Monday, October 21, 2013

JENDELA

Wajah asing ragam ekspresi hilir mudik melilip retina-mata. Acak. Orang tua hingga balita tanpa terkecuali. Banyak wanita cantik melangkah layaknya model amatir, beberapa tubuh lain terlihat sibuk menarik koper dan barang bawaan. Ada juga yang menenteng kardus besar dengan tangan kanan dan menggendong anaknya dengan tangan kiri, tampak lelah. Tempat ini telah lama menjadi bisu, menyaksikan pertemuan dan perpisahan berjuta manusia. Ada pelukan juga lambaian tangan, bersalaman. Pada sebuah loket dekat peron paling ujung, seorang wanita sedang mengacung-acungkan selembar kertas pada petugas, menarik perhatian. Rupanya dia sedang marah tak kepalang. Hanya mengira. Aku mengetahui dari mimik wajah dan gestur tubuhnya. Tegang. Tidak hanya aku yang tekun memperhatikan, hampir sebagian orang di sekitarku juga. 07.15 waktu dinding stasiun, kereta sudah datang. Aku mulai berkemas dan orang-orang pun tidak lagi memperhatikan si gadis, kereta akan segera berangkat pukul 07.30 pagi ini.

Bisnis 2, No 4A, tertulis demikian pada tiket yang kupegang. Aku mendapatkan bangku dekat jendela, sesuai dengan yang kupesan jauh-jauh hari. Aku terbiasa duduk dekat jendela untuk melihat pemandangan yang selalu membuatku terhibur. Sawah, tebing, jurang, sungai-sungai di antara bukit, dengan pepohonan yang sebagian darinya masih tampak asri, dan apapun sepanjang tepi rel termasuk pemukiman yang semakin rapat dengan perlintasan. Selain itu, aku akan merasa mual jika tidak melihat pemandangan di luar. Saat aku melongok ke arah stasiun dari balik jendela kaca yang sedikit retak, aku melihat gadis tadi sedang berbicara dengan seorang petugas. Kecantikannya khas dari raut wajah yang panik. Tak lama dia naik ke atas kereta, petugas lain yang berada di pintu gerbong mengarahkannya sambil menunjuk tepat ke arahku. Semua mata penumpang memandangnya dengan tatapan tidak wajar. Aku mulai curiga, mengapa semua orang memandangnya berlebihan? Aku yakin dia bukan orang terkenal yang pernah kulihat sebelumnya?! Ketika aku mencoba meyakinkan diri, dia sudah berdiri di hadapanku, menunjukkan selembar tiket yang tertulis: Bisnis 2, No 4A. 

Perdebatan memperebutkan nomor kursi terjadi antara aku dan wanita itu, bahkan beberapa penumpang membelanya. Seperti perebutan kursi jabatan saja, pikirku. Sudahlah, lebih baik aku yang mengalah, seolah pria bijak. Aku tidak senang dengan situasi seperti ini dan kejadian serupa sering kali kualami. Entah salah cetak atau kesengajaan demi keuntungan, aku tidak tahu?! Setiap aku protes juga tidak pernah ditanggapi dan berakhir sia-sia. Aku terpaksa bergeser ke bangku 4B, tepat di samping gadis yang menarik perhatianku sejak aku berada di ruang tunggu. Kecantikannya tidak perlu aku deskripsikan, bahkan terlalu cantik untuk kereta kelas bisnis. Dia masih muda, kira-kira seusia denganku dan pasti belum menikah, lagi-lagi aku hanya mengira. Wajahnya tampak kekanak-kanakan dan keibuan sekaligus. Tubuhnya tegap, tampak sangat segar dan seksi terbalut dress hitam dengan garis-garis abu horisontal. Anggun. Ya, rupanya aku terlalu tergoda untuk membuat deskripsi.

Aku tidak terlalu memperhatikan gadis ini dari jarak yang terlalu dekat, hanya sesekali aku melirik dan melihatnya lebih detil. Bibirnya cerah, matanya jernih dengan bulu mata yang lentik. Untuk mengalihkan pandangan dari gadis itu, aku terpaksa membaca buku. Selain tidak sopan, aku juga tidak ingin memperhatikan penumpang lainnya atau pun sudut-sudut gerbong yang akan membuatku menjadi mual dibuatnya. Tak terasa aku sudah menghabiskan puluhan halaman tanpa pemahaman, hanya saja sekeliling menjadi latar dan mataku mulai lelah. Perutku mendadak lapar dan aku berpikir untuk mendapatkan secangkir kopi dan makanan. Kemudian aku berjalan menyusuri beberapa gerbong sampai akhirnya tiba di kereta-makan yang begitu lengang, hanya beberapa pelayan yang sedang menganggur, salah satunya menyodorkan daftar menu. Aku memesan sesuai tujuanku semula dan duduk dekat jendela untuk melihat pemandangan sepanjang perlintasan, walaupun matahari sudah terlalu terang membias kaca.

“Boleh saya duduk di sini?” Wanita itu membuka percakapan dengan tatapan ramah, suaranya akrab.

Gadis itu sudah berdiri di hadapanku ketika aku menoleh. Aku cukup terkesima dengan kemunculannya untuk kali kedua, aku tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepala, lalu kembali memandang ke arah jendela saat dia mulai menjatuhkan tubuhnya di bangku. Pemandangan di luar dan di hadapanku sama indahnya sekarang. Seimbang. Mungkin inilah keindahan realitas yang sering disebut-sebut Chernyshevsky dalam tesisnya. Aku mencoba untuk memandang keluar dan tidak memperhatikan gadis itu, meskipun akhirnya tidak dapat kuhindari. Bukan tidak konsisten dengan pilihan tapi keduanya tarik-menarik! Sepintas dia mulai tampak tenang dan menikmati perjalanan, tidak ada kepanikan pun raut kecewa seperti saat di stasiun. Semakin aku memperhatikan, aku mendapatinya semakin cantik dan hampir membuatku terpesona untuk selalu memalingkan pandangan kearahnya. Tapi pemandangan di luar juga membuatku bertahan. Keduanya tarik-menarik. Wajahnya tidak asing, pikirku waktu itu. Semakin aku mencoba tidak memikirkannya, aku semakin terpusat pada sebuah dialektika khayal tentang pertemuan seorang pria dan wanita secara kebetulan, berkenalan dan saling menimpal. Ah, kisah klasik pasaran yang memuakkan bukan! mengapa aku harus membayangkan romantisme seperti itu? Sementara berulang-kali aku bosan melihatnya dalam ratusan judul film drama percintaan.

“Maaf ya soal tadi!” Suaranya seperti tertahan.

“Oh, nggak apa-apa”  aku menjawabnya spontan.

Kemudian gadis itu meneruskan perkataannya dengan nada yang lebih ringan:

“Kok bisa ya nomor bangkunya sama? Aneh! Harusnya saya naik kereta yang lebih pagi, datang tepat waktu tapi keretanya sudah jalan. Tiket juga ngga bisa ditukar, akhirnya saya harus beli tiket lagi... sore ini harus sudah sampai Bandung, nanti malam ada acara keluarga, nggak enak kalau nggak hadir. Untungnya masih dapat tiket, percuma saja sudah bolos kerja kalau nggak jadi berangkat. Mau ke Bandung juga?

“Iya.” Jawabku singkat.

 “Silahkan!” Suara pelayan membawakan pesananku dan untuk gadis itu.

Sesaat pelayan pergi kami sibuk menyantap makanan masing-masing, nasi goreng dengan bumbu yang aneh di lidah, dilengkapi telur mata-sapi kurang garam, sungguh membunuh selera tapi aku benar-benar lapar dan terpaksa menghabiskannya. Wanita itu meniup-niup cangkir kopinya yang masih panas menguap. Aku tersadar dari pikiran-pikiran tentangnya. Dia nyata, hanya beberapa jengkal dari mukaku yang beku, tapi aku tidak perlu menampar pipiku untuk menjadikannya tambah lumer. Mungkin aku hanya sedang beruntung hari ini, ditemani wanita cantik dalam perjalanan kuanggap kebetulan yang langka. Ketika aku mulai berpikir tentang keberuntungan dan kebetulan, suaranya kembali terdengar di antara bibirnya yang cerah:

“Belum sempat sarapan, lupa juga ngga bawa makanan. Keburu, habisnya takut telat eh ternyata ketinggalan juga. Biasanya kereta yang sering telat, tumben banget tepat waktu? Mungkin, karena banyak media yang mengangkat isu transportasi, mereka jadi lebih waspada, takut kena kritik! Kenapa ngga dari dulu-dulu saja, sudah tersebar bobrokannya baru berubah. Ngga percuma sih, tapi telat!.. Ya semoga saja bisa bertahan dan budaya ngaretnya bisa hilang, bagus kalo bisa disiplin. Kasihan kan penumpang yang sudah buru-buru tapi ternyata terlantar dan harus nunggu lama, ujung-ujungnya terlambat juga sampai tujuan!”

Tiba-tiba kereta berhenti di sebuah stasiun, keriuhan pedagang menjalar cepat. Suara-suara mereka terdengar sumbang di telinga, mungkin karena cara mereka berbicara dan menawarkan barang dagangan jarang kudengar. Keunikan seperti ini aku temui di setiap stasiun yang berbeda di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Gadis itu asyik menyaksikan aktivitas para pedagang dan sesekali dia tersenyum. Lepas. Mungkin ada yang lucu dari tingkah para pedagang atau dia sedang memikirkan sesuatu? Di sisi berlawanan tampak sebuah kereta ekonomi yang juga sedang berhenti mengambil penumpang. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala dan mulai memberi komentar:

“Lihat mas, kontras banget ya sama kereta ini?! Sekarang sih katanya sudah lumayan tertib, semua penumpang dapat tempat duduk.. Jaman kuliah dulu, saya sering naik kereta ekonomi, tiketnya murah, tapi haduh ampun.. mau bergerak saja susah, di kolong-kolong banyak orang tidur, harus rebutan nafas sama asap rokok, toiletnya pesing bukan main, apalagi kalau ada yang muntah-muntah, bau minyak angin, bau keringet juga. Belum lagi pedagang asongan dan pengamen ngga pernah berhenti mondar-mandir. Beruntung kalau ngga ketemu copet, tahu sendiri deh Mas gimana copet-copet di kereta jurusan Bandung! Terang-terangan, berani-berani, mereka temannya banyak. Pokoknya hati-hati Mas kalau naik kereta ekonomi!”

Tidak ada yang salah dengan wanita ini, dia selalu memberi kesan bersahabat. Hangat. Sepertinya dia berdarah Sunda, aku menyimpulkan dari caranya berbicara. Polos. Pelan, ramah dan santun. Entah mengapa Tuhan menganugerahi banyak wanita cantik di Kota Kembang, mungkin karena alasan geografis, mungkin juga faktor biologis atau ini kutukan?! Mungkin mereka keturunan Dayang Sumbi yang membuat Sangkuriang jatuh cinta pada ibunya sendiri karena kecantikannya tak terperikan. Bukankah itu hanya legenda? Tapi begitulah faktanya. Ah! Aku mulai berpikir tidak penting, toh banyak wanita cantik di belahan bumi lain. Dan mengapa aku selalu menilai-nilai gadis yang kebetulan duduk bersamaku ini?!

Dia senang bicara, menceritakan pengalaman sekaligus menanggapi setiap keganjilan yang tertangkap olehnya. Ringan. Bukan cerewet, aku tidak tahu apa istilah yang lebih tepat? Bahkan aku tidak menanggapinya dengan serius, hanya sesekali mengangguk dan memandangnya antusias saat dia sedang bicara. Mungkin gadis itu mengira aku lelaki pemalu yang bersikap dingin, tapi ini penilaianku juga. Setelah gadis itu cukup lama bercerita, kami memutuskan untuk kembali ke dalam gerbong. Aku berjalan mengikuti langkah-langkah kecilnya. Aroma tubuhnya menyebar sepanjang gerbong, wanginya membius dan jujur saja aku menikmatinya. Menit selanjutnya kami sudah berada pada posisi semula, aku kembali membaca buku hingga titik kebosanan. Berulang kali mencoba memejamkan mata tapi tidak juga berhasil. Bibir cerah itu tidak mengeluarkan kata-katanya lagi, pandangannya jauh menyaksikan sebuah kenangan lama dari balik jendela. Atau mungkin sedang membuat cerita.

Tidak terasa sudah berjam-jam kami dalam kebisuan masing-masing menyaksikan stasiun-demi-stasiun terlewati. Kurasakan kereta melesat cepat melintasi perbukitan dan sawah-sawah, sampai akhirnya berhenti di stasiun tujuan. Aku bergegas-kemas dan tidak terlalu memperhatikannya untuk kemudian turun tanpa kata perpisahan. Saat aku mencoba menghubungi teman yang akan menjemput, gadis itu berada tidak jauh dariku, berjalan menuju pintu keluar stasiun. Jalannya sedikit cepat, sepertinya sedang mengejar waktu dan tidak ingin kembali terlambat. Sampai di pintu keluar, aku melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria, berjabat tangan lalu kembali berjalan lebih cepat meninggalkannya.

“Kamu bareng Lala?”  Tanya Didit, temanku yang baru saja bicara dengan gadis itu.

“Lala, siapa?” Aku sedikit bingung dan mengira Didit sedang bergurau.

“Itu, yang baru saja pergi! Dia adik kelas kita waktu kuliah dulu. Tambah cantik ya!!”

Aku berusaha keras mengingat masalalu dan masih tidak percaya dengan ucapan Didit. Wajah gadis itu memenuhi pikiranku sampai akhirnya aku mulai teringat dengan sebuah jendela. Ya, dia gadis yang pernah duduk di kursi favoritku yang letaknya berdekatan dengan jendela pada sebuah kelas. Ya benar sekali! Tapi setelahnya aku tidak yakin pernah melihatnya lagi. Ternyata kami punya kebiasaan yang sama, menyukai pemandangan dari balik jendela. Aku menjadi tidak tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh, justru setelah aku mengetahuinya. Karena gadis itu telah merebut jendela-jendelaku. Mungkin itulah penyebab mengapa aku bisa bersikap dingin selama perjalanan, alasan yang kubuat-buat, bukan dendam. Mungkin. Pengalaman ini membuatku tampak bodoh, bukan karena aku tidak mencoba berkenalan, pun bertanya hal-hal yang lebih detil. Aku merasa bodoh karena aku tidak mempertahankan yang seharusnya menjadi hak dan milikku, hanya diam bersikap bijak.

Pandu Hidayat _Juni 2012 
Download PDF