemudian membangunkan
mereka. Kami membuat sarapan, dan diluar jadwal ternyata kami baru selesai
melakukan ini itu ritual sarapan hampir pukul 05:00. Akhirnya tepat pukul 05:00
kami memulai summit attack. Trek awal menuju Pos 4 (Batu Tatah) tidak jauh
seperti trek sebelumnya hanya sedikit lebih terjal dan harus lebih hati-hati
karena kondisi masih gelap, hanya mengandalkan headlamp masing-masing. Kami pun
menikmati sunrise di pertengahan trek menuju Pos 4, langkah terasa berat pagi
itu, napas tersengal-sengal dan belum juga ada tanda-tanda keberadaan Pos 4.
Trek menuju
Batu Tatah cukup membuat frustasi, namun setelah berjalan sekitar 1,5 jam kami sampai
di Pos 4 pukul 06:30. Saya tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkan
pagi itu, benar-benar syahdu. Matahari sudah cukup terang memancarkan sinarnya,
hangat menyentuh kulit. Setelah Batu Tatah vegetasi berubah menjadi sngat
terbuka, setelah cukup istirahat kami pun bergegas melanjutkan pendakian
sebelum matahari menyengat. Trek menjadi semakin curam melewati pecahan
bebatuan juga kerikil yang licin mendominasi. Saya harus melewati 6 tanjakan
penyesalan gunung Sindoro. Mungkin istilah ini untuk menggambarkan tanjakan
yang terasa tidak ada habisnya, di balik bukit masih ada bukit dan sama sekali
tidak terlihat dimana ujung dari puncan Sindoro. Satu persatu tanjakan itu saya
lalui, akhirnya tepat pukul 08:00 saya menapakan kaki di puncak tertinggi
gunung Sindoro. Lelah pun hilang dalam sekejap, terbayar dengan indahnya
samudera awan dan puncak-puncak gunung di Jawa Tengah yang terlihat jelas,
terutama gunung Sumbing yang saling berhadap-hadapan seolang menyaksikan
perjuangan saya untuk bisa sampai di puncak.
Saya menyempatkan
diri untuk mengelilingi kawah gunung Sindoro yang terus-menerus menyemburkan
asap pekat belerang, hamparan luas padang edelweis gunung Sindoro sedang tandus
saat itu sehingga saya tidak dapat menyaksikan indahnya. Namun hal itu tidak
mengurangi rasa takjub saya pada Sindoro. Saya tidak tahu pasti mengenai
tandusnya padang edellweis itu, mungkin karena musim kemarau, akibat kebakaran
atau hal lainnya. Setelah puas berada di puncak dan matahari sudah sangat
menyengat kulit, saya memutuskan untuk turun menuju Sunrise Camp dan
melanjutkan perjalanan pulang membawa pengalaman baru, pelajaran dan sebuah
rasa tersendiri yang di berikan Sindoro kepada saya. Sampai jumpa di lain hari
Sindoro, ketika mendapat kesempatan kedua saya akan kembali. [Pandu Hidayat, 13-14 Agustus 2018]