Seperti
kita tahu, bahwa pengurusan SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) hanya dapat dilakukan secara
online, dengan jumlah kuota yang telah ditetapkan perharinya. Hal ini baik,
mengingat banyaknya jumlah pendaki yang berdatangan, tentu saja berakibat buruk
pada ekosistem di wilayah Taman Nasional. Maklum, masih banyak pendaki dengan
tingkat kesadaran rendah pada lingkungan. Dan sepertinya kata “Pecinta Alam”
tidak berlaku bagi kebanyakan mereka, karena mereka datang hanya untuk
bersenang-senang (piknik). Jangankan melestarikan alam, membawa sampahnya turun
saja tidak. Hal ini terbukti jika anda berkunjung ke Alun-alun Surya Kencana di
gunung Gede, sampah berserakan dimana-mana. Begitulah, ketatnya sistem
pendaftaran online tidak berpengaruh pada situasi di Taman Nasional, bahkan sebaliknya
hal ini terbilang cukup merepotkan para pendaki yang harus datang ke Balai
Taman Nasional untuk melakukan validasi setelah melakukan registrasi online. Belum
lagi diwajibkannya surat keterangan sehat dan persyaratan lainnya. Tapi
bagaimanapun rumitnya, ikutilah peraturan yang berlaku.
Setelah
mengurus perijinan 1 minggu sebelum pendakian, saya bersama Nurita (sepupu
perempuan) dan seorang teman pendaki bernama Hembuscraft berangkat menuju basecamp
pendakian gunung Gede melalui jalur Gunung Putri. Tepat pukul 24:00 (20
November 2018) kami tiba di basecamp dan langsung beristirahat, karena kami
berencana akan memulai pendakian sebelum matahari terbit. Suasana basecamp yang
menyerupai sebuah home stay sangat tenang dan dingin malam itu, tidak ada
pendaki lain yang bermalam. Alhasil kami bertiga mendapat sebuah ruangan dan
kamar di lantai atas plus kasur empuk. Rencana untuk memulai pendakian lebih
awal sedikit meleset karena kami harus menunggu sarapan yang disediakan pihak
basecamp dan melengkapi perbekalan logistik untuk 3 hari dan 2 malam. Pagi itu
kami sarapan bersama pemilik basecamp yang sudah saya kenal sebelumnya, dan
setelah selesai sarapan pukul 06:00 kami baru memulai pendakian.
Hari ke 1 (06:00-12:00)
Meskipun
saya sudah seringkali mendaki melalui jalur Putri, tapi baru kali ini saya
memulai pendakian setelah matahari terbit. Ternyata pemandangan dari basecamp
menuju pos bayangan (Tanah Merah) cukup menyejukkan mata, petakan terasering
perkebunan warga yang didominasi sayur-sayuran sedang tumbuh lebat, mungkin
siap panen. Tapi saya baru sadar, bahwa trek dari pos pengecekan Simaksi sampai
pos bayangan adalah susunan bebatuan yang agak besar, sehingga membuat langkah
awal saya kurang begitu nyaman. Trek mulai berubah menjadi tanah padat setelah memasuki
pintu hutan (Pos Bayangan) menuju pos 1 (Pos Informasi Lama). Seperti biasa,
saya selalu merasa bahwa pendakian awal dari basecamp menuju Pos 1 selalu
terasa melelahkan dan trek pun terkesan sangat-sangat panjang. Mungkin karena
kondisi fisik yang masih tegang dan belum sepenuhnya beradaptasi, sehingga
tenaga seakan dikuras habis-habisan dan jantung terpompa lebih cepat. Kami
terus melanjutkan langkah sampai di Pos 1 dan kemudian beristirahat sejenak di
sebuah shelter, rasanya seperti sudah sampai puncak, padahal ini baru Pos 1
menn.
Berlanjut
menuju Pos 2 (Legok Leunca), Pos 3 (Buntut Lutung), Pos Bayangan (Lawang
Saketeng) dan Pos 4 (Simpang Maleber)
trek tidak jauh berubah. Berupa tanah padat, dengan sudut kemiringan
yang bervariasi. Jarak tempuh antar Pos memakan waktu sekitar 1 – 1.5 jam,
berjalan santai, minim istirahat. Kami hanya beristirahat sekitar pukul 09:00
untuk membuat kopi dan bersantai di bawah Pos 3. Setelah sekitar 30 menit, kami
melanjutkan pendakian menuju pos-pos berikutnya, sampai akhirnya trek kembali
berubah berupa bebatuan yang tersusun sedemikian rupa. Dan jika anda sudah
menemukan trek ini setelah Pos 4, pertanda bahwa Alun-alun Surya Kencana yang
memiliki ketinggian 2750 Mdpl sudah dekat (sekitar 1 jam perjalanan). Alun-alun
Surya Kencana sendiri merupakan sebuah lembah yang diapit oleh dua gunung,
yaitu gunung Gede dan gunung Gemuruh, serta memiliki luas 50 hektar. Sedangkan
panjang lintasan dari Pos Perijinan Gn Putri sampai Alun-alun Surya Kencana
adalah 6.9 Km. Kami pun tiba di Surya Kencana bagian Timur tepat pukul 12:00,
dan cukup 30 menit untuk sampai di Surya Kencana bagian Barat, dimana kami
berencana untuk mendirikan tenda. Kami sudah berjalan selama 6 jam dan 30 menit
istirahat, ini adalah waktu tercepat saya mendaki gunung Gede melalui jalur Gn
Putri. Kami sengaja memiliki target untuk cepat sampai agar dapat terhindar
dari hujan sebelum dapat mendirikan tenda, maklum sudah memasuki musim hujan
sehingga turunnya hujan tidak dapat diprediksi. Dan para pendaki yang
berpapasan dengan kami di trek pendakian saat mereka sedang turun gunung
memberi informasi bahwa hujan badai
terjadi sejak beberapa hari ke belakang. Begitu pun petugas pos
penjagaan, menganjurkan kami untuk tidak mendirikan tenda di area yang terlalu
terbuka.
Dengan
informasi yang di dapat, akhirnya saya putuskan untuk mendirikan tenda yang
terlindung oleh pepohonan, agar lebih aman ketika terjadi badai. Tapi sepinya
Surya Kencana siang itu tidak mempermudah kami untuk menemukan tempat yang
nyaman. Ketika ada tempat datar dan banyak pepohonan, disanalah sampah-sampah berserakan
yang dengan sengaja ditinggalkan. Sampah masih bisa kami bersihkan, yang lebih
parah adalah kotoran manusia juga ada dimana-mana. Kelakuan pendaki yang
sangat-sangat tidak punya etika seperti ini membuat repot pendaki lain,
termasuk kami yang sudah sempoyongan mencari tempat karena panas luar biasa
menyengat ubun-ubun. Akhirnya kami menemukan tempat agak ke arah barat, setelah
melewati sungai yang membelah Surya Kencana, posisi tenda kami cukup jauh dari
tenda lainnya. Sangat eksklusif dan tentunya tidak berisik. Hanya ada bunga
Edelweiss dan tenda kami. Perlu diketahui, kondisi sungai di Surya Kencana
sangat memprihatinkan, sampah berserakan di aliran sungai. Sudah tidak sehat
untuk di konsumsi langsung. Sebaiknya pendaki membawa persediaan air minum dari
bawah. Jika terpaksa, lebih baik air di masak terlebih dahulu.
Karena
saya senang dengan solo hiking, saya pun hanya memiliki dan membawa tenda untuk
1 person. Beruntungnya badan kami tidak terlalu besar, jadi tenda dapat
menampung 2 orang. Saya juga membuat vestibule tambahan dengan flysheet, sehingga
memungkinkan untuk menampung 1 orang, termasuk menaruh barang-barang. Setelah
tenda berdiri kami melanjutkan ritual masak-memasak sambil menikmati sore di Alun-alun,
tidak ada tanda-tanda turun hujan. Bahkan hujan baru turun pukul 21:00, dan
tidak lama kami pun beristirahat untuk mengembalikan stamina, karena kami
berencana bangun pukul 02:00 dini hari untuk melakukan persiapan double summit
ke puncak Gede dan puncak Pangrango (tektok). Jarak dari Alun-alun ke puncak
gunung Gede adalah 1.1 Km, sedangkan panjang lintasan dari puncak Gede ke
puncak Pangrango berjarak 5.3 Km. Karena kami meninggalkan tenda kami di Surya
Kencana, jadi kami harus memiliki tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan
pulang pergi dari Surya Kencana – Lembah Kasih Mandalawangi (Gunung Pangrango),
kemudian kembali ke Alun-alun Surya Kencana. Jika di total kami harus menempuh
jarak 12.8 Km di hari ke dua.
Hari ke 2 (04:30-19:30)
Pukul
02:00 saya sudah bangun dan membangunkan yang lain, kemudian kami membuat
sarapan dan mempersiapkan segala perbekalan untuk melakukan summit attack. Karena
masih ngantuk dan kedinginan, pergerakan kami agak lambat sehingga baru pukul
04:30 kami memulai perjalanan. Trek menuju puncak Gede berupa susunan bebatuan
yang membuat kaki sakit, vegetasi cukup rapat dan tanjakan terkadang cukup
terjal. Hanya butuh waktu sekitar 45 – 60 menit untuk sampai di puncak. Kami
sampai di puncak gunung Gede yang memiliki ketinggian 2958 Mdpl sekitar pukul
05:15, menikmati keindahan yang mengelilingi kami sambil menunggu matahari
terbit. Setelah matahari terbit dan merasa cukup di puncak, kami melanjutkan
perjalanan turun menuju persimpangan antara puncak Gede dan Pangrango, letaknya
tidak jauh dari Pos Kandang Badak (jalur pendakian via Cibodas). Trek awal
menuju Kandang Badak berupa pasir dan batu kerikil sampai pada puncak bayangan.
Setelah puncak bayangan trek berubah menjadi susunan batu padat yang siap
menyiksa telapak kaki. Di lintasan ini pendaki akan menemui sebuah tanjakan
yang harus dilalui menggunakan tali webbing, kemiringannya sangat curam.
Tanjakan ini di sebut Tanjakan Setan oleh para pendaki, bukan karena
tanjakannya yang ekstrim sehinnga disebut setan, akan tetapi suasana sepanjang
trek itu memang lumayan mistis. Hmm skip.
Kami
sampai dipersimpangan Kandang Badak pukul 07:30, kemudian mencari tempat untuk beristirahat
ke arah puncak Pangrango. Setelah 30 menit beristirahat, pendakian ke puncak
Pangrango di mulai. Trek dari persimpangan sampai ke puncak merupakan tanah
padat dengan kemiringan yang bervariasi. Sepanjang trek kita akan di suguhi
pemandangan hutan yang menakjubkan, masih alami karena gunung ini jarang di
daki. Alasan kenapa para pendaki lebih memilih gunung Gede ketimbang mendaki
Pangrango, karena view pemandangan di Gunung Gede lebih luas, tidak seperti
puncak Pangrango yang terhalang oleh pepohonan. Tapi saya pribadi lebih suka
untuk mendaki Pangrango, lebih bersih, sunyi dan menenangkan. Meskipun treknya
cukup menguras tenaga dan tidak semudah jalur pendakian gunung Gede, justru saya
lebih bisa menikmatinya.
Pada awal
jalur pendakian kita harus melalui banyak pohon-pohon tumbang, maka untuk
melewatinya kita harus merunduk atau melompati pohon tumbang tadi. Selanjutnya
kita akan melewati hutan lumut, viewnya istimewa untuk mengambil gambar. Dan
rintangan terakhir adalah banyaknya trek sempit yang terhimpit tanah di sisi
kanan dan kirinya khas Pangrango. Trek semacam ini tidak akan ditemui jika kita
mendaki gunung Gede, dan trek yang meliuk-liuk seperti ular ini sangat banyak
di Pangrango. Kesabaran pun di uji, karena lorong-lorong itu seperti tidak ada
habisnya. Membuat mental saya turun naik, dan pergulatan batin terjadi. Saya
masih merasa sanggup untuk sampai puncak, tapi apakah saya sanggup untuk
kembali ke Surya Kencana? Pertanyaan itu salalu muncul ketika napas mulai
tersengal.
Selama
pendakian ke Pangrango, kami hanya berpapasan dengan satu rombongan kecil yang
sedang turun, selebihnya hanya kami bertiga di trek. Dan kami tiba di puncak Pangrango
yang memiliki ketinggian 3019 Mdpl pada pukul 11:15, lelah pun hilang dalam
sekejap. Tidak berlama-lama, kami kemudian turun menuju Lembah Kasih
Mandalawangi. Ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Lembah Kasih,
sebuah tempat yang menjadi favorit saya. Dan ternyata tidak ada satupun tenda
yang berdiri, hanya 2 tim kecil yang sudah bersiap untuk turun ketika kami
datang. Akhirnya mimpi saya kesampaian, saya ingin merasakan Lembah Kasih yang dingin
dan sunyi seperti yang di gambarkan dalam puisinya Soe Hok Gie. Sebenarnya saya
punya keinginan untuk mendaki ke Pangrango seorang diri, sayangnya tidak ada izin
untuk melakukan solo hiking, baik di gunung Gede ataupun Pangrango. Karena
dalam peraturan tertera bahwa pendakian dapat dilakukan minimal 3 orang, inilah
alasan tim ekspedisi ini berjumlah 3 orang.
Tidak
banyak yang berubah di Lembah Kasih, berbeda dengan Surya Kencana yang sudah
terlalu sering dieksplorasi. Kami bertiga pun turun ke ujung lembah, dimana
terdapat sebuah mata air yang sangat-sangat jernih. Setelah selesai mengisi
botol yang sudah kosong, tidak lama kami mendadak disibukan dengan kedatangan
hujan yang turun tanpa aba-aba. Kami langsung membuat sebuah bivak menggunakan
ponco, dan mulai memasak untuk makan siang. Lembah Kasih Mandalawangi yang
memiliki luas 5,5 Hektar siang itu sangat-sangat mempesona, diselimuti kabut
tipis dan rintik hujan. Selain mata air yang tadi kami datangi, disini juga
terdapat sungai yang sangat kecil membelah Lembah Kasih. Tidak jauh dari
sungai, di tengah lembah terdapat sebuah plakat untuk mengenang 41 pendaki yang
gugur di gunung Pangrango. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di lembah ini,
karena kami harus kembali pulang ke Surya Kencana, hujan pun tidak juga mereda.
Pukul 13:00 kami bergerak meninggalkan lembah, saya sempat menoleh kebelakang
dan bergumam dalam hati bahwa saya pasti akan kembali. Sebuah janji yang suatu
hari akan saya lunasi.
Sepanjang
perjalanan turun menuju persimpangan Kandang Badak, hujan terus menerus mengguyur
kami bertiga. Trek menjadi lebih sulit karena tanah menjadi lebih licin, harus
ekstra hati-hati menahan badan agar tidak tergelincir. Kami beristirahat pada
pukul 15:30 – 16:00 dekat persimpangan, membuat minuman hangat dan memulihkan
stamina untuk mendaki ke puncak Gede. Singkat cerita kami harus melewati lagi
Tanjakan Setan dengan medan berbatu yang menyerupai anak tangga yang
berantakan, membuat kaki saya mudah lelah. Sekitar pukul 17:30 kami
beristirahat di puncak bayangan gunung Gede selama 30 menit. Kemudian pukul
18:30 kami sudah berada di puncak gunung Gede. Ya, untuk kedua kalinya kami
menapakan kaki di puncak Gede di hari yang sama. Karena sudah gelap, kami tidak
beristirahat di puncak. Perjalanan turun menuju Alun-alun Surya Kencana terasa
sangat panjang dan tidak ada habisnya. Tenaga sudah terkuras, yang tersisa
hanya semangat untuk sampai di tenda dan melepas lelah. Kami terus melaju
secara perlahan tanpa istirahat. Akhirnya kami sampai di Surya Kencana pukul
19:15 dan 15 menit kemudian sudah berada di tenda. Ini adalah perjalanan
terpanjang dalam hidup saya dan saya berhasil melakukannya.
Kegiatan
kami selanjutnya adalah masak-masak lagi, dan menikmati dinginnya Surya
Kencana. Badan yang sudah terasa sakit-sakit menjadi tak terasa karena kepuasan
yang saya rasakan. Malam itu saya tidur cukup nyenyak di dalam tenda sempit
yang di guyur hujan. Karena pintu tenda sengaja di buka, sekitar pukul 03:00
angin sedikit lebih kencang masuk ke dalam tenda. Akhirnya pukul 04:00 kami
terbangun karena Hembushcraft yag tidur di luar terserang hipotermia. Kami
lantas berganti posisi, saya menyuruhnya masuk ke dalam tenda. Saya memberinya
selimut tambahan dan minuman hangat agar kondisinya kembali normal. Beruntung
saya melihatnya sedang kejang kedinginan, dan cerita akan berbeda jika tidak
segera ditangani. Mungkin kami harus menghubungi Tim SAR untuk mengevakuasinya,
yang jelas akan bikin malu. Kenapa hal seperti itu memalukan? Karena jika
terjadi hal semacam itu, artinya kita tidak siap untuk berada di atas gunung.
Sebaiknya pendaki mempersiapkan segala sesuatunya secara mandiri, karena setiap
pendaki bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tidak bergantung pada orang
lain apalagi Tim SAR, Itu konyol namanya. Di sini kita dapat belajar soal
kemandirian. Tidak ada kata darurat, jika kita siap.
Hari ke 3 (09:30-14:30)
Pagi
di hari ketiga, kami berniat untuk turun menuju basecamp. Kami sengaja tidak
lagi berlama-lama di Surya Kencana karena panas sangat menyengat meskipun
tampak mendung di bagian sebelah timur, selain itu kami juga tidak ingin
kehujanan dalam perjalanan. Setelah selesai merapikan semua barang, pukul 09:30
kami meninggalkan Surya Kencana bagian barat menuju ke timur. Selanjutnya, tiba
di basecamp pendakian Gunung Putri pada pukul 14:30. Seharusnya akan lebih
cepat jika kondisi masih cukup baik, sayangnya telapak kaki saya terasa panas
dan sangat menyiksa saat melalui trek berbatu, sehingga saya ketinggalan
langkah. Selisih sekitar 30 menit dari Hembushcraft dan Nurita yang jalannya
paling cepat. Yang jelas bukan soal cepat atau lambat, tapi bagaimana caranya
menemukan makna dari setiap perjalanan yang kita tempuh. Dan perjalanan panjang
ini menyisakan kenangan baru yang akan terus saya ingat. [Pandu Hidayat, 20-22 November 2018]