Wajah asing ragam ekspresi hilir mudik melilip
retina-mata. Acak. Orang tua hingga balita tanpa terkecuali. Banyak wanita
cantik melangkah layaknya model amatir, beberapa tubuh lain terlihat sibuk
menarik koper dan barang bawaan. Ada juga yang menenteng kardus besar dengan
tangan kanan dan menggendong anaknya dengan tangan kiri, tampak lelah. Tempat
ini telah lama menjadi bisu, menyaksikan pertemuan dan perpisahan berjuta
manusia. Ada pelukan juga lambaian tangan, bersalaman. Pada sebuah loket dekat
peron paling ujung, seorang wanita sedang mengacung-acungkan selembar kertas
pada petugas, menarik perhatian. Rupanya dia sedang marah tak kepalang. Hanya
mengira. Aku mengetahui dari mimik wajah dan gestur tubuhnya. Tegang. Tidak
hanya aku yang tekun memperhatikan, hampir sebagian orang di sekitarku juga.
07.15 waktu dinding stasiun, kereta sudah datang. Aku mulai berkemas dan
orang-orang pun tidak lagi memperhatikan si gadis, kereta akan segera berangkat
pukul 07.30 pagi ini.
Bisnis 2, No 4A, tertulis demikian pada tiket yang
kupegang. Aku mendapatkan bangku dekat jendela, sesuai dengan yang kupesan
jauh-jauh hari. Aku terbiasa duduk dekat jendela untuk melihat pemandangan yang
selalu membuatku terhibur. Sawah, tebing, jurang, sungai-sungai di antara
bukit, dengan pepohonan yang sebagian darinya masih tampak asri, dan apapun
sepanjang tepi rel termasuk pemukiman yang semakin rapat dengan perlintasan.
Selain itu, aku akan merasa mual jika tidak melihat pemandangan di luar. Saat
aku melongok ke arah stasiun dari balik jendela kaca yang sedikit retak, aku
melihat gadis tadi sedang berbicara dengan seorang petugas. Kecantikannya khas
dari raut wajah yang panik. Tak lama dia naik ke atas kereta, petugas lain yang
berada di pintu gerbong mengarahkannya sambil menunjuk tepat ke arahku. Semua
mata penumpang memandangnya dengan tatapan tidak wajar. Aku mulai curiga,
mengapa semua orang memandangnya berlebihan? Aku yakin dia bukan orang terkenal
yang pernah kulihat sebelumnya?! Ketika aku mencoba meyakinkan diri, dia sudah
berdiri di hadapanku, menunjukkan selembar tiket yang tertulis: Bisnis 2, No
4A.
Perdebatan memperebutkan nomor kursi terjadi antara aku
dan wanita itu, bahkan beberapa penumpang membelanya. Seperti perebutan kursi
jabatan saja, pikirku. Sudahlah, lebih baik aku yang mengalah, seolah pria
bijak. Aku tidak senang dengan situasi seperti ini dan kejadian serupa sering
kali kualami. Entah salah cetak atau kesengajaan demi keuntungan, aku tidak
tahu?! Setiap aku protes juga tidak pernah ditanggapi dan berakhir sia-sia. Aku
terpaksa bergeser ke bangku 4B, tepat di samping gadis yang menarik perhatianku
sejak aku berada di ruang tunggu. Kecantikannya tidak perlu aku deskripsikan,
bahkan terlalu cantik untuk kereta kelas bisnis. Dia masih muda, kira-kira
seusia denganku dan pasti belum menikah, lagi-lagi aku hanya mengira. Wajahnya
tampak kekanak-kanakan dan keibuan sekaligus. Tubuhnya tegap, tampak sangat
segar dan seksi terbalut dress hitam dengan garis-garis abu horisontal. Anggun.
Ya, rupanya aku terlalu tergoda untuk membuat deskripsi.
Aku
tidak terlalu memperhatikan gadis ini dari jarak yang terlalu dekat, hanya
sesekali aku melirik dan melihatnya lebih detil. Bibirnya cerah, matanya jernih
dengan bulu mata yang lentik. Untuk mengalihkan pandangan dari gadis itu, aku
terpaksa membaca buku. Selain tidak sopan, aku juga tidak ingin memperhatikan
penumpang lainnya atau pun sudut-sudut gerbong yang akan membuatku menjadi mual
dibuatnya. Tak terasa aku sudah menghabiskan puluhan halaman tanpa pemahaman,
hanya saja sekeliling menjadi latar dan mataku mulai lelah. Perutku mendadak
lapar dan aku berpikir untuk mendapatkan secangkir kopi dan makanan. Kemudian
aku berjalan menyusuri beberapa gerbong sampai akhirnya tiba di kereta-makan
yang begitu lengang, hanya beberapa pelayan yang sedang menganggur, salah
satunya menyodorkan daftar menu. Aku memesan sesuai tujuanku semula dan duduk
dekat jendela untuk melihat pemandangan sepanjang perlintasan, walaupun
matahari sudah terlalu terang membias kaca.
“Boleh saya duduk di
sini?” Wanita itu membuka percakapan dengan tatapan ramah,
suaranya akrab.
Gadis itu sudah berdiri di hadapanku ketika aku menoleh.
Aku cukup terkesima dengan kemunculannya untuk kali kedua, aku tidak menjawab
dan hanya menganggukkan kepala, lalu kembali memandang ke arah jendela saat dia
mulai menjatuhkan tubuhnya di bangku. Pemandangan di luar dan di hadapanku sama
indahnya sekarang. Seimbang. Mungkin inilah keindahan realitas yang sering
disebut-sebut Chernyshevsky dalam tesisnya. Aku mencoba untuk memandang keluar
dan tidak memperhatikan gadis itu, meskipun akhirnya tidak dapat kuhindari. Bukan
tidak konsisten dengan pilihan tapi keduanya tarik-menarik! Sepintas dia mulai
tampak tenang dan menikmati perjalanan, tidak ada kepanikan pun raut kecewa
seperti saat di stasiun. Semakin aku memperhatikan, aku mendapatinya semakin
cantik dan hampir membuatku terpesona untuk selalu memalingkan pandangan
kearahnya. Tapi pemandangan di luar juga membuatku bertahan. Keduanya
tarik-menarik. Wajahnya tidak asing, pikirku waktu itu. Semakin aku mencoba
tidak memikirkannya, aku semakin terpusat pada sebuah dialektika khayal tentang
pertemuan seorang pria dan wanita secara kebetulan, berkenalan dan saling
menimpal. Ah, kisah klasik pasaran yang memuakkan bukan! mengapa aku harus
membayangkan romantisme seperti itu? Sementara berulang-kali aku bosan
melihatnya dalam ratusan judul film drama percintaan.
“Maaf ya soal tadi!”
Suaranya seperti tertahan.
“Oh, nggak apa-apa” aku menjawabnya spontan.
Kemudian gadis itu meneruskan perkataannya dengan nada
yang lebih ringan:
“Kok bisa ya nomor
bangkunya sama? Aneh! Harusnya saya naik kereta yang lebih pagi, datang tepat
waktu tapi keretanya sudah jalan. Tiket juga ngga bisa ditukar, akhirnya saya
harus beli tiket lagi... sore ini harus sudah sampai Bandung, nanti malam ada
acara keluarga, nggak enak kalau nggak hadir. Untungnya masih dapat tiket,
percuma saja sudah bolos kerja kalau nggak jadi berangkat. Mau ke Bandung juga?
“Iya.”
Jawabku singkat.
“Silahkan!” Suara pelayan
membawakan pesananku dan untuk gadis itu.
Sesaat pelayan pergi kami sibuk menyantap makanan masing-masing,
nasi goreng dengan bumbu yang aneh di lidah, dilengkapi telur mata-sapi kurang
garam, sungguh membunuh selera tapi aku benar-benar lapar dan terpaksa
menghabiskannya. Wanita itu meniup-niup cangkir kopinya yang masih panas
menguap. Aku tersadar dari pikiran-pikiran tentangnya. Dia nyata, hanya
beberapa jengkal dari mukaku yang beku, tapi aku tidak perlu menampar pipiku
untuk menjadikannya tambah lumer. Mungkin aku hanya sedang beruntung hari ini,
ditemani wanita cantik dalam perjalanan kuanggap kebetulan yang langka. Ketika
aku mulai berpikir tentang keberuntungan dan kebetulan, suaranya kembali
terdengar di antara bibirnya yang cerah:
“Belum sempat
sarapan, lupa juga ngga bawa makanan. Keburu, habisnya takut telat eh ternyata
ketinggalan juga. Biasanya kereta yang sering telat, tumben banget tepat waktu?
Mungkin, karena banyak media yang mengangkat isu transportasi, mereka jadi
lebih waspada, takut kena kritik! Kenapa ngga dari dulu-dulu saja, sudah
tersebar bobrokannya baru berubah. Ngga percuma sih, tapi telat!.. Ya semoga
saja bisa bertahan dan budaya ngaretnya bisa hilang, bagus kalo bisa disiplin.
Kasihan kan penumpang yang sudah buru-buru tapi ternyata terlantar dan harus
nunggu lama, ujung-ujungnya terlambat juga sampai tujuan!”
Tiba-tiba kereta berhenti di sebuah stasiun, keriuhan
pedagang menjalar cepat. Suara-suara mereka terdengar sumbang di telinga,
mungkin karena cara mereka berbicara dan menawarkan barang dagangan jarang
kudengar. Keunikan seperti ini aku temui di setiap stasiun yang berbeda di
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Gadis itu asyik menyaksikan aktivitas
para pedagang dan sesekali dia tersenyum. Lepas. Mungkin ada yang lucu dari
tingkah para pedagang atau dia sedang memikirkan sesuatu? Di sisi berlawanan
tampak sebuah kereta ekonomi yang juga sedang berhenti mengambil penumpang.
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala dan mulai memberi komentar:
“Lihat mas, kontras
banget ya sama kereta ini?! Sekarang sih katanya sudah lumayan tertib, semua
penumpang dapat tempat duduk.. Jaman kuliah dulu, saya sering naik kereta
ekonomi, tiketnya murah, tapi haduh ampun.. mau bergerak saja susah, di
kolong-kolong banyak orang tidur, harus rebutan nafas sama asap rokok,
toiletnya pesing bukan main, apalagi kalau ada yang muntah-muntah, bau minyak
angin, bau keringet juga. Belum lagi pedagang asongan dan pengamen ngga pernah
berhenti mondar-mandir. Beruntung kalau ngga ketemu copet, tahu sendiri deh Mas
gimana copet-copet di kereta jurusan Bandung! Terang-terangan, berani-berani,
mereka temannya banyak. Pokoknya hati-hati Mas kalau naik kereta ekonomi!”
Tidak ada yang salah dengan wanita ini, dia selalu
memberi kesan bersahabat. Hangat. Sepertinya dia berdarah Sunda, aku
menyimpulkan dari caranya berbicara. Polos. Pelan, ramah dan santun. Entah
mengapa Tuhan menganugerahi banyak wanita cantik di Kota Kembang, mungkin
karena alasan geografis, mungkin juga faktor biologis atau ini kutukan?!
Mungkin mereka keturunan Dayang Sumbi yang membuat Sangkuriang jatuh cinta pada
ibunya sendiri karena kecantikannya tak terperikan. Bukankah itu hanya legenda?
Tapi begitulah faktanya. Ah! Aku mulai berpikir tidak penting, toh banyak
wanita cantik di belahan bumi lain. Dan mengapa aku selalu menilai-nilai gadis
yang kebetulan duduk bersamaku ini?!
Dia senang bicara, menceritakan pengalaman sekaligus
menanggapi setiap keganjilan yang tertangkap olehnya. Ringan. Bukan cerewet,
aku tidak tahu apa istilah yang lebih tepat? Bahkan aku tidak menanggapinya
dengan serius, hanya sesekali mengangguk dan memandangnya antusias saat dia
sedang bicara. Mungkin gadis itu mengira aku lelaki pemalu yang bersikap
dingin, tapi ini penilaianku juga. Setelah gadis itu cukup lama bercerita, kami
memutuskan untuk kembali ke dalam gerbong. Aku berjalan mengikuti
langkah-langkah kecilnya. Aroma tubuhnya menyebar sepanjang gerbong, wanginya
membius dan jujur saja aku menikmatinya. Menit selanjutnya kami sudah berada
pada posisi semula, aku kembali membaca buku hingga titik kebosanan. Berulang
kali mencoba memejamkan mata tapi tidak juga berhasil. Bibir cerah itu tidak
mengeluarkan kata-katanya lagi, pandangannya jauh menyaksikan sebuah kenangan
lama dari balik jendela. Atau mungkin sedang membuat cerita.
Tidak terasa sudah berjam-jam kami dalam kebisuan
masing-masing menyaksikan stasiun-demi-stasiun terlewati. Kurasakan kereta
melesat cepat melintasi perbukitan dan sawah-sawah, sampai akhirnya berhenti di
stasiun tujuan. Aku bergegas-kemas dan tidak terlalu memperhatikannya untuk
kemudian turun tanpa kata perpisahan. Saat aku mencoba menghubungi teman yang
akan menjemput, gadis itu berada tidak jauh dariku, berjalan menuju pintu
keluar stasiun. Jalannya sedikit cepat, sepertinya sedang mengejar waktu dan
tidak ingin kembali terlambat. Sampai di pintu keluar, aku melihatnya sedang
berbicara dengan seorang pria, berjabat tangan lalu kembali berjalan lebih
cepat meninggalkannya.
“Kamu bareng Lala?” Tanya Didit, temanku yang baru saja bicara
dengan gadis itu.
“Lala, siapa?” Aku
sedikit bingung dan mengira Didit sedang bergurau.
“Itu, yang baru saja
pergi! Dia adik kelas kita waktu kuliah dulu. Tambah cantik ya!!”
Aku berusaha keras mengingat masalalu dan masih tidak
percaya dengan ucapan Didit. Wajah gadis itu memenuhi pikiranku sampai akhirnya
aku mulai teringat dengan sebuah jendela. Ya, dia gadis yang pernah duduk di
kursi favoritku yang letaknya berdekatan dengan jendela pada sebuah kelas. Ya
benar sekali! Tapi setelahnya aku tidak yakin pernah melihatnya lagi. Ternyata
kami punya kebiasaan yang sama, menyukai pemandangan dari balik jendela. Aku
menjadi tidak tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh, justru setelah aku
mengetahuinya. Karena gadis itu telah merebut jendela-jendelaku. Mungkin itulah
penyebab mengapa aku bisa bersikap dingin selama perjalanan, alasan yang
kubuat-buat, bukan dendam. Mungkin. Pengalaman ini membuatku tampak bodoh,
bukan karena aku tidak mencoba berkenalan, pun bertanya hal-hal yang lebih
detil. Aku merasa bodoh karena aku tidak mempertahankan yang seharusnya menjadi
hak dan milikku, hanya diam bersikap bijak.
Pandu Hidayat _Juni 2012
Download PDF